18 Pencarian Rumah Helena

Di depan sebuah rumah kelas menengah, yang ada kios berjualan  penjualan nasi kuning, namun dalam keadaan tertutup, Rusman menghentikan mobilnya.

"Ini rumahnya, Pak. Tapi nama warungnya kok Helena? Bukannya Lenny? Bapak salah kasih alamat kali...?" si sopir bertanya.

"Kamu jangan banyak protes, glundung pringis! Aku gak nyari rumah si Lenny, tapi rumah ini! Ayo turun, tapi jangan geleng-geleng kepala lagi ya, awas! Nanti bisa-bisa yang punya rumah pingsan melihat kamu...!" Rusman memperingatkan.

Keduanya turun, Rusman mengetuk pintu rumah yang dalam keadaan tertutup. Rumah itu terlihat sepi, jauh pula dari tetangga karena rumah-rumah di kawasan itu letaknya berjauhan antara satu tetangga dengan tetangga yang lain.

Seseorang membuka pintu, tapi yang membuat Rusman tercengang adalah seorang bocah laki-laki  berumur sekitar  3 tahun. Bocah itu memandangnya dengan lucu?  mendongak ke atas ke arah Rusman yang nyengir juga menatapnya. Bocah itu berwajah tampan,  kulitnya putih dan bersih. Ngomongnya cedal.

"Ciang, Om. Cali capa...?" si bocah bertanya.

Rusman mengerutkan alis. Anak sekecil ini bisa membukakan pintu? Bagaimana kalau ada seseorang yang berniat jahat menyambangi rumah ini? Pikirnya.

"Bapakmu ada?" tanya Rusman.

Bocah itu menggeleng. " Di kubulan..." bocah itu menjawab sambil menunjuk ke satu arah.

"Oh?" Rusman tercengang. Apa maksud bocah itu. Apa maksudnya sedang ziarah ke kuburan? Lama ia terdiam.

"Ibumu...?" Rusman  bertanya lagi.

"Cakit..." jawab si bocah, sambil menunjuk ke dalam rumah. "Kakak juga cakit..."

"Oh...?" Rusman kembali melongo. Jadi semua penghuni rumah ini sakit? Dan cuma si bocah ini yang berkeliaran di dalam rumah? Astaga! Jadi begini kondisi keluarga gadis yang ia sandera di rumahnya itu,  karena perasaan suka?

Rusman menelan ludahnya. Ia merasa miris.

Perlahan-lahan ia melangkah ke dalam rumah. Satu hal yang sama sekali tak pernah ia lakukan selama hidupnya. Masuk ke rumah seseorang yang belum ia kenal. Tapi semua keanehan itu ia lakukan karena ada dorongan perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Si sopir menyusul juga ikut ke dalam, tapi Rusman buru-buru mencegahnya.

"Kamu di luar aja! Biar aku selesaikan  urusanku di dalam!" Rusman melotot.

Si sopir nyengir. "Tapi saya takut kalau bapak kenapa-kenapa di dalam..."

"Ah, apa juga yang ditakutkan! Paling juga ada apem di dalam.  Gak ada yang lain!"

"Kan apem Lenny lebih enak, Pak..." ledek si sopir.

Rusman sudah hampir saja melayangkan tinjunya ke kepala sopir yang suka usil itu. Tapi hal itu ia urungkan mengingat kepala si sopir mudah terlepas walaupun kena goyang dikit aja.

"Sudahlah! Kamu nunggu di luar aja. Pusing aku kalau ada kamu!" bentaknya. "Tapi nanti bawakan koperku ke sini ya!"

Rusman dengan rasa penasaran menerobos ke ruang tengah, dan menengok ke sebuah kamar.

Si bocah kecil menguntitnya di belakang. "Om mau maying di yumahku, ya..." celoteh si kecil sambil tertawa.

"Oh, gak. Om cuma merampok ibumu saja..." kilah Rusman sambil tersenyum kecut. Sialan ni bocah! Memangnya tampangku kayak maling ya? Pikirnya. Agak lama ia memandang bocah kecil yang lucu itu. Hm. Jadi ini adiknya Helena ya? Wajahnya juga agak mirip gadis itu. Memang keturunan rupa yang bagus mereka! Apa ibu dan anak yang satunya lagi juga begitu?

Rusman merasa penasaran!

Bocah kecil itu menyeret tangannya menuju ke sebuah kamar.

Seorang perempuan berusia setengah baya tergopoh-gopoh keluar kamar. Memandang kaget Rusman yang berdiri di tengah ruangan yang sedang digandeng oleh si bocah lucu.

"Siapa itu, Carly...?" Ia menatap Rusman dengan mata terpicing, yang saat itu hanya mengenakan oblong warna kuning bergambar tokoh kartun Sponge Bob agar terlihat lebih muda dari umurnya. Beda dengan penampilannya sehari-hari berpakaian style, ala korea.

"Saya utusan dari kecamatan..." jawab Rusman sambil nyengir. Ternyata ibu nya Helena cantik juga. Tapi sudah berumur, sekitar empatpuluhan mungkin, namun di usia seperti itu ia masih terlihat matang dan segar.

"Oh, silakan duduk di kursi, Pak. Maaf, saya tak bisa respon cepat ada tamu, saya sedang tak enak badan," kata perempuan itu. Wajahnya tampak pucat dan nafasnya terengah-engah.

