26 Menjaga Jarak

Hari berlalu sangat cepat. Nastya benar-benar menjauhi Narendra baik di rumah maupun di luar. Bukan karena permintaan Hindra agar Nastya menjauhi putranya, tapi ini karena dirinya sudah tidak ingin ada hubungan apa-apa lagi dengan Narendra. Ia ingin melepaskan Narendra dan membiarkan pria itu bersama dengan Ralin.

Sore hari, di sebuah kafe yang ada di pusat kota, Nastya bersama dengan Dokter Kavin duduk sambil makan dan berbincang. Tadi, ia ditelepon olehnya dan meminta Nastya untuk segera datang kafe ini. Walau awalnya Nastya enggan untuk pergi, tapi mendengar pria itu terus memohon, akhirnya Nastya tidak tega dan bersedia untuk datang.

"O, iya, bagaimana dengan kabar kakakmu sekarang?" tanya Dokter Kavin basa-basi.

"Apa kalian tinggal bersama setelah ibumu meningal?" Padahal, dirinya hanya ingin tahu, di mana alamat rumah Nastya. Tapi harus berpura-pura dulu menanyakan kabar kakaknya.

"Hemh?" Nastya yang sedang menyedot minumannya, segera mendongak sambil mengangkat alis.

"Rastya?" tanya Nastya memastikan. "Kami tidak tinggal bersama. Rastya tinggal di luar, dan akuuuu ...." Ia bingung harus menjawab apa.

Tidak mungkin dirinya menjawab "Tinggal di rumah Tuan Hindra." pada Dokter Kavin. Ia segera mencari ide untuk menjawab.

"Kau tinggal di mana, bersama dengan siapa?" tanya Dokter Kavin lagi, tidak sabar.

"Aku tinggal di ...." Rumah yang waktu itu ia beli ada di sebelah utara kota ini. Nastya segera mengatakan alamat rumah itu pada Dokter Kavin, "Aku tinggal sendiri di jalan utara kota H. Terkadang temanku datang dan menginap di rumah."

"Oh, seperti itu." Dokter Kavin mengangguk seolah mengerti. "Kapan-kapan, apa boleh aku berkunjung ke rumahmu?" tanyanya dengan penuh harap. Dokter Kavin berharap bisa berkunjung ke rumah Nastya dan bermain di sana.

Terdengar Nastya menjawab, "Tentu saja! Kau boleh main ke rumahku. Tidak ada yang melarang. Hehe!"

Padahal, saat ini dirinya tidak tinggal di sana. 'Jika sampai Dokter Kavin benar-benar datang ke rumah itu, bagaimana?'

"Syukurlah kalau begitu!" Dokter Kavin merasa senang dengan hal itu. "Nanti, aku antar kau pulang, ya! Sekalian ingin tahu alamatnya di mana," ucapnya sedikit memaksa. Membuat Nastya tidak ada kesempatan untuk berkata "Tidak!".

"Ya, ba-baiklah!" Nastya kembali menyantap makanannya untuk mengalihkan rasa gugupnya karena berbohong pada pria itu.

Setelah semua makanan dan minuman mereka habis, Dokter Kavin bersiap untuk pergi ke meja kasir.

"Tunggu sebentar!" Lalu ia pergi ke meja kasir untuk membayar makanannya.

Setelah selesai, mereka berdua keluar dari kafe. Dokter Kavin pergi ke tempat parkir, sedangkan Nastya ... dia menunggu mobil Kavin di pinggir jalan.

Beberapa menit berlalu, mobil Dokter Kavin tidak kunjung datang. Kaki Nastya sudah pegal, dan ia merasa malu karena terus berdiri di pinggir jalan, tanpa tujuan. Akhirnya, Nastya memutuskan untuk menghampiri pria itu di tempat parkir.

Ketika kakinya baru dua langkah berjalan, terlihat sebuah mobil hitam berjalan di depannya, lalu berhenti.

"Nastya!" sapa seorang wanita dari dalam mobil tersebut sambil menurunkan kaca mobil.

"Ralin?" Nastya melihat Ralin dan Narendra ada di dalam mobil. Tiba-tiba dadanya terasa sesak dan sakit, seperti habis ditonjok orang.

"Sedang apa kau di sini?" tanya Ralin dengan ramah. "Ikutlah dengan kami makan di kafe, yuk?"

"Tidak! Aku sedang menunggu seseorang," jawab Nastya dengan malas. Ia terlalu malas untuk bersama pengkhianat seperti mereka. Apalagi harus makan bersama di kafe. Cihhh .... Dirinya tidak sudi melakukannya.

