1 PROLOG

Kaki jenjang yang tampak digerakkan dengan cepat. Dengan tergesa  iya berlari penuh harap pada bangunan tinggi pencakar langit. Seorang pria sibuk menilik benda pipih ditangannya yang sedari tadi tidak luput dari arah pandangannya. Ia mencoba mengamati setiap nomor hotel dimana alamat tersebut harus ia paskan dengan tulisan di ponselnya.

"89, 90 dan ...." Melihat lift di ujung sana ia segera mengambil sikap berlari masuk ke dalamnya.

Tidak terlalu lama dia menghabiskan waktu di dalam lift yang kosong atau lebih tepatnya hanya ada dirinya saat itu. Kaki kanan ia gunakan pertama kali saat keluar, wajah yang tidak menampilkan sedikit senyum itu berjalan dingin, memastikan jika alamat yang dituju tidaklah salah.

Tepat di depan pintu dengan papan angka bertuliskan 91 pria itu berdiri, ada rasa yang sebenarnya sangat ia ragukan. Dengan penuh keraguan ia membuka pelan gagang pintu kamar, dan betapa terkejutnya ketika ia telah berhasil membuka pintu itu.

"Monika!"

Bariton keras keluar dari mulut pria itu. Dia benar-benar marah padam melihat hal menjijikan didepan mata. Sebuah pemandangan dimana kedua insan itu tengah melakukan hal layaknya seorang suami istri. Seorang wanita bernama Monika segera memasang kancing bajunya serta memakai celana dalamnya yang sudah terlepas.

"Kenapa?" tanya wanita itu tanpa memiliki secebis rasa takut dari wajah yang ia tunjukkan. Dia berjalan santai ke arah pria yang masih berada di ambang pintu tersebut.

"Rencana apa yang kau buat ini? Kau tau ... kau sangat murahan. Tidak tahu malu!" Seketika otaknya seperti mendidih. Dengan terpaksa dia harus bisa menahan amarah yang meluap-luap. Matanya yang merah tidak bisa membohongi jika dirinya kecewa sekaligus marah.

"Tuan Ansel Brady Liam. Pria terhormat yang tidak bisa menghormati wanita." Monika tersenyum sinis.

"Kau bertanya soal rencana? Astaga aku bangga karena kau berhasil memecahkan teka-teki yang kubuat ini."

Monika mengambil beberapa langkah ke depan kemudian berjalan mengitari pria yang bernama Ansel itu. "Sepertinya kau sudah tertipu dengan kecantikan ku yang memikat."

"Jangan bertele-tele, jelaskan sekarang sebelum amarahku meledak dan bisa melukai dirimu!" ancamnya.

"Lukai saja aku sekarang!" tantangnya. "Tapi ingat, kau akan mendapatkan hukuman yang berat atas kelakuanmu itu. Ingat bahwa mulai sekarang semua hartamu bukan lagi milikmu."

Tatapan membunuh itu semakin tertangkap jelas di mata Monika. "Kau benar-benar brengsek! Aku tidak akan membiarkan semua itu terjadi!"

"Brengsek kau bilang? Lalu apa kau tidak bisa sadar diri?" Api marah di hati wanita itu mulai membara.

"Jelaskan padaku apa yang sudah kau lakukan ketika tiga tahun yang lalu? Siapa wanita yang dengan sengaja kau manfaatkan hartanya? Siapa wanita yang kau belai hingga kau cium tanpa ada hasrat kasih sayang? Siapa?!" Monika berteriak dihadapannya.

"Jangan katakan bahwa-"

"Ya! Aku adalah Monika, saudara kandung dari Zoya."

Ansel menggeleng tidak percaya. Jadi selama ini dia tengah menjalin hubungan dengan kakak kandung dari mantan kekasihnya.

"Sekarang kau ingat seperti apa bajingan nya dirimu pada masa itu?"

"Rasanya aku ingin membawa Zoya kesini. Menyadarkannya bahwa pria yang sangat ia cintai hingga depresi bukanlah pria yang baik. Dia adalah seorang pria tidak tahu diri!"

Monika memang sempat menjadi kekasih Ansel,  bahkan sebenarnya sampai hari ini dia masih menjadi kekasihnya. Bukan atas dasar cinta hubungan mereka itu ada. Kedua insan itu memiliki niat yang berbeda. Ansel menjadikannya seorang kekasih hanya karena kencantikan serta sesuatu yang mengundang hawa nafsunya. Monika sendiri, dia sebenarnya menerima Ansel hanya untuk melancarkan aksi balas dendam nya. Sebagai seorang kakak, Monika tentu tidak terima dengan fakta bahwa adiknya mengalami gangguan jiwa setelah diputuskan sebelah pihak oleh Ansel.

