14 Sulit

"Dari mana aja Lo?" Tanya Dika saat bertemu dengan saudaranya, Aksara.

"Bukan urusan Lo."

"Aksa! Sampai kapan kamu mau menghindar, apa dengan cara seperti ini akan membuat Airin kembali baik – baik saja?" Dika terpacu emosi.

"Udah gue bilang ini bukan urusan Lo."

"Ini urusan gue kalau menyangkut elo sama Airin."

Aksara berlalu begitu saja meninggalkan Dika yang menatap saudara sepupunya dengan gelengan kepala.

'Airin lagi.. kenapa mereka berdua jadi berantem karena Airin sih… kenapa yang di lihat selalu dia bahkan gue yang lebih dulu kenal aja selalu di lihat biasa saja.' Gumam seseorang yang tak sengaja melihat pertengkaran antara Aksara dan Dika.

Aksara membanting tas nya ke atas meja, sontak saja hal itu membuat Aldo dan Alfario terkejut bukan kepalang.

"Setan Lo!" sumpah serapah Aldo meluncur begitu saja.

"Datang – datang langsung marah. Kayak cewek lagi PMS."

"Gimana Airin?" dasar Alfaro yang tak pernah tahu situasi yang sedang terjadi menanyakan hal yang sangat sensitive pada Aksara.

"Kalian yang di rumah sakit, kenapa Tanya gue?" Jawab Aksa sok ga peduli.

"Ya kali, Lo kesana semalam, secara itu semua gara – gara elo." Alfaro mengatakan hal yang sesungguhnya walau yang di lakukan Aksara bukanlah kesengajaan, namun karena Ia yang memesankan makanan tanpa bertanya terlebih dulu pada Airin yang menyebabkan Airin menjadi masuk rumah sakit.

"Ah!" Aksara mengebrak meja belajarnya lantas pergi meninggalkan kedua sahabatnya yang tak tahu menahu tentang masa lalu Aksara dan Airin.

"salah lagi? Bukannya bener yang gue omongin barusan." Tanya Alfaro pada Aldo yang hanya mengendikkan baju tak mengerti juga dengan sikap Aksara.

"Udahlah kayaknya moodnya lagi ga bagus."

Sementara Airin yang kini terbaring di rumah sakit karena alergi udang yang ia makan, duduk termenung bersandar kepala ranjang.

Air matanya kembali jatuh saat mengingat Aksara yang menahan kesedihan seorang diri. Dan berusaha menjauhi dirinya.

"Aksa Maaf…" Gumam Airin.

"Seharusnya aku tak ikut ayah pindah kesini, harusnya aku tetap di Bandung. Aku tak ingin membuat mu merasa bersalah dengan apa yang terjadi padaku."

Airin teringat semalam saat ia tanpa sengaja melihat bayangan Aksa datang ke kamar inap nya. Dengan terisak Aksara meminta maaf walau dengan suara lirih yang hampir tak terdengar.

"Ai… kamu menangis?" Tanya Anjas yang ternyata sudah berdiri di samping ranjangnya.

Wajahnya yang ia benamkan pada kedua lutut membuatnya tak melihat kehadiran Anjas masuk ke dalam ruang rawat inap.

"kak anjas.." Airin segera menghapus sisa air mata yang masih menempel di pipinya.

"Kenapa menangis?" Tanya anjas dengan lembut lalu menarik kursi untuk duduk di samping ranjang Airin.

"Tidak apa – apa kak."

"Ada yang sakit?"

Airin mengeleng.

'Pasti karena kau memikirkan Aksara.' Batin Anjas.

"Kakak ga ke kantor?" Tanya Airin saat menyadari jam berapa saat ini.

Anjas tersenyum, "Ke kantor, tapi nanti setelah dari sini."

"kenapa? Nanti Om marcel ga ada yang bantuin."

"Aku mana bisa kerja kalau belum memastikan bagai mana keadaanmu."

"Tadi malam bukannya kakak baru dari sini, bahkan menjagaku hingga larut."

"Tetap saja. Aku ingin tahu keadaan mu."

"Aku baik – baik saja, sana pergilah ke kantor. Jangan sampai kakak di potong gajinya nanti ga bisa traktir airin makan enak." Kata Airin dengan senyum yang di paksakan.

