9 Kepala batu

"Aksa! Lo kenapa sih? Ga seharusnya elo marah dengan Airin, lagi pula mengapa elo juga menyalahkannya? Itu bukan kesalahannya kan?" Tanya Alfaro tak habis dengan sikap sahabatnya yang menurutnya begitu keterlaluan.

Dika mengerutkan dahi. Mata elangnya menatap awas pada Aksa yang masih terdiam selepas kepergian Airin. Ini bukanlah Aksa yang seperti biasanya.

"Sebaiknya kalian pulang." Ucap Aksara, 

Ketiga sahabatnya hanya saling tatap, lalu Dika mengangguk. Aldo dan Alfaro melaangkah keluar dari ruang kamar Aksara, namun berbeda dengan Dika Ia masih diam di sofa tanpa terpengaruh omongan Aksara.

"Sekarang gue tahu kenapa sedari pagi mood Lo jelek." Ucap Dika membuat Aksara menoleh padanya namuan masih saja diam.

"Semua itu karena Airin. Dia Ai gadis kesayangan elo kan?" 

"Dari mana Lo tahu? Pasti dari papi." Tebak Aksara.

Dika tersenyum simpul, "Iya, jujur aja gue penasaran aja, ga pernah elo sekasar ini sama cewek, ternyata benar karena sesuatu. Tapi ga seharusnya juga lo berbuat begitu, itu Cuma nyakitin hati Lo."

Aksara masih terdiam, tatapannya menerawang daan pikirannya mengingat apa yang telah dirinya lakukan pada Airin.

"Gue akan selalu membuatnya celaka, jadi lebih baik dia ga usah deket sama gue." Ucap Aksara dengan nada sedih.

"Itu menurut Lo, nyatanyan elo tadi justru yang nyelamatin dia, bukan membuat dia celaka." Debat Dika.

"Ga gue selalu membuatnya sakit, bahkan dia cacat karena gue?"

"Cacat?" Dika mengerutkan dahi bingung karena tak melihat ada keanehan pada diri Airin.

Aksara mengangguk, "Lo ga tahu kan? Kaki Airin tak sepenuhnya dapat menumpu berat tubuhnya dengan baik karena ada gangguan di kakinya, dan itu akibat dia nylametin gue. Karena itulah gue selalu histeris kalau ingat dia, semenjak itu papi melarangku ikut ke Bandung agar aku tak bertemu dengan Ai dan melupakan masa kelam itu."

"Kalau begitu jangan jauhi dia, jaga dia." Ucap Dika namun Aksara mengeleng.

"Selama ini hidupnya baik – baik saja, itu karena ga ada gue disisinya."

Dika menarik nafas panjang, "Itu semua karena takdir, jika selama ini Ai baik – baik saja karena jauh dari Elo, itupun juga ga lepas dari takdir, Aksa."

Aksara mengeleng, "Enggak, lebih baik dia ga sama gue. Lebih baik gue jauhin dia."

"Dengan cara seperti tadi?" Dika benar – benar tak habis pikir dengan Aksara.

"Mungkin itu salah satu caranya."

"Tanpa elo sadari, elo sedang nyakitin diri elo sendiri dan juga Airin. Gue yakin Airin bukan perempuan dengan pikiran picik, dan dia kesini tadi Cuma mau bilang terima kasih tapi elo ngusir dia dengan cara yang sangat kasar."

"Itu lebih baik, dengan begitu Airin benci ma gue, dan dia ga akan mau deket ma gue."

Dika mengelengkan kepalanya pelan, sungguh Ia sudah habis kata – kata untuk mendebat saudara sepupunya itu.

"Terserah elo deh, kalo Lo ga mau sama Airin, biar gue yang deketin dia, gue yang akan melindungi dia dari bullyan Amanda Cs, dan Lo sebaiknya diam dan ga ikut campur, karena elo memang ga mau berhubungan dengan Airin, gue harap lo ga cabut omongan elo tadi. Dan jangan salahkan gue kalau Airin jadi suka sama gue, atau sebaliknya."

Dika mengambil tasnya kemudian pergi dari ruang rawat Aksara. Entah apa yang kini Aksara pikirkan.

"Aggghh!" Aksara sungguh frustasi dengan keadaan ini, apa lagi Ia tahu bagai mana Dika.

Dika tak pernah main – main dengan ucapannya. Benarkah Aksa akan rela memberikan Airin begitu saja pada Dika? Atau dia harus mencoba berdamai dengan traumanya dan berusaha kembali seperti dulu saat kecelakaan itu belum terjadi atau dia harus bagai mana? Aksara benar – benar bingung.

Sementara Airin baru saja sampai di rumahnya. Ia dengan santai masuk ke dalam rumah tanpa terlihat sesuatu tengah terjadi dengannya. Senyum cerianya tersunging saat menatap wanita yang melahirkannya menunggunya di halaman rumah.

"Kamu agak terlambat Airin." Ucap Ibu Fatma

"Iya Bu, tadi angkotnya lumayan lama nunggunya."

"Ow, ya sudah. Segera ganti bajumu lalu makan, Ibu sudah masakin kamu makanan kesukaan kamu."

"Baik bu." 

Bu Fatma tersenyum namun Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh putri tercintanya.

"Pasti tentang Aksara." Gumam Bu Fatma lalu segera ikut menyusul Airin masuk kedalam rumah.

****

"Aksara masuk rumah sakit karena tumpahan bakso, apa yang kau pikirkan Tara?" Tanya Tuan Marcello pada ayah Airin.

"Den Aksara menyelamatkan putri saya."

Tuan Marcello menganggukkan kepalanya. 

"Aksara, masih trauma, dia tetap menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi pada Airin. Apa yang harus kita lakukan?"

"Menurut informasi yang saya dapat Aksara mengusir Airin dari ruang rawatnya. Lalu Aksara berdebat dengan Dika."

Tuan Marcello mengangguk – anggukkan kepalanya, "Saya tahu bagai mana caranya?"

"Maksud Tuan?"

"Biarkan Dika mendekati Airin, aku yakin Aksara tidak akan tinggal diam akan hal itu, aku tahu jika selama ini Aksara sangat menyayangi Airin." Ujar Tuan Marcello sambil tersenyum.

"Tapi Airin..."

"Kenapa? Apa kamu keberatan jika suatu saat keduanya berjodoh?"

Pak Tara menundukkan kepalanya, Ia bingung harus menjawab apa, Dia sungguh tahu diri jika Ia hanya seorang supir yang merangkap sebