webnovel

Apa Anda Penipu?

Tiga hari telah berlalu sejak Festival Polaris dimulai.

Cien, sebagai salah satu pedagang yang ikut serta meramaikan pasar terbuka di seantero kota, sudah tiga hari pula hanya duduk meja dagangnya. Tiga hari tanpa ada satu pun yang melirik barang-barang yang ada di mejanya.

Cien tahu kalau berjualan di sini akan sulit, apalagi mengingat banyaknya pedagang lain yang turut ikut serta. Setidaknya ada ratusan bahkan ribuan pedagang yang berjajar rapi di seluruh jalanan ibukota. Dia hanya tidak menyangka kesulitannya akan sesulit sekarang.

Cien melihat ke sampingnya, seorang wanita paruh baya yang menjual roti isi, dan harus dikatakan banyak yang datang kepadanya. Dia lalu melihat ke seberang jalan, seseorang yang menjual perlengkapan pertanian, walau tidak ramai, tapi ada satu dua orang setiap jamnya yang berkunjung.

Cien lalu mengingat tempat dirinya, selama tiga hari, dia ingat hanya ada empat orang yang datang kepadanya, sekadar bertanya sebelum akhirnya pergi tanpa kembali.

"Sigh…"

Cien melepaskan nafas panjang, menyadari kalau berjualan tidak semudah yang dia pikirkan. Hari ini adalah hari keempat, hari telah melebihi puncak siang. Masih belum ada juga yang datang berkunjung ke mejanya.

Dia melihat beberapa mata yang melirik, namun hanya sesaat sebelum pandangan itu berpaling ke tempat lain setelah dipenuhi oleh rasa kekecewaan.

"Apa barang-barangku tidak menarik?"

"Semangat, Pak Millard, masih ada tiga hari lagi sebelum festival berakhir. Aku yakin bakal ada yang datang ke tempatmu. Ini, makanlah dulu."

Wanita paruh baya penjual roti isi di sebelah seketika menepuk pundak dan menyodorkan sebuah roti isi kepada Cien.

Cien tersenyum, meraih roti yang diberikan, "Terima kasih, Nona Lina, sepertinya tempatmu kembali ramai seperti biasa."

"Hahaha, siapa yang tidak suka roti di seluruh Benua Kastia? Pak Millard jangan panggil aku Nona, aku sudah tua, kau terlalu menyanjungku."

Cien hanya tersenyum tidak membalas, lalu seorang pelanggan datang ke meja Lina, memanggilnya. Lina menepuk punggung Cien dengan keras, memberi semangat sebelum berlalu ke tempatnya.

Selama tiga hari ini, Cien telah berkenalan dengan beberapa tetangga penjual di sampingnya. Dia juga mengenal resepsionis di penginapan tempat dia beristirahat dan beberapa orang lainnya. Cien merasa hal paling berharga yang didapatnya datang ke tempat ini adalah hubungan dan koneksinya ke sosialisasi mulai terhubung kembali, setelah selama bertahun-tahun hidup dalam kesendirian.

Cien bahkan berpikir, walaupun misinya gagal. Dia sudah mendapat hadiah yang cukup untuk perjalanannya kali ini.

Oh ya, selain menjual barang dagangannya, dia juga meminta pengrajin kulit untuk memproses beberapa kulit monster yang dibawanya. Inferno Bear dan Blackwood Stag. Sisa monster lainnya tidak dibawa karena peti matinya tidak muat.

Cien melihat roti isi yang ada di tangannya. Menggigitnya, merasakan manis selai buah strawberry di lidahnya.

"Mmm, enak."

Cien menikmati makanannya sambil menunggui meja yang sepi pengunjung.

***

Menjelang sore hari, Festival Polaris masih terlihat ramai. Di mana para penduduk dan pengunjung berjalan-jalan di sepanjang jalan kota ataupun berkumpul di spot-spot indah dan terkenal, termasuk panggung yang ada di alun-alun.

Di sebuah ruas jalan yang berada di timur kota, terdapat dua orang perempuan yang berjalan santai melihat-lihat barang-barang yang dipertontonkan oleh para penjual.

Kedua perempuan memiliki umur yang berbeda, satu perempuan berambut pirang pendek dengan mata biru, memakai seragam militer Kerajaan Huntara, dari tampangnya umur perempuan tersebut sekitar dua puluhan akhir.

Di sampingnya, seorang gadis kecil sekitar sepuluh hingga dua belas tahun, dengan rambut pirang panjang, berjalan dengan gaun putih sederhana sambil memakan sate daging sapi di tangannya.

"Veronica, ini sudah hari keempat. Apa kamu masih belum puas? Paman dan Bibi juga sudah bilang kalau lusa kalian akan pulang kembali ke Tristan. Bukankah sebaiknya kamu bersiap-siap?"

"Ahhh~ karena hanya tinggal sebentar lagi ini, makanya aku ingin memuaskan diri menjelajahi semua jalan yang ada. Mungkin saja kita bisa mendapatkan harta karun!"

"Harta karun macam apa? Yang kamu beli selama ini hanyalah makanan, apa kamu mencari makanan terenak di sini? Pergi ke Westya kalau ingin makanan yang enak."

"Ck ck ck, ada apa sebenarnya denganmu, Kak Jeanne? Ini festival! Relaks, semakin hari aku hanya melihat raut kakak semakin kusut. Bukannya, Kak Jeanne libur? Kenapa tidak menikmati saja hari libur ini?"

'Aku diliburkan karena harus menjagamu, wahai sepupu kecil manisku. Dan bagaimana aku bisa tenang bila tahu perang saudara akan terjadi sebentar lagi? sigh…'

Jeanne mengomel di dalam hatinya, dia tidak bisa mengumbar kabar itu seenaknya karena masih menjadi rahasia kerajaan.