Anjas pun ikut tersenyum, "Baiklah, kakak berangkat ke kantor ya, hubungi kakak kalau kau perlu sesuatu."

"Kakak tenang saja, ada ibu kok. Hanya saja ibu sedang ke depan tadi di telpon ayah untuk mengambil pesanan ibu yang di bawakan oleh ayah."

"Oh! Kamu gam au pesan apapun gitu sama kakak?"

"Ga. Tanpa aku pesan pasti kakak udah bawain macam – macam buat Airin. Itu buktinya." Airin menoleh pada meja yang kini di penuhi makanan yang di sukai oleh Airin tentunya tak mengandung bahan yang membuat Airin kembali alergi.

"Ow ya, kakak sampai lupa tadi bawa oleh – oleh buat kamu ngemil."

"terima kasih ya kak."

"sama – sama. Kakak pergi dulu ya."

Airin mengangguk lalu menatap kepergian Anjas sampai menghilang di balik pintu.

Tak berbeda dengan Airin. Aksara kini pun terdiam dalam lamunan. Tepat di bawah pohon rindang Ia duduk dengan tangan yang memeluk kedua lutut nya.

"Ai… maaf." Lagi – lagi kata – kata itu yang keluar dari mulut Aksara.

Dengan wajah tertunduk di atas lututnya, Aksara menyesali apa yang di lakukannya kemarin hingga menyebabkan Airin terluka.

"Tak ada gunanya elo meratapi semua yang telah terjadi. Satu hal yang bisa lo lakuin sekarang adalah memaafkan diri lo sendiri. Lo piker dengan kayak gini Airin bakalan suka? Enggak! Justru dia akan ikut merasa bersalah."

Aksara menoleh pada Dika yang kini ikut duduk di samping dirinya.

"Lo ga tahu gimana Airin kemarin nanyain elo, gimana khawatirnya dia saat tahu elo menghilang setelah mengantarkan dirinya ke rumah sakit." Lanjut Dika.

"Gue ga peduli, Dik. Aku memang pembawa sial untuk Airin. Biarkan gue kayak gini, dan hanya mampu melihatnya dari jauh. Gue hanya ingin melihat Airin tersenyum. Walau tanpa gue."

Dika tersenyum sinis, "Sok tahu Lo. Justru sama elo dia bisa tersenyum."

"Tapi gue juga Cuma pembawa celaka buat dia."

"Itu lagi.. udah gue bilang semua itu takdir bukan kesalahan elo. Bukan karena elo dekat dengan Airin lalu dia celaka, tapi semua karena takdir… TAKDIR! PAHAM?!" Dika sungguh habis kesabaran berbicara dengan Aksara. Entah bagai mana caranya supaya Aksara mengerti dengan apa itu takdir dan apa itu celaka.

"Semalam gue secara ga sengaja dengar sesuatu." Ucap Dika sambil menoleh pada Aksara.

"Dengar apa?" Tanya Aksara dengan nada tak bersemangat.

"Kak Anjas ternyata selama ini juga menyukai Airin." Jawab Dika

Aksara menoleh dengan cepat pada Dika.

"APA?"

"Kak Anjas suka sama Airin. Dan itu juga sudah lama bahkan sebenarnya kak Anjas juga yang mendesainkan sepatunya Airin sehingga ia berjalan tidak pincang saat disekolah."

Aksara kembali menunduk, "Mungkin kak Anjas memang orang yang tepat buat dia. Kak Anjas laki – laki dewasa yang sangat memahami perasaan Airin, tahu apa yang disukai Airin dan tahu bagai mana caranya membuat Airin tersenyum."

"Lo ga ada niat buat dapatin Airin, bukannya Elo sayang banget sama dia?"

"Justru karena gue saying, gue ikhlas jika dia bahagia dengan laki – laki lain, apa lagi jika orang itu adalah kak Anjas. Orang yang sangat gue percaya."

"kalo gue jadi elo, gue akan berusaha ngedapatin Airin bagai manapun caranya, karena gue yakin Airin Cuma bakal bahagia kalo sama gue." Ucap Dika lalu beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan Aksa sendirian.

avataravatar
Next chapter