Terlihat dari arah berlawanan sebuah mobil datang, lalu berhenti. Dokter Kavin turun dari dalam mobil itu dan berjalan menghampiri Nastya.

"Maaf, aku tidak bisa mengantarmu pulang," ucapnya dengan tergesa-gesa. "Ada pasien yang harus segera dioperasi. Aku harus segera kembali ke rumah sakit."

"Oh, yah, pergi saja! Aku bisa pulang naik taksi," jawab Nastya. Dalam hati merasa lega.

"Kau tidak marah, kan?"

"Haha, kenapa aku harus marah? Cepat pergilah! Di rumah sakit, ada pasien yang sedang menunggumu. Jangan membuang-buang waktu lagi." Nastya meminta Dokter Kavin segera pergi. Ia tidak menyadari, dari mobil hitam itu, Ralin dan Narendra masih terus memperhatikan mereka berdua.

"Baiklah! Aku pergi dulu, ya!"

"Hem!" Nastya mengangguk.

Lalu Dokter Kavin segera meninggalkan Nastya, kembali masuk ke dalam mobil dan mengendarai mobilnya meninggalkan tempat itu.

Nastya bisa bernapas dengan lega. Tidak perlu lagi mencari alasan agar dirinya tidak diantar pergi ke rumah itu.

"Wah ... wah! Nastya memang hebat," cibir Ralin dari dalam mobil. "Sudah menikah dengan ayah Narendra, tapi masih ketemuan sama pria lain. Huhhh, bagaimana jika sampai ayah Narendra tahu kelakuan nakalmu ini, ya? Mungkinkah dia akan marah dan segera menceraikanmu?"

Nastya mendengar cibiran itu, tangannya terkepal erat di bawah baju. Ingin marah, namun tidak ingin membuang-buang waktu dengan meladeni rubah ini. Ia hanya bisa menarik napas panjang, dan membuangnya.

Matanya menatap Ralin dan Narendra silih berganti, lalu pergi meninggalkan mereka berdua tanpa sepatah katapun.

Ia menghentikan taksi dan segera pergi.

"Nastya masih saja berpura-pura polos, padahal dia—" Tiba-tiba ucapan Ralin dipotong oleh Narendra.

"Apa sudah selesai ... mengurusi hidup orang lainnya? Bisakah kita pergi ke tempat parkir sekarang?" tanya Narendra dengan tajam. Ia memegang roda kemudi dan bersiap menginjak pedal gasnya.

Melihat cara berbicara Narendra yang nampak kesal, Ralin tidak berani mencibir Nastya lagi. Ia segera mengangguk, mengisyaratkan Narendra agar segera jalan.

Narendra mengendarai mobilnya berjalan menuju tempat parkir. Setelah mobil terparkir sempurna, ia segera keluar dari dalam mobil. Tanpa menunggu Ralin turun, apalagi sampai membantu wanita itu membuka pintu, Narendra segera berjalan menuju pintu masuk kafe.

"Narendra, tunggu!" panggil Ralin dari belakang. Ia setengah berlari mengejar pria itu.

"Aissshhhhh, sial!" makinya dengan kesal. "Selalu saja seperti ini."

"Narendra selalu saja 'bad mood' ketika bertemu dengan Nastya. Tidak di jalan, di rumah, bahkan di depan kafe sekalipun, Narendra selalu marah dan kesal. Apa karena Nastya menikahi ayahnya, membuat dia sangat marah?" gerutu Ralin saat dia berjalan menuju pintu masuk kafe.

Di sebuah meja yang ada di tengah-tengah ruangan itu, Narendra duduk sambil melipat kedua tangan di depan. Ia masih kesal karena tadi Nastya bersama dengan seorang pria. Padahal, wanita itu menjauhinya karena takut orang lain akan melihat dan membuat isu yang tidak enak.

'Tapi sekarang ... Nastya dengan terang-terangan makan di kafe dan jalan bersama dengan seorang pria!'

Ini namanya tidak adil. Mengapa dengan dirinya tidak bisa, tapi dengan pria lain sangat bisa?

"Sayang! Kau mau makan apa?" ucap Ralin sambil membuka daftar menu di atas meja. Ia menunjuk beberapa makanan yang kelihatannya sangat lezat.

"Apa mau yang ini? Atau yang ini? Yang ini juga enak! Kau mau yang mana?" tanya Ralin lagi tanpa henti. Membuat pria itu merasa tidak nyaman.

"Terserah kau saja! Aku tidak pilih-pilih makanan!" jawab Narendra dengan sedikit malas.

avataravatar
Next chapter