Jeanne mengeluarkan napas panjang, dia sungguh ingin bersenang-senang, namun situasi Kerajaan Huntara saat ini membuatnya sulit melukiskan senyum di wajahnya.

Tug tug..

Jeanne merasakan tarikan di bajunya.

"Hm?"

Dia melihat tangan kecil Veronica menariknya, wajah gadis kecil itu melihat ke satu meja dagang. Jeanne melihat apa yang dilihat oleh sepupu kecilnya itu, di sana dia mendapati seorang wanita paruh baya penjual roti.

"Kamu… masih mau makan? Daging di tanganmu saja belum habis."

Veronica menoleh ke Jeanne, melihat ke wajah cantik Jeanne yang tampak tidak percaya. Dia tersenyum jahil lalu melahap semua daging di tusukan dengan sekali gigitan. Mengunyah di dalam mulutnya sehingga pipi-pipinya kembung bagai tupai, dan menarik Jeanne ke penjual roti.

"Bagaimana caranya semua makanan itu muat di perut kecilmu?"

Bisik Jeanne yang mengikuti tarikan tangan Veronica. Di depan mereka terdapat beberapa orang lain yang sudah mengantri untuk membeli roti. Mungkin roti itu memang enak sehingga banyak yang mengantri seperti ini, pikir Jeanne.

Dia lalu melirik ke Veronica yang kali ini melihat meja penjual sebelah. Jeanne mengikuti dan melihat kalau di sebelah adalah penjual senjata dan ramuan. Dia bisa melihat beberapa tombak kayu yang hanya diruncingkan dan beberapa ramuan penyembuh, jujur jumlahnya tidak banyak.

'…apa ini orang niat jualan?' pikir Jeanne, dia menggeleng kepala, lalu kembali melihat antrian di depan yang semakin sedikit.

"Kak Jeanne, belikan aku tiga roti isi. Aku bakal nunggu di sebelah."

Ucap Veronica yang langsung melepaskan tangannya, dan berpindah sebelum Jeanne bisa berkata apapun.

Veronica berjalan ke meja sebelah, lalu melihat penjual laki-laki berambut putih, yang rautnya terlihat mengumumkan kebosanannya.

Veronica tertarik ke tempat Cien bukan karena ramuan maupun senjata yang ada di pajangannya. Melainkan ke dua boneka kayu yang ada di pojok meja.

Boneka kayu yang dibuat Cien setelah semua persiapan dan pembuatan greatswordnya selesai. Dia membuat boneka tersebut karena bosan dan juga berharap bisa menarik pelanggan anak-anak untuk datang berkunjung. Yang ternyata baru kali ini berhasil.

"Selamat datang, Nona muda. Apa ada yang bisa saya bantu?"

"Itu, apa boneka itu bapak yang buat?"

Cien tersenyum ramah, "Yup, semua barang yang saya jual adalah hasil dari tangan saya sendiri."

Dia lalu mengambil boneka kayu yang ada di pojok meja, mengambilnya dengan memakai pengendali boneka yang terhubung ke boneka dengan beberapa utas tali. Cien memainkannya sebentar, memperlihatkannya ke gadis kecil. Walau tidak ahli, Cien setidaknya bisa membuat gerakan dasar seperti melambai, membungkuk dan berlari.

Veronica terkekeh. Cien memberikan boneka ke Veronica untuk mencobanya sendiri. Gadis kecil itu terlihat cukup tertarik, dia memainkan boneka dengan tawa renyah.

"Berapa harga boneka ini?"

"Hanya tiga Tia."

"Tiga Tia?! Murah sekali!"

Well, Cien membuat boneka itu hanya karena bosan, dan kayu yang dipakai pun bukanlah kayu langka seperti Hellteak. Itu hanyalah kayu dari pohon muda biasa yang belum menyerap miasma Hela. Walaupun dia ingin memberi harga yang mahal bila menghitung hasil kreasi tangannya sendiri, Cien tidak mau melakukan itu.

Mainan itu buat anak-anak, dia tidak perlu memberikan harga mahal untuk mainan sederhana.

Tidak lama, Jeanne kembali dengan sekantong roti di tangannya. Dia melihat sepupu kecilnya memainkan boneka dari kayu.

"Aku pikir kau tidak akan tertarik dengan hal lain selain makanan. Mainan, huh? Kamu suka itu?"

"Hm, Kak Jeanne, belikan ini, harganya cuma tiga Tia."

"Oooh~ okey," Jeanne berpaling ke penjual, "Ini tiga Tia."

"Terima kasih, Nona muda."

Setelah membayar, Jeanne sekilas melihat-lihat beberapa benda yang ada di atas meja. Melihat sepasang sarung tangan hitam, dia kemudian teringat sarung tangan yang biasa dipakainya sudah mulai lusuh.

"Berapa harga untuk sarung tangan ini, Pak?"

Cien melihat perempuan itu menunjuk ke Fire Glove, dia tersenyum lebar lalu berkata dengan nada tenang, "Satu, tiga puluh ribu Tia, sepasang lima puluh ribu Tia."

Duk!

Sekantong roti yang ada di pelukan Jeanne semerta terjatuh saking kagetnya dia mendengar harga yang diutarakan penjual.

"…"

"…"

Kedua sisi seraya hening. Jeanne dan Veronica menganga tidak percaya, sedangkan Cien hanya tersenyum lebar tanpa mengucap satu kata apapun. Begitu pula dengan pembeli di kedua meja samping Cien. Mereka merasa kalau telinga mereka salah mendengar.

"Tiga puluh ribu… apa anda ini penipu?" Tanya Jeanne dengan nada geram yang ditahan.