2 Fade to Back (2)

Musim kemarau mulai melanda daerah sekitar kami, tanah tanah mulai mengering dan hanya air sungailah harapan hidup kami. Bukan hanya penduduk desa bahkan pepohonanpun juga merasakan dehidrasi, hasil panen sejenis tetanduran mulai menurun, semua dilanda kelaparan dan kehausan. Namun, bukan itu puncak masalah dari musim ini, melainkan ketika matahari tepat menjulang di atas ubun ubun, ketika suara tapak kaki kuda yang membawa segerombolan orang barat berseragam dan bersenjata laras panjang melangkahkan kakinya di desa ini. Kepanikan warga desa yang tak terelakkan,setiap rumah mulai mengunci diri mereka sendiri, begitupun si Ibu Hartini yang menyuruhku untuk segera masuk rumah dan menutup pintu beserta jendela. Kesunyianpun menyeruap di desa itu, ketika seharusnya transaksi jual beli membahana di seluruh sudut kampung. Mata mata tajam mengintai setiap sudut celah di desa itu.... sayur mayur, rempah-rempah yang tinggal sedikit berserakan di setiap jalan dan gang-gang desa itu. Mereka berhenti di tengah tengah desa. menembakkan senapan ke udara dua kali. Salah seorang diantara mereka mulai angkat bicara, dari penampilanya ia adalah orang priyayi lokal akan tetapi ia justru membela orang barat tersebut.

"Kalian semua Keluar!" perintahnya, semua penduduk desa yang ketakutan akhirnya keluar juga termasuk kami berlima. Aku yang masih baru disini tidak mengerti apa yang terjadi.

"Apa yang terjadi di sini?"

"Kau benar benar tidak tahu?"

"Tidak" jawabku polos.

Ia mendesah " Aku pernah berserita mengenai suamiku bukan" aku mengiyakan "...kejadian ini memang sering terjadi sejak adanya kebijakan culture stelsel, kami yang tidak memiliki tanah terutama para pemuda pasti akan ditangkap untuk dipaksa bekerja"

Setelah kami berbicara aku baru menyadari bahwa ketiga anak itu sudah tidak ada di belakang kami lagi. Sebagian dari kami yang terdiri dari orang dewasa dan anak perempuan dikumpulkan di tengah desa. Dikepung orang orang barat dengan senjata laras panjang membuatku merasa khawatir apa yang akan terjadi. Priyayi itu terus mondar mandir mengamati kami semua. Ketimbang dia aku lebih khawatir tentang keadaan Joko,Supri dan Ragil karenaa mereka menghilang begitu saja. Ibu hartini juga tidak menunjukkan ekspresi untuk menjelaskan hal ini lebih lanjut.

Priyayi itu mundur kesamping dengan hormat ketika seorang dari orang barat tersebut yang masih menunggangi kuda mendekat dengan tatapan kosong seolah dia tidak ada disana. Ia turun dari kuda coklat yang ditungganginnya dengan sangat elegan, jubah putih panjang yang berkibar dengan gaya zaman victorian yang berpadukan renda renda warna kuning keemasan. Meskipun wajahnya sudah menunjukkan ketuaan tapi tidak meninggalkan sedikitpun tanda tanda kelemahan ditubuhnya. Ia maju beberapa langkah menuju kami sedangkan priyayi tersebut mengikutinya dibelakang, memerintahkan kami untuk memberi hormat pada pria barat tersebut, kami menurut meskipun pria tersebut lebih terlihat tidak mempedulikan sekitarnya. Ia lebih berfokus untuk melihat kesekeliling tempat menembus penghalang penghalang yang ada.

Puk! Sebuah batu krikil mengenai kepalanya. Alih alih marah ia lebih memilih untuk membenarkan letak kacamatanya. Justru ketika itu sang priyayi lah yang terlihat berang segera melontarkan kata kata kasar dan menyuruh beberapa prajurit untuk memeriksa tempat asal batu krikil tersebut. Sepertinya ia adalah tipe orang yang lebih suka melakukan sesuatu secara elegan dan menyerahkan pekerjaan kotor pada yang lain.

