9 Cinta Ditolak Dukun Bertindak!

"Ya, Seminggu katanya. Menjenguk anak-anak..." Rusman menjawab pelan sambil terus memperhatikan berkasnya.

Leny mendekat. Ia membuka satu kancing teratas agar dadanya lebih terbuka lebar. Kulit dada dan leher berkilau putih pun semakin terlihat. Dengan gaya pasrah ia kembali mendekati Rusman, sambil menyeret kursinya sendiri.

"Enggak kesepian pak, ditinggal nyonya?" tanyanya dengan suara dibikin mendesah.

"Ya, sepi juga sih. Tapi gak masalah, kan masih ada perempuan lain..." ujarnya sambil sejenak menoleh ke arah Leny. Tapi kemudian asik lagi dengan kertasnya. Acuh tak acuh. Membuat Leny makin penasaran. Kok enggak tergoda sih? Gerutunya. Apa aku mesti tingkatkan level godaan?!

Ia pasang aksi lebih menggoda lagi. Roknya yang pendek ia singsingkan lagi lebih ke atas, terlihatlah batang paha nya yang mulus. Dan dengan sikap nekad duduk di atas meja Rusman. Meninggalkan kursi tempat duduknya semula. Salah satu paha nya ia tumpangkan di atas paha yang lain. Lalu menatap dengan pandangan genit. Lidah dijilat-jilatkan ke bibir, seperti sapi memamah biak.

"Kasian ya Pak Rusman. Udah seminggu gak ngasah parang ya, Pak?" desahnya.

Rusman tersenyum. "Gak juga. Saya agak jarang-jarang juga ngasah parang. Maklum sudah tua... isteri saya juga sudah tua," jawabnya. Tapi ia tetap mengacuhkan akting Leny yang sudah seperti ulat bulu.

"Wah, bisa tumpul dong parangnya kalau lama gak diasah..." Leny meningkatkan kembali level godaannya karena merasa masih diacuhkan. Dia merangkak di atas meja Rusman seperti kuda nungging dengan kaki dibentangkan. "Jangan kelamaan gak diasah, Pak. Ntar karatan lho..."

Rusman menengadah, dan terkejut melihat pemandangan aneh yang ada di hadapannya.

"Oh...! Apa yang kau.....!" Pemimpim perusahaan itu kaget dengan mata melotot.

"Kaget ya, Pak, ngeliat pose saya? Pose saya terlalu menantang?" Leny pasang senyum menggoda.

Rusman terlihat shok dan gagap. "Ku-kupikir tadi seekor kuda hinggap di mejaku," jawabnya terbata.

Bruk!

Leny langsung jatuh pingsan di atas meja karena kecewa.

***

Rusman tergopoh-gopoh panik pulang ke rumahnya. Tadi baru saja dokter Yanuar mengabarkan kalau gadis yang dalam perawatannya tiba-tiba jatuh pingsan. Ia bagaikan terbang berlari menuju ke kamar perawatan setelah memarkir mobil mewahnya di garasi.

Pintu kamar perawatan langsung ia dobrak. Di dalam terlihat dokter Yanuar sedang memeriksa detak jantung Helena, sementara satu orang perawat menyiapkan obat-obatan yany diperlukan.

"Bagaimana keadaan..."

"Saya masih menelitinya dok, tapi alangkah baiknya kita bawa anak ini ke ruang ICU rumah sakit..."

"Jangan!" Rusman menggeleng. Namun wajahnya tetap cemas. "Aku tidak ingin dia diketahui orang banyak. Dokter tahu sendiri kan? Kasusnya ini cukup fatal bagi keluargaku!"

"Tapi saya memerlukan alat Citi Scan untuk mendiagnosa codera otaknya, Pak. Dan alat itu cuma ada di rumah sakit."

"Bawa alat itu ke sini!"

"Tidak semudah itu, Pak..."

"Kenapa? Mahal? Sewa, kalau tidak bisa, saya beli asalkan dia tidak terlihat dunia luar!"