"Semua itu hanya masa lalu. Dia terlalu berlebihan ketika mencintaiku, seharusnya kau tidak menyalahkan ku atas hal itu."

Monika menatapnya tak percaya. "Berlebihan? Coba jelaskan padaku, wanita mana yang tidak terikat cinta jika sang pria nya seolah memberikan perhatian lebih, menjanjikan banyak hal yang manis sampai suatu saat kalian pernah tinggal bersama layaknya seorang suami istri. Apa kau tidak sadar semua itu?!"

"Ya, kami memang sempat tinggal bersama. Tapi jangan kau pikir jika kita sampai melakukan hal lebih," jelas Ansel.

"Aku tahu. Tapi bukan berarti kau meninggalkannya dengan cara yang menyakitinya. Jika bosan kau bisa berbicara baik-baik dengannya, bukan malah berselingkuh dibelakangnya."

Ansel menarik lengan bajunya. "Terserah apa katamu, yang jelas aku kesini hanya untuk meminta kembali harta milikku yang telah kau curi."

Monika tertawa lepas, namun terdengar seperti tawa kejahatan. "Kau tidak akan bisa mendapatkan semua itu."

Biarkan ia menjadi wanita jahat saat ini, ia telah lelah menjadi baik. Monika hanya ingin semua lara yang dirasakan oleh Zoya bisa dirasakan juga oleh Ansel. Melihat pria itu jatuh miskin tanpa memiliki harta yang berkecukupan sudah menjadi kebahagiaan baginya. Monika tidak suka melihat Ansel yang berlaku semena-mena terhadap wanita. Dia terlalu mengandalkan kekayaannya untuk melakukan semua hal buruk itu. Mungkin setelah ini tidak akan pernah ada lagi kebahagiaan yang dirasa oleh Ansel. Begitulah harapan Monika untuk kedepannya.

"Jaga bicaramu bitch, kembalikan semua atau nyawamu akan lenyap sekarang juga!"

Ansel tak main-main, dengan sergap ia berhasil mengunci kedua tangan Monika dan menodongkan pisau didepan wajah wanita itu. Pria itu memang sering kali membawa senjata dibalik pakaiannya. Hanya sebatas untuk berjaga-jaga, seperti saat sekarang. Ansel tidak peduli dengan siapa dia berhadapan sekarang.

"Lepaskan Monika!" Pria yang sedari diam saja, sekarang mulai bertindak. Ia sedikit cemas dengan kondisi saat ini.

"Tidak akan."

"Pria pengecut, bagaiman mungkin kau melawan seorang wanita." Pria itu sedikit mendekat ke arah Ansel.

"Aku tak ped-" ucapannya terpotong sebab kaki Monika menendang keras lututnya. Monika berhasil terlepas. Dia berlindung di balik pria itu.

"Baiklah jika kalian berdua lebih senang dengan kekerasan."

Belum sampai melakukan serangannya. Beberapa petugas hotel bergegas masuk ke dalam kamar. Seketika dirinya kelimpungan sendiri. Ansel mencari-cari cara agar bisa keluar dari tempat ini. Ketika dia petugas hendak mengamankan dirinya, tangan kanan yang masih memegang pisau dia gunakan untuk menyayat lengan seorang petugas hingga mundur beberapa langkah darinya. Dengan gesit Ansel menendang wajah petugas yang satunya. Setelah itu ia berhasil kabur dari dalam kamar, mencari jalan keluar yang aman dari hotel tersebut.

Dengan tergopoh-gopoh ia melarikan diri, keringat yang keluar dari pelipisnya semakin banyak membuat dirinya merasakan lemas. Dia sempat melambatkan larinya ketika berada di sebuah gang kecil yang sepi, ia kira semuanya akan baik-baik saja, namun ternyata salah. Saat mencondongkan tubuhnya seseorang dari belakang membekap mulutnya. Ia masih sempat tersadar namun sulit untuk berucap. Ansel sempat berpikir, apakah secepat ini ia mendapat karma atas perbuatannya. Hanya bisa pasrah dan akhirnya ia kehilangan kesadarannya.

Dua pria misterius bertopeng itu membawa Ansel ke dalam mobil. Menancap gas lalu dengan cepat meninggalkan tempat itu. Di dalam mobil, kedua pria itu sempat membicarakan sesuatu. Entah apa yang mereka bicarakan yang jelas bahasa yang mereka pakai bukanlah bahas Indonesia. Kemungkinan besar dua penculik itu berasal dari luar negeri. Bersiap saja Ansel, sesuatu buruk sedang menanti dirimu.

avataravatar
Next chapter