"Lepaskan! Lepaskan!" berontak anak anak laki laki yang melemparkan batu tersebut. Menyusul anak laki laki tersebut ternyata prajurit yang lain juga menyeret paksa anak anak laki-laki di sekitar tempat itu. Mereka sanngat berontak ada yang hanya menangis keras memanggil nama orang tua mereka ada juga yang sampai menggigit lengan prajurit tersebut yang berakhir dengan gamparan keras yang meninggalkan lebam merah di pipi mereka. Tiga orang dari mereka adalah anak anak ibu Hartini. Alih alih senang aku bisa melihat mereka kembali aku justru merasa kesal karena kini tempat persembunyian mereka telah terungkap. Begitupun bagi penduduk desa lainnya mereka merasa sangat terpukul usaha mereka untuk menyembunyikan anak anak mereka gagal gara gara ulah seorang anak yang melakukan tindakan heroik yang tidak perlu. Pria itu berjalan mengahampiri kerumunan anak laki laki yang menangs di depan kami. Dengan tatapannya ia menunjuk anak yang melemparkan kerikil tersebut ke kepalanya dengan ketapel yang masih dipegang anak tersebut.

"Kau anak yang pemberani..." pujinya dengan sedikit membungkukkan badan masih dengan tatapan yang tetap datar. Anak itu membalasnya dengan meludahi sepatu boot pria tersebut dengan wajah yang kesal ketika tangannya masih ditahan oleh kedua prajurit lainnya.

"...atau justru bodoh..."pria itu mengambil revolvel dari sabuknya dengan tanpa beban menembak kepala anak tersebut. Bersamaan dengan suara tembakan tersebut suara teriakan penduduk desa terdengan seperti suara symponi tidak teratur. Ledakan tangis terjadi pada seorang wanita paruh baya diantara kami, teriakan yang lebih memilih mati ketimbang semua ini dan saat itu juga keinginannya terwujut. Sementara bagiku, kejadian ini bagaikan live action dari film film yang pernah kutonton dengan sensasi dan sudut pandang berbeda tentunya. Duduk diam disini aku bisa merasakan ujung unjung jemari tangan dan kakiku membeku. Mengangkat tanganku hingga sejajar mata dan kuketahui memang tubuhku gemetar hebat, kurapatkan kedua tanganku kedepan bibir dan kutiupkan uap uap air dari mulutku untuk menghangatkan kedua tanganku. Meskipun aku tahu siang hari ini lebih membakarku. Kutengok keadaan ibu hartini yang ada di sampingku, wajahnya pucat terlihat lebih seperti orang mati.

"Seorang anak tidak akan berpengaruh banyak..." gumannya setelah memasukkan kembali revolver tersebut.

"Segera ikat mereka dan kita pergi dari sini..." perintahnya. Ia menepuk nepuh jubahnya dan segera menaiki kuda seakan ingin segera mengganti pakaiannya yang terkena percikan darah. Kualihkan perhatianku kembali ke anak anak laki laki yang ditangkap, mereka diikat baik tangan ataupun kakinya seperti seorang budak bahkan skurasa lebih buruk. Tidak ada kereta yang mengangkut mereka bisa dipastian mereka dipaksa untuk terus berjalan. kejam !

Sepertinya tempramen burukku sudah tidak bisa kutahan, ini sudah kelewat batas tentunya itulah caraku bertahan. Merubah kesedikan menjadi kemarahan

"Hentikan!!" terikku tanpa pikir panjang, sejujurnya saat itu tangiskulah yang meledak. Butuh beberapa detik untukku menyadari itu adalah kesalahan besar. Kemarahan hanya akan menambah masalah selain itu sangat tidak elegan berdasarkan pengalamanku selama tiga tahun. Hal ini sudah terlanjur kalaupun saat ini aku mati memangnya kenapa? Mati ya mati saja.

Menyampingkan perhatian yang ditujukan padaku serta menyampingkan tubuhku yang kian bergetar hebat kakiku masih tegak berdiri menantang pria yang menaiki kuda coklat didepanku. Sayangnya bukan reaksi darinya yang datang pertama kali akan tetapi sang priyayi gendut berjas hitam seperti pakaian bangsawan tempo dulu. Tapi bagiku ia tidak lebih dari sekedar anjing penjilat. Ia mendatangiku dengan terburu buru dan sangat marah. Dari belakang dengan tongkat pipilondo yang ia gunakan untuk menahan berat badannya yang berlebihan ia memukulku dengan keras sambil memaki makiku.

"Apa yang kaupikirkan orang rendahan! Cepat menunduk!...kubilang menunduk!" disaat kedua ia akan melayangkan pukulannya aku berhasil menahan tongkatnya yang tidak begitu panjang dengan kemarahan yang lebih meluap luap. Aku menarik tongkat tersebut sehingga ia terdorong kedepan dan dengan segera aku menendang tubuhnya yang besar, menodongnya dengan pisau dapur yang tidak perlu kau tanyakan kenapa aku memilikinya. Sesaat aku berpikir untuk membunuh orang ini tapi aku urungkan.

