20 KECEWA SEKALIGUS MARAH

Suasana canggung menyelimuti kedua insan yang sekarang berada pada sebuah mobil. Rawnie tidak tahu harus mengobrol soal apa kepada pria di sampingnya, ia memilih untuk menyibukkan diri dengan ponselnya. Begitupun dengan Frey tetap fokus terhadap perjalanan yang ia tempuh saat ini. Diantara keduanya memang tidak ada yang berkeinginan untuk membuka suara.

Hari ini Rawnie memang sudah berjanji untuk melakukan pemotretan bersama dengan Frey. Frey meminta bantuannya untuk mempromosikan produk dari perusahaannya dan Rawnie juga sudah menyanggupinya. Sayangnya ia malah tidak sengaja melupakan janjinya itu, padahal Frey beberapa kali sudah mengingatkan dirinya.

"Apa kau tidak jenuh dengan benda pipih itu?" Frey mengalah dari keheningan yang terjadi antara mereka berdua.

Rawnie mengalihkan pandangannya pada Frey kemudian memasukkan ponsel ke dalam tas.

"Aku baru saja menghubungi Harsya. Sudah dari tadi Harsya ternyata masih berada di mansion. Padahal aku sudah mengatakan padanya untuk segera pergi."

Terlihat jelas bagaimana perubahan wajah Frey. Ungkapan wanita itu berhasil menarik ulur perasaannya, menjatuhkan moodnya dan semakin memperburuk suasana hati. Ia sepertinya menyesal sudah menanyakan hal tersebut. Nyatanya akan lebih baik tidak mengetahui hal yang seharusnya tidak perlu kita ketahui karena akan berujung mengecewakan.

"Kau terlihat sangat peduli, apa kau menyimpan rasa dengan dia?" tebak Frey dan spontan dijawab oleh Rawnie. "Tidak."

"Tetapi baru kali ini aku melihatmu se-khawatir itu terhadap lelaki."

Frey rasa selama dirinya berteman baik dengan wanita itu ia tidak pernah merasakan seperti yang wanita itu lakukan sekarang. Saat ia sakit pun tidak pernah dikhawatirkan sampai seperti ini. Sangat berbeda dengan sikapnya yang sekarang.

"Tidak mungkin jika aku tidak peduli dengannya. Pikirkan saja seperti apa dia mengorbankan nyawanya demi menyelamatkanku saat itu. Setidaknya apa yang aku lakukan saat ini bisa dijadikan ucapan terimakasih ku kepadanya," ujar Rawnie berharap jika pria di sampingnya bisa paham dengan kondisinya saat ini.

"Jika aku yang melakukan itu, apa kau akan melakukan hal yang sama?"

"Apa maksudmu?"

Frey segera menggeleng. "Tidak lupakan saja."

Ia pikir pertanyaan barusan sangat tidak bermutu.

"Dia bukan asli orang sini kan?"

Rawnie mengangguk menatap Frey yang juga sedang melirik ke arahnya. "Benar, dia asli orang Indonesia."

***

Perasaan yang disembunyikan bukan keputusan terbaik untuk hati. Perihal ini memang harus berhati-hati. Ada dua pilihan ketika menaruh harap terhadap seseorang secara diam. Mengungkapkan atau tetap memendam, keduanya sama-sama mencekik nestapa. Perasaan ini tak adil, di sana dia tertawa sedangkan di sini kita menahan lara. Kita tidak tahu sampai kapan waktu membantu kita untuk tetap bertahan berada di posisi seperti ini.

Menaruh harap yang tidak pasti bukanlah hal yang mudah dalam mencintai. Entah bagaimana dan seperti apa yang akan ia lakukan kedepannya nanti. Frey tahu jika dia sangat pengecut untuk mengakui semua itu. Ia takut kehilangan seseorang yang selama ini telah jauh mengunci pintu hatinya. Jika diungkapkan bisa saja membuat dirinya berjauhan tetapi jika dibiarkan maka akan amat perih untuk dirinya menanggung semua ini.

Benar, sudah sejak lama Frey menyimpan perasaannya.

Lelaki itu tak punya alasan mengapa dirinya bisa jatuh pada perasaan yang sedalam ini. Mengaggumi semuanya yang berkaitan dengan gadis itu, entahlah semua membuat candu di hatinya. Sedikit merasa teriris ketika ia harus melihat seseorang yang dicintai justru akhir-akhir ini dekat dengan pria lain. Bagaimana mungkin tidak cemburu jika selama ini yang Frey tahu Rawnie hanyalah dekat dengan satu lelaki saja yaitu dirinya. Melihatnya bersama dengan Ansel membuat kobaran api semakin panas membakar perasaannya.

Perbedaan sikap Rawnie mulai sedikit  terlihat pada beberapa waktu. Jika dihitung mungkin sejak kedatangan Ansel di kehidupan gadis itu.

Setelahnya dia tersingkir, bukan menjadi prioritas utamanya.

"Minum dulu kau pasti haus kan?" Frey menyodorkan sebotol minuman bersoda kepada Rawnie setelah pemotretan mereka selesai.

Rawnie mengambil botol itu dari tangan Frey. "Thanks."

"Sepertinya kau sangat sibuk. Apakah banyak pekerjaan hari ini?"

Frey bertanya seperti itu karena ia beberapa kali memergoki Rawnie yang bolak-balik mengecek benda pipih dari dalam tasnya. Ini seperti bukan dirinya sebab biasanya sangat jarang sekali Rawnie memainkan ponselnya saat sedang bekerja.

"Bukan soal pekerjaan tapi soal Ansel."

Nama itu lagi, engga sebenarnya untuk Frey mendengar.

"Dia meminta makanan yang pedas lalu minuman yang bersoda, bagaimana mungkin aku mengizinkannya. Dia saja baru sembuh."

Percayalah semua ini sangat menampar perasaan Frey. Perih dan menyayat. Andai bisa menghilang maka dia akan melakukannya sekarang juga.

"Kau terlihat sangat mengkhawatirkannya."

"Iya karena Ansel sedikit keras kepala.  Jadi memang perlu kesabaran yang ekstra untuk merawat dirinya, belum lagi kadang harus beradu argument dulu."

Dari banyaknya orang di dunia ternyata Rawnie adalah salah satu wanita yang tidak memiliki rasa kepekaan. Dia terus saja bercerita tentang hal yang menyakitkan bagi Frey. Seolah perasaan seseorang yang ada disebelahnya sengaja diabaikan. Mengertilah itu sangat mengecewakan bagi Frey.

"Frey aku lapar, ayo kita pergi makan sekarang!" ajak Rawnie yang sudah tidak bisa menahan keroncong perutnya.

Menuruti apa yang gadis itu katakan. Frey membawanya pada restoran sushi yang dekat dengan tempat pemotretannya. Letaknya persis di depan gedung yang mereka tinggali tadi. Mereka memesan beberapa macam sushi dan juga minuman. Untungnya pada saat itu restoran tidak terlalu ramai sehingga Rawnie tidak perlu menunggu lama pesanannya tersaji di meja.

"Terlihat sangat enak, aku akan mencobanya sekarang!" katanya sangat excited.

Ia mulai menyumpit salah satu sushi dan ia masukkan kedalam mulutnya. Rawnie merasa lebih baik sekarang.

Di sela-sela makan Rawnie baru menyadari wajah lesu dari pria di depannya. Ia hanya berfikir jika temannya saat itu kelelahan akibat pemotretan tadi. Beberapa kali Rawnie juga melihat saat Frey hanya memainkan sushi di piringnya.

"Jangan dimainkan seperti itu, Frey. Cepatlah makan atau kau akan menyesal setelah melihat semua sushi itu masuk ke dalam mulutku," ucap Rawnie menegur pria itu.

Frey melepas sumpit ditangannya. "Aku tidak terlalu lapar, habiskan saja jika kau mau."

Menarik napas dan tersenyum sejenak. Dia tidak bermaksud seperti itu. "Aku hanya bercanda, cepatlah habiskan."

"Tapi kali ini aku tidak bercanda, aku tidak terlalu selera untuk memakannya," ungkapnya jujur. Pria itu memang sudah kehilangan selera makan.

"Sedang ada masalah apa? Apa sedang tidak enak badan? Padahal biasanya kau bisa menghabiskan banyak sushi mengapa sekarang hanya memakan beberapa saja." Rawnie yakin jika Frey sedang tidak baik-baik saja.

"Kau tidak perlu berpura-pura mengkhawatirkan ku karena aku tidak menginginkan hal itu, Rawnie."

Rawnie mengernyit tidak paham dengan ucapan pria itu barusan. Gadis itu tidak percaya jika Frey akan  berkata seperti itu.

"Bagaimana bisa kau berpikir jika aku berpura-pura?" tanyanya ia masih tidak menyangka dengan respon Frey tadi.

"Lupakan saja. Aku ingin ke toilet sebentar."

Frey tidak mau memperpanjang arah pembicaraan mereka. Mungkin jika dilanjut bisa menjadi alasan pertengkaran antara mereka berdua. Rawnie juga terlihat tidak nyaman dengan hal itu.

Frey berdiri meninggalkan meja makan dan membiarkan Rawnie bertanya-tanya dengan sikap Frey hari ini.

Menyalakan kran dengan sangat keras kemudian membasuh kasar wajahnya beberapa kali. Ia bercermin sedikit kesal sekaligus benci atas apa yang ia lakukan hari ini. Seolah ia ingin jujur membongkar semua rasanya yang sudah hampir meluap-luap.

"Arghh!" Ia menjambak rambutnya sendiri.

Frustasi? Tentu saja.

avataravatar
Next chapter