7 Seorang Cicit!

Ray segera duduk di samping Pelangi dan melingkarkan tangannya di bahu Pelangi, membuat Pelangi merasa membeku apalagi ketika dia mendaratkan bibir hangatnya di kening Pelangi. Dia merasa senang Ray memperlakukannya dengan manis di depan mama dan kakaknya seakan-akan dia adalah suami yang sangat baik pada istrinya., tapi di sisi lain hatinya dia menangis karena sikap itu hanya sebuah kepura-puraan saja. pelangi tersenyum hangat agar tidak menimbulkan kecurigaan dari mama dan Bintang.

"Kata Angi, kamu telat karena mendampingi klien. Benar, Ray?" tanya Bintang dengan tatapan menyelidik meski wajahnya menampilkan senyum hangat "Pasti kliennya kelas kakap ya? Sampai kamu lebih memilih menemaninya dan datang terlambat."

Ray menatap Pelangi, mencoba menebak apa yang dikatakan Pelangi pada kakaknya, dia merasa sedikit takut kalau Pelangi mengatakan dia bersama Arini. Kalau mereka sampai tahu apalagi nenek, dia bakalan kehilangan semuanya. Pelangi pura-pura tak tahu kalau Ray menatapnya, setelah menyantap sepotong tiramisu, dia segera berdiri dan melangkah ke toilet. Ray segera pamit pada Mama dan Bintang dia segera menyusul Pelangi. Mama dan Bintang tersenyum melihatnya.

Toilet yang dituju Pelangi berada di belakang agak terpisah dari ruang utama, suasana di sana tak begitu ramai karena tamu yang diundang tak banyak, sebatas keluarga dan beberapa sahabat kedua mempelai saja. Ray meraih tangan Pelangi dan menariknya ke dadanya, orang yang melihat akan mengira Ray memeluk Pelangi.

"Apa yang kau katakan pada mereka?" tanyanya dengan suara rendah yang sangat dingin.

"Memangnya apa?" Pelangi tak mengerti.

"Jangan pura-pura! Kamu pasti tahu apa yang kamu katakan pada mereka sampai Kak Bintang menanyaiku!" Ray mengeratkan cengkramannya di tangan Pelangi.

"Aww, Sakit, Ray! Lepas!" Pelangi berusaha melepas tangannya yang ada dalam genggaman Ray tapi semakin keras dia mencoba dia justru merasa tangannya makin sakit.

"Apa yang kau katakan pada mereka?!" tatapan dingin Ray seperti bisa membekukannya.

"Lepas, Ray! Aku mau buang air!"

"Katakan!" Ray menekan tangannya lebih keras.

Pelangi tertawa, apapun yang dia katakan Ray pasti akan berprangka buruk padanya.

"Apapun yang kukatakan kamu tak akan percaya!" Pelangi menyeringai menahan sakit di tangannya.

"Hey... kalian kalau mau bermesraan jangan di tempat umum, dong!" teriak Rania, sepupu Pelangi sambil terkekeh.

Pelangi segera melepas tangannya dari genggaman Ray yang melonggar.

"Kalau kamu takut miskin, kenapa tidak kau lepaskan gadis miskin itu hingga kamu tak perlu berprasangka pada orang lain!" desis Pelangi kemudian berlari menuju toilet karena dia sudah tak tahan untuk buang air.

Ray memandang marah pada Pelangi yang menghilang di balik pintu toilet. Dia kembali melangkah ke ruang utama dan melihat nenek sudah ada di sana. Ray berusaha menghindar tapi rupanya nenek melihatnya. Dia segera memanggil Ray ke mejanya, dengan cemas Ray mendekat.

"Mana istrimu?" tanya Nenek sambil menatapnya tajam.

"Di toilet, Nek."

"Sepenting apa klien yang minta kamu temani sampai kamu membiarkan istrimu berangkat sendiri?"

"Ah, dia mengeluh karena datang sendiri? " Ray bernafas lega.

"Dia sama sekali tidak mengeluh, hanya saja aku yang kasihan melihatnya," kali ini suara nenek lebih santai. "Besok lagi kalau kamu tidak bisa datang bersama istrimu, mending gak usah datang sekalian!"

"Iya, Nenek. Maaf tadi memang masih ada yang harus negosiasi dengan klien jadi tidak bisa meninggalkannya begitu saja," Pada kenyataannya bukan klien yang dihadapi Ray tadi tapi seperti dugaan Pelangi dia memang bersama Arini dan sebenarnya Arini melarangnya datang ke pesta ini karena tak mau Ray bertemu Pelangi.

"Baiklah tapi lain kali kamu harus lebih memperhatikan istrimu!"

"Iya, nek." seperti biasa di hadapan nenek, Ray selalu merasa seperti anak kecil yang tidak bisa membantah apapun yang dikatakan nenek. Ray melihat Pelangi telah kembali dari toilet, wajahnya terlihat ceria ketika dia tersenyum pada kerabatnya tapi matanya seperti menyembunyikan sebuah rasa sakit.

"Angi!" panggil nenek.

Pelangi segera menoleh mendengar suara nenek yang tak begitu keras, dia segera tersenyum lebar dan mendekati mejanya. Pelangi segera mencium tangan keriput nenek saat sudah dihadapannya. pelangi kemudian duduk di kursi yang telah ditarik Ray untuknya. Ray kembali melingkarkan tangannya di bahu Pelangi.

"Nenek sudah lama datang?"

"Baru saja." sahut Nenek sambil menatap Pelangi, "Besok lagi jangan datang sendiri ke acara seperti ini, tunggu Ray biar dia yang menemanimu,"

"Tidak apa-apa, Nek. Angi maklum Ray sangat sibuk," jawab Pelangi getir tapi dia tetao tersenyum di hadapan Nenek.

"Tuh, Nek Angi saja tidak masalah kenapa malah Nenek yang bingung," sahut Ray.

"Diam kamu anak nakal! Itu tanggungjawab kamu sebagai suami!"

Ray segera menghentikan senyumnya. Pelangi sebenarnya ingin tertawa tapi segera ditahannya.

Setelah diam beberapa lama akhirnya, sesuatu yang Pelangi takutkan keluar juga dari mulut Nenek.

"Kapan kalian akan memberi nenek seorang cicit? Sudah lima bulan kalian menikah tapi nenek belum melihat ada perubahan di perut Angi."

Pelangi menelan ludahnya yang terasa pahit, kalau yang bertanya orang lain bahkan orang tuanya dia tak terlalu perduli tapi ketika yang bertanya nenek, dia merasa bersalah. Pelangi sangat ingin penya anak dari Ray tapi Ray jelas tak menginginkannya. Jangankan menyentuhnya, Menatapnyapun Ray enggan. Ray bahkan kerap membawa perempuan itu ke rumah mereka. Pelangi menatap ekspresi gugup di wajah Ray yang begitu kentara.

***

AlanyLove

avataravatar
Next chapter