Dentuman keras dari tubuhnya serta teriakan melengking dari mulutnya menarik perhatian prajurit lain untuk menodongkan senjata laras panjangnya kekepalaku. Tapi mereka tidak akan menembak selain dari perintah tuan mereka. Dan akupun akhirnya mendapatkan perhatian pria tersebut.

"Kill him! Isn't it you wish, right?" gumamnya lirih melihat tindakanku. Mungkin dia menyangka aku tidak mengerti.

"I don't want to filthy my hand with this kind of rat" jawabku agak cepat dan terbata bata. Masih dalam sasaran tembak para prajurit. Membuatku sadar au tidak bisa apa apa.

"Just who are you?" tanyanya sedikit menunjukkan ketertarikan akhirnya.

"I'am villager here...sorry, my english doesn't perfect" aku menjatuhkan pisau yang kubawa kemudian memberikan hormat layaknya seorang pelayan. "...since beginning I knew that I couldn't beat against you. From that truth...I offer myself to serve you as replacement for those children" aku menunjuk ke arah anak anak tersebut yang telah selesai diikat.

"Are you kidding me? A little pribumi girl with those bunch of useless children?!"

"As you say, they are only a bunch of useless children... compared with me, I'll more usefull for you" semoga yang kukatakan benar, karena aku tidak memiliki cukup keyakinan untuk ini. Pria itu memicingkan mata kemudian tertawa dengan keras.

"Let's make a bet! Take down one of my soldier and i will acknowledge you but if you failed I'll burn up this village with you" ia tersenyum licik. "Alright!" jawabku lantang meski ragu.

Ia kemudian menunjuk prajurit, ia cukup tinggi dan berotot, prajurit itu melemparkan senjatanya dan pria itupun mempersilakan "Silakan mulai"

Diam diam aku mengambil batu kecil berbentuk oval tak beraturan dari tanah, mengepalnya keras dan dalam penuh kekuatan sebagai tambahan tenaga pukulanku yang akan kulayangkan ke arah ulu hati si prajurit tadi. Seperinya prajurit tadi sudah siap untuk mengeraskan setiap otot ototnya menjadi sekeras beton, alhasil pukulanku hanya membuatnya mundur selangkah dan membuatnya sedikit menggeram kesakitan memegangi perutnya.Bersamaan dengan itu, pria berotot tersebut mulai menguatkan kembali otot ototnya membuatnya lebih mantap daripada hanya sekedar beton melainkan sebuah pertahanan Adementium murni.Sepertinya ia adalah tipe orang yang membiarkan musuhnya kelelahan.Tapi aku tek perlu gentar, sedikit saja dari perasaan itu maka aku akan kalah. Aku maju, menyiapkan sebuah pijakan pasti, menyiapkan kedua telapak tangantangan yang terbuka, membentang, memukul kedua belah gendang telinga pria tersebut sehingga membuat pendengarannya kesakitan, merintih memegang kedua daun telinganya. Namun tak kupedulikan, hal yang mejadi titik fokusku hanyalah untuk menumbangkannya! Dengan sigap aku menunduk kebawah menyiapkan pukulan menekan diagfragma pria tersebut sehingga oksigen dalam paru parunya dipaksa keluar dan membuatnya sullit bernapas. Dengan tangan yang masih menekan diagfragmanya. Segera ia juga melemparkan hantaman tepat keatas kepalaku, beruntungnya diriku sempat untuk segera menghindar ke belakang tubuh besarnya dan menendang bagian belakang persambungan antara tulang kakinya sehingga ia jatuh terduduk, tak sampai itu saja ia segera membalasku dengan sodokan tulang sikunya yang sempat mengenai bagian lambungku, meski kesakitan segera aku meraih kedua tangannya dan mengikatnya kebelakang menggunakan kedua tanganku dan menaruh salah sau kakiku diatas punggungnya untuk menghentikan gerakannya. Meskipun aku rasa bagian perutku lebam dan sakit serta luka lecet di sekujur tubuhku karena harus bergesekan dengan tanah dan bebatuan. Namun perasaan ini begitu memuaskan, lebih daripada ketika aku harus bertarung Taek kwon yang banyak aturan. Pertarungan beberapa detik yang menegangkan, dan aku juga harus berterima kasih pada adikku yang telah memaksaku untuk gesit ketika menahan amukannya.

avataravatar
Next chapter