webnovel

Tawaran Dimas

Jika kata maaf dapat menghilangkan luka, niscaya tak akan ada orang yang akan masuk ke dalam penjara, cukup mengatakan kata maaf saja maka permasalahan akan selesai tanpa menghilangkan jejak.

Disudut ruang kamar yang sepi, penerangan lampu yang temaram berbaur dengan aroma khas rintikan hujan yang mulai turun membasahi bumi. Clara berdiri menatap hujan yang turun mulai dari rintikan kecil hingga kini mulai terdengar gemuruh mnandakan hujan yang mulai lebat.

Helaan nafas terdengar menyesakkan, Clara menyesap kopi dari tangan kanannya, sementara tangan kirinya menumpu tangan kanan yang memegang kopi.

Drrttttt DRtttttt Drtttttt

Kedua netra berbulu lentik itu menatap ponsel yang tergeletak begitu saja di atas ranjang. Setelah beberapa kali deringan, Clara melangkah memungut ponsel miliknya.

"Dimas."

Clara menarik nafas panjang sebelum mengeser tombol biru pada ponselnya.

"Hallo.."

"Hay sayang.."

"Ada apa, Yang.." Tanya Clara masih menyebut dengan sebutan sayang pada Dimas, walau sebutan itu bak pisau tajam yang mengiris hatinya.

"Tidak ada, kangen kamu aja. Seharian ga ketemu kamu." Balas Dimas tanpa kebohongan, Dimas memang sangat menyayangi Clara namun tanpa Dimas tahu rasa sayang Clara terhadap dirinya kini telah pudar karena kenyataan yang tak sengaja Ia dengar dari mulut Dimas.

"Kita masih bisa ketemuan besok kan?" Clara mencoba menenangkan hatinya, menahan gejolak perasaannya yang bak di hantam sembilu. Bagai mana tidak laki – laki ini lah yang telah merengut kebahagiaan keluarganya. Membunuh ayah tercintanya dengan cara yang kejam, dan kini ingin menguasai seluruh harta milik keluarganya? OH tidak! Ini sangat menyakitkan.

"Ya, tapi aku kengennya sekarang gimana dong." Jika ucapan ini Clara dengar sebelum Ia tahu kebenaran soal Dimas, tentu hati Clara akan berbunga – bunga dan bahagia seperti dulu. Tapi kini telah berbeda kata – kata itu tak ada lagi artinya untuk Clara.

Clara tersenyum sinis, "Kalau begitu tahanlah rindumu sampai besok."

"Aku tidak yakin bisa melakukannya."

"Lalu?"

"Aku di depan rumahmu sekarang." Clara terlonjak langsung menoleh kesamping melalui jendela kamarnya, benar saja Dimas berada di dalam mobil yang terguyur hujan lebat.

"Astaga! Sejak kapan kamu disitu?" Tanya Clara sambil berjalan menuju ke ruangan depan.

"Sejak kau melamun dengan secangkir kopi di tanganmu."

Clara hanya mendesah nafas berat mendengar penuturan dari Dimas. Tangan kanannya menekan saklar lampu di ruang tengah, sementara kakinya terus saja melangkah ke depan. Clara tak ingin membuat Dimas curiga akan sikapnya yang berubah. Tidak! Belum saatnya Dimas tahu. Ini terlalu awal bahkan rencananya saja belum Clara jalankan untuk membalas kematian sang ayah.

Kini rumah yang tadi sepi dan gelap, mendadak menjadi terang benderang. Dengan langkah kecil Clara keluar dari pintu dengan membawa payung menuju mobil Dimas.

"Ayo." Clara mengajak Dimas keluar dari mobil.

Dimas tersenyum senang, Clara adalah gadis satu – satunya yang mampu mengetarkan hatinya. Sekapnya yang selalu manis, senyum yang menawan serta kedewasaan yang di miliki seorang Claralah yang membuat Dimas jatuh hati pada sosok Clara. Namun sayang karena ambisi orang tua dan keluarga besarnya membuat Dimas terpaksa menduakan Clara. Dan sial untuk Dimas karena Clara telah mengetahui tentang itu semua. Kelak kata semanis apapun tak akan mampu mengobati hati Clara dan membalikkan keadaan seperti sebelumnya.

"Kamu masak apa hari ini?" Tanya Dimas seraya berjalan disisi Clara dengan memegang payung di tangan kanannya, dan tangan kirinya memeluk bahu Clara.