Dokter muda itu mengerutkan alis. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Berapa harganya?" Rusman bertanya.

"Dua milyar, Pak..."

"Beli sekarang juga!"

"Ini bukan masalah harga, Pak. Barang seperti itu tak sembarang diperjualbelikan. Ada prosedur panjang yang harus ditempuh. Yang jelas itu hanya bisa dibeli oleh institusi kesehatan..."

"Kalau begitu kita rawat saja dia di luar negeri!" Rusman berapi-api.

Dokter Yanuar tercengang. "Pak Rusman serius...?"

"Aku akan urus penerbangan ke Singapura sekarang juga, kau ikut denganku..." Rusman bergegas mengeluarkan ponselnya.

"Sebentar Pak..." dokter itu mencegahnya. "Kalau masalah identitas anak ini yang menjadi soal, itu bisa diatur. Kita bisa jadikan dia pasien gelap lewat belakang. Itu bisa diatur. Biaya nya jauh lebih murah daripada harus beli Citi Scan atau ke luar negeri segala," kata dokter Yanuar menengahi.

"Oke. Secepatnya lah diatur! Aku ingin anak ini selamat, tapi identitasnya tetap harus dirahasiakan. Aku tidak ingin keberadaannya diketahui oleh dunia luar!"

Dokter itu mengangguk. Meski tetap merasa heran dengan sikap ganjil Rusman.

"Kalau anak ini berhasil sehat, tapi tetap hilang ingatan! Akan ada satu mobil mewah kuhadiahkan untukmu," Rusman menegaskan.

Dokter Yanuar kembali tercengang. Tapi tak berani banyak protes lagi. Ia segera mengurus berbagai keperluan untuk memasukkan Helena ke rumah sakit.

***

Seorang perempuan bertubuh bahenol sedang menghadap seorang dukun terkemuka di kota Sampit. Ia mengadukan nasib sialnya yang diabaikan oleh bos perusahaan yang diincarnya untuk dijadikan suami tua.

Dengan hati penuh dendam ia mengadukan keresahannya di hadapan sang dukun muda bernama Burhan itu.

Asap kemenyan mengepul ke seisi ruangan praktek si dukun, pertanda ia sedang bekerja memanggil para jin perewangannya.

Tapi jin-jin itu seperti enggan mendatanginya. Ia terus melantunkan mantera-manteranya dan menambah kemenyan di dalam pedupaannya.

Asap kemenyan semakin tebal memenuhi ruangan, sehingga Leny terbatuk-batuk sambil menutup hidungnya dengan kertas tissu. Matanya terasa perih dan memerah. Sejenak ia menahan nafasnya. Lalu bertanya dengan nafas tertahan.

"Gimana Pak dukun? Sudah ketahuan apa penyebabnya hingga bos saya tidak menaruh perhatian pada saya lagi? Uhuk, uhuk!" matanya berair, antara menangis dan perih terkena asap.

Burhan menarik nafas kesal karena jin perewangannya tidak datang-datang juga untuk memberikan informasi yang ia perlukan.

"Sebentar... beri saya waktu... untuk memanggil jin-jin saya... dari tadi belum datang-datang juga," desisnya masih memejamkan mata.

"Kenapa sih mereka gak datang-datang juga? Betingkah amat! Apa perlu dibuatkan surat panggilan?!" sentak Leny tak sabar.

"Sabar non. Memperlakukan makhluk halus tidak semudah itu. Mereka tidak bisa datang dengan main paksa. Mungkin ini gara-gara honor mereka kurang," kata Burhan, sambil sesekali membaca manteranya.

Leny menghela nafasnya. Ia merogoh tas kecilnya lalu mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu rupiah. "Kalau begitu saya bayar dulu uang mukanya. Siapa tahu jin perewangannya datang lebih cepat!"

Burhan membuka sebelah matanya.

avataravatar
Next chapter