"Tidak apa-apa. Biar saya duduk di lantai, ibu silakan aja berbaring," kata Rusman sambil tersenyum. pantas aja anaknya cantik! Ibunya saja masih cantik begini! Bathinnya.

Wanita itu melambaikan tangannya ke arah si kecil. "Sini... jangan ganggu Om..."

"Tak apa-apa. Dia tampaknya senang sama saya," kata Rusman sambil mengucak-ucak kepala bocah kecil itu yang terus memegangi tangannya.

"Dia memang mudah akrab dengan laki-laki yang datang ke rumah ini sejak ayahnya meninggal enam bulan yang lalu, mungkin karena merindukan ayahnya," kata si tuan rumah dengan nada datar. Rusman terkesima.

"Ayahnya?!" Rusman terbelalak. "M-maaf, saya tidak tahu itu... saya baru saja pindah ke kantor kecamatan, seharusnya saya tahu itu," kata Rusman agak terbata. Astaga! Jadi ayah Helena telah meninggal enam bulan yang lalu?

Ia menatap sebuah foto berpigura indah di dinding ruangan itu. Foto Helena! Dengan mengenakan jaket jeans warna hitam, dalaman mengenalan t-shits warna kuning. Cantik sekali.

"Itu anak saya yang sulung, foto setahun yang lalu. Tapi beberapa hari ini ia tak pulang-pulang ke rumah, kami beberapa kali menghubunginya tapi telpon kami tak pernah direspon, aku jadi sangat khawatir, entah  apa yang terjadi padanya. Tapi dia memang belakangan agak berubah setelah ditinggal pergi ayahnya," kata perempuan itu. Wajahnya tampak sedih.

Rusman terenyak di tempat duduknya. "Berubah bagaimana?" Rusman bertanya penasaran.

"Dia sering melamun dan menyendiri. Kadang ia sering marah-marah tanpa sebab pada adiknya. Padahal dia itu dulu sangat lembut dan penyayang pada saudara nya. Belakangan ia sering pulang terlambat dan bahkan bisa malam hari, dan sebulan yang lalu ia membawa uang yang banyak tanpa aku meminta. Saat kutanya ia tak mau menjawab. Ia hanya mengatakan ia ingin melihat kami sejahtera seperti dulu, saat ayahnya masih ada..." kata perempuan itu panjang lebar. Matanya berkaca-kaca.

Rusman merasakan dadanya terasa sesak. Ia menghela nafas untuk mengusir rasa sesak di dadanya. "Saya berdoa, semoga anak ibu cepat pulang..." katanya pelan. "Kami pihak kecamatan akan berusaha melacak keberadaan anak ibu. Ah, paling-paling ia ngambek atau ada kesibukan yang lain... jangan khawatir!" kata Rusman pula sambil nyengir kuda.

Si sopir segera masuk dengan membawakan sebuah koper besar. "Sudah, sana, kamu tinggu aja di luar!," ia mengusir si sopir yang cengar-cengir menatapnya tengah berbincang-bincang dengan si ibu cantik. "Single parent ya, Pak?" bisik si sopir lagi. Lalu buru-buru melangkah keluar saat melihat mata Rusman melotot ke arahnya.

Saat berada di ruang depan si sopir terlihat tertawa geli. "Ada peningkatan level rupanya nih, bos! Janda cantik bro! Janda..." ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Sialnya kepalanya langsung terlepas dan menggelinding di lantai! Untung tak ada seorangpun yang melihat. Ia kalangkabut memungutnya dan memasangkan kembali di lehernya.

"Huh! Susah amat sih setelah aku jadi manusia?! Masih enakan waktu aku tinggal di hutan juga! Gak ada badan yang harus diurus dan gak ada yang damprat...!" gerutunya sambil bergegas masuk ke dalam mobil.

Di dalam rumah Rusman masih tercenung.

"Maaf, Bapak dari kecamatan ada apa nih? Saya jadi takut. Jangan-jangan kami ada pelanggaran, atau teguran?" si ibu rumah bertanya. Seperti merasa cemas.

"Oh, enggak-enggak. Saya memang dari kecamatan. Tapi kedatangan saya justru gak ada hubungannya dengan kecamatan," Rusman agak serba salah karena bingung harus mengatakan apa dengan tujuannya agar terdengar logis. "O, begini... saya juga tim sukses dari salah seorang pasangan calon bupati yang ikut Pilkada tahun ini. Nah kebetulan ini ada titipan dari beliau, yaaah sekedar bentuk perhatian kepada masyarakatlah sebelum beliau di lantik..." kata Rusman agak ngaco.

"Oh? Jadi ceritanya serangan fajar nih...!" si ibu tampak geli. Kok jauh-jauh hari amat? Bukankah pemilu masih sembilan bulan lagi?"

Rusman melongo. Wah lumayan juga nih wawasan si janda! Pikirnya agak grogi. Tapi ia berusaha bersikap cuek.

"Tau tuh, pasangan calon. Kebelet pingin menjabat kali! Pagi-pagi udah bagi-bagi duit...!" ujar Rusman asal. Ia bergegas membuka kopernya. Terlihat tumpukan uang ratusan ribu rupiah. Ia menghitungnya sebanyak 100 juta rupiah, lalu meletakkannya di hadapan si ibu rumah.

Wanita itu menatap bingung uang yang diletakkan Rusman.

avataravatar
Next chapter