10 SIKSAAN BATIN

"Ansel! Kau akan pergi kemana?"

Saat melihat kebelakang ternyata itu adalah suara Zilly. Wanita itu berlari kearahnya dengan tergesa-gesa.

"Ka-kau mau kemana? Mobilku ada di bagian paling kiri." Suaranya sedikit terputus-putus akibat deru nafasnya yang tak beraturan.

"Zilly jangan mengikutiku!"

Zilly mengernyit tidak paham. "Apa maksudmu?"

"Biarkan aku pergi jauh dari bar ini dulu, nanti kita ketemuan di tempat yang lain. Jika kita pergi sama-sama maka aku jamin kita akan ketahuan."

"Hey, jangan mencoba menipuku yah!" Ia menjadi ragu dengan ucapan Ansel.

"Aku tidak menipumu."

"Kalau begitu berikan nomor ponselmu sekarang," pinta Zilly

Ponsel saja dia tidak punya bagaimana bisa Ansel memberikan nomor telepon untuknya.

"Mana ponselmu?" Zilly mengeluarkan benda pipih itu dari dalam tas nya.

Ansel mulai menuliskan sesuatu di ponsel milik Zilly.

"Ini!" Zilly langsung mengambilnya, bersamaan dengan itu Ansel langsung kabur dari hadapan Zilly.

"Ansel ini bukanlah nomor ponsel negara-"

Zilly mendelik tajam ketika baru menyadari jika Ansel tidak lagi ada di sana. "Sial! Dia menipuku."

***

Manik mata Rawnie melihat sebuah pergerakan jari dari tangan Ansel. Perlahan kelopak mata yang sejak tadi tertutup mulai terbuka.

Ansel merasakan pening yang luar biasa. Memegangi kepalanya dan merasakan balutan kain di kepalanya. Dia baru sadar jika dirinya sudah diperban. Saat itu juga dia baru sadar bahwa tubuhnya berbaring di tempat yang sama, pada sebuah kasur yang beberapa hari ini dia gunakan. Orang pertama yang netranya bertemu dengan Ansel, tidak lain adalah Rawnie. Dia berdiri angkuh di depan sana.

"Apa yang kau lihat?"

Mendengar suara Rawnie, Harsya yang tadinya hanya duduk menatap arah lain baru menyadari jika Ansel telah siuman. "Ansel kau sudah bangun, apa yang kau rasakan sekarang? Sakit? Jika kau merasakan sesuatu kasih tau-"

"Kau bisa diam?" lirik Rawnie tajam. Terpaksa Harsya mengatupkan bibirnya.

"Kelewatan batas! Kau benar-benar menantang diriku, Ansel."

Ansel tidak bisa berbicara terlalu banyak sebab tubuhnya masih terasa berat dan sakit.

"Setelah mengacaukan bar kemarin, hari ini kau ingin melarikan diri dariku? Kau pikir hal itu mudah?" Rawnie menjeda sebentar ucapannya. "Lihat betapa lemahnya dirimu sekarang, aku bahkan bisa menyiksamu agar lebih merasakan lara."

Pria yang terbaring lemas itu mencoba menegakkan badannya. "Aku menyuruhmu untuk membunuhku saja, lakukan sekarang. Aku siap."

"Ansel! Apa yang kau katakan?"

Harsya takut jika Rawnie benar-benar melakukannya sebab dia tahu bahwa wanita itu tidak akan pernah main-main dalam melakukan suatu hal. Seharusnya dia memberitahu Ansel jauh-jauh hari soal hal ini.

"Aku tidak mau melakukan itu," ucap Rawnie tenang.

"Kenapa?" Percayalah Ansel sangat kecewa dengan jawaban yang keluar dari mulut wanita tersebut.

Rawnie berjalan mendekati tepi ranjang. Dia berhenti tepat di sebelah kiri sisi ranjang. "Tubuhmu adalah sumber kekayaanku. Apa kau lupa dengan hal itu?"

"Tidak punya hati!" Sarkasnya.

Rawnie melipat kedua tangannya di depan dada. "Memang, kau baru tahu?"

"Pantas saja kau seperti seorang iblis yang kejam."

Tawa renyah terdengar kemudian dilanjut dengan ludahan air liur yang Rawnie buang sembarangan. "Apa bedanya denganmu? Apa kau pikir kau ini sangat sempurna?"

"Setidaknya jauh lebih baik dibandingkan denganmu."

Suara tepuk tangan yang ringan terdengar menggema. "Sekarang sudah berani membandingkan dirimu denganku? Hebat!"

Ansel melengos. "Kenyataannya memang seperti itu."

"Realita seperti apa yang kau maksud?"

"Tentang aku yang berusaha menjauh dari seorang wanita agar tidak ternilai murahan, tetapi berbalik denganmu yang sepertinya sangat menginginkan ku ... seperti seorang pelacur."