Tanpa Clara dan Dimas sadari, tepat diseberang jalan sepasang mata awas menatap keduanya.

"Kita jalan atau tetap disini Tuan?" Tanya sang sopir namun tak membuat Samudera menolehkan pandangannya dari Clara.

"Kita pulang, kamu sudah menyuruh anak buahmu untuk berjaga di sekitar sini kan?" Tanya Samudera pada sang sopir sekaligus kepala bodyguardnya itu.

"Sudah tuan."

"Bagus, jangan sampai lengah."

"Baik Tuan." Sahut sang sopir lalu kembali melajukan mobil yang Ia kendarai menuju ke kediaman Samudera.

Sementara di dalam rumah Clara..

"Bagai mana kamua tahu jika aku di rumah dan tidak ada di kos?" Tanya Clara sambil menuangkan kopi ke dalam cangkir lalu menyodorkannya ke hadapan Dimas.

"Terima kasih sayang."

Clara hanya tersenyum kecil, lalu duduk di seberang Dimas.

"Ada yang kamu pikirkan? Aku lihat kamu sedang melamunkan sesuatu tadi." Ucap Dimas setelah menyesap kopinya.

Clara mendongak lalu menatap Dimas, "Tidak ada, hanya sedikit lelah saja. Belakangan ini begitu banyak pekerjaan di kantor."

Dimas menarik nafas panjang, "Sudah berapa kali aku bilang sama kamu, berhenti bekerja dikantor itu, dan bekerjalah di kantor milik ku. Atau kita menikah saja jadi kamu tak perlu capek kerja untuk menghidupimu cukup aku saja."

'Menikah gundulmu.' Protes Clara dalam hati.

"Kenapa?" Tanya Dimas melihat ekspresi wajah Clara seperti nampak sebal.

"Ah.. Tidak.. tidak apa – apa." Clara tersenyum garing, bagai mana Ia bisa begitu bodoh menampilkan ketidak sukaannya.

"Bagai mana? Brhentilah disana, dan bekerjalah dengan ku."

"Memangnya ada posisi yang kosong, aku lulusan keuangan lho, bukan sekertaris."

"Kok kamu ngomongnya gitu?"

"Ya kali kamu mau jadiin aku sekertaris kamu, terakhir kali kan kamu bilang lagi butuh sekertaris, karena sekertarismu mengajukan cuti hamil." Jawab Clara setenang mungkin.

Dimas tersenyum, dia memang sedang membutuhkan sekertaris, tapi Dimas juga tahu jika Clara pasti akan menolak menjadi sekertarisnya karena Clara tidak menyukai bekerja yang bukan bidangnya.

"Aku memang butuh sekertaris tapi akua juga butuh manager keuangan, karena manager keuangan yang sudah ada akan di pindahkan ke kantor cabang untuk menduduki jabatan baru di sana." Terang Dimas dengan senyum menawan yang dulu membuat Clara begitu candu.

'Manager keuangan? Ini posisi bagus untuk aku bisa dekat dengan Dimas dan mencari informasi tentang perusahaan Dimas.'

"Clara.."

"Clara.."

Clara tersentak.

"I .. iya."

"Kok melamun lagi sih?"

"Aku lagi mikir soal tawaranmu." Jawab Clara jujur, walau ada maksud terselubung di dalamnya.

"Aku harap kamu bisa menerimanya, dengan begitu kita bisa lebih dekat stiap hari, dan aku ga harus nahan kangen seharaian."

"Halah gombal."

"Terserah apa katamu, Clara kita sudah cukup lama kenal dan cukup lama kita berpacaran Lho, kapan kamu mau ngenalin aku sama keluargamu?" Tanya Dimas bersungguh – sungguh.

Lagi – lagi, Clara menatap mata Dimas mencari secuil kebohongan yang mungkin terselip di dalam nya. Namun nihil. Apa Dimas terlalu pandai bersandiwara? Atau memang itu dari lubuk hatinya? Tak ada lagi kata percaya pada diri Clara untuk laki – laki yang dulu Ia puja setengah mati.

"Dimas, aku masih belum yakin keluargamu mau menerima keluargaku." Ucap Clara dengan menunduk, entah untuk menyimpan kebohongannya atau menyembunyikan kesedihan saat Clara menyebutkan kata 'keluarga'.

"Clara..."

"Tolong beri aku waktu Dimas..."