Plakk

"Rawnie!" Ini kali pertama Harsya membentak wanita itu.

Rasa perih yang dirasa sangat hebat. Di satu sisi lain Ansel bahkan hampir menitikan air matanya, bukan karena cengeng tapi kenyataannya sangat sakit. Luka akibat goresan jalan yang belum kering dengan tidak berperasaan ditampar keras oleh wanita itu. Sekarang Ansel merasakan nyeri sekaligus perih yang luar biasa.

"Ini bukan pertama kali aku memperingatkanmu." Seolah ada sekat untuk Rawnie berkata-kata lagi.

Harsya dapat mendengar ringisan yang keluar dari mulut Ansel. "Jangan terlalu keras dengannya Rawnie. Lihat seperti apa kondisinya sekarang."

"Pergi dari kamar ini sekarang!" tegas Rawnie.

Dua anak buahnya menurut dan meninggalkan kamar tersebut, tapi tidak dengan Harsya. Dia masih berdiri ditempatnya.

"AKU BILANG PERGI YA PERGI HARSYA!"

Harsya sedikit terlonjak, dia tidak percaya bahwa Rawnie akan sekeras ini padanya. Tidak ada pilihan lain, Harsya memilih pergi untuk menghindari perdebatan yang lebih besar lagi.

"Aku memang jahat bahkan seperti iblis. Tapi bukan berarti aku tidak memiliki hati saat dirimu mencaciku seperti itu. Kau pikir hal itu tidak sakit?"

Melawan perih agar tetap terlihat tegar didepan orang lain. Itu sangat sulit dan menyayat diri. Rawnie melakukannya saat ini.

"Jangan suka membanding-bandingkan keadaan. Jika kau saja bisa merasa sakit saat aku memperlakukanmu seperti itu, lalu kau pikir aku juga tidak merasakan hal yang sama ketika kau menyiksa bahkan merendahkanku juga?"

Rawnie mencoba mencerna setiap ucapan yang keluar dari mulut pria itu.

"Berhenti menutup diri seperti itu. Aku tahu sebenarnya kau tidak sekejam ini, kau hanya membohongi dirimu saat didepan banyak orang."

Layaknya seorang yang selalu memakai topeng didepan orang banyak. Ansel yakin Rawnie melakukan hal itu. Dia bisa menebaknya karena dia pun pernah mengalami hal yang sama.

"Aku pikir kau hanya butuh untuk berdamai dengan masa lalu mu."

Skakmat! Ansel berhasil menebak isi kepala wanita itu. Bahkan Rawnie sedari tadi hanya diam sulit untuk menyanggah ucapan Ansel.

"Kau salah Ansel. Aku memang seperti ini, kejam dan tidak pernah peduli dengan orang lain," tawanya renyah.

"Jangan tertipu dengan ucapan awalku. Aku hanya bermaksud mengingatkan mu untuk tidak melakukan hal itu lagi."

Ansel tidak percaya dengan tepisan yang Rawnie katakan. "Lepas topengmu Rawnie."

"Topeng? Sudah aku katakan jika aku tetaplah diriku. Tidak pernah bersembunyi dari hal apapun."

"Kau berbohong!" seru Ansel.

Rawnie menggeleng. Mencekal kedua sisi Ansel dengan tangannya. "Hentikan omong kosong mu itu! Berhenti berkata seolah kau tahu segalanya. Aku tahu kau sedang menjebak ku sekarang, tapi maaf aku tidak sebodoh itu Ansel."

Ansel tersungkur kebelakang. Kepala nya terbentur akibat dorongan dari Rawnie. Ia hanya pasrah dengan kondisinya sekarang, kepalanya yang berdenyut bahkan jauh lebih sakit dari sebelumnya.

Mengerang menahan sakit sampai dia tidak sadar jika Rawnie sudah pergi dari kamarnya. Ansel mengarahkan pandangannya ke langit-langit atas. Membuai menghadapi kondisinya yang sekarang.

***

Berendam di bathtub seperti yang biasa dia lakukan ketika berada di keadaan yang rumit. Menutup diri dari persetanan yang terus menjerumuskannya.

Rawnie tidak sengaja melirik ponselnya. Melihat nama seseorang tertera di sana.

"Ada apa?" Rawnie membiarkan ponselnya di tempat yang memang dia sediakan untuk meletakan benda pipihnya.

'Rindu haha, boleh kan aku menelfon malam ini?' tanya Frey dari balik ponsel.

"Hmm, maaf Frey kali ini aku sangat penat. Aku ingin tidur lebih awal hari ini."

'Kau yakin ingin tidur? Sebenarnya kau sedang berada dimana sekarang? Aku bahkan mendengar percikan-'

Panggilan Rawnie akhiri sepihak. Dia benar-benar butuh waktu untuk sendiri. Hatinya terus merasa gundah. Semua rasa sakit mulai mengunci dirinya persekian detik.

avataravatar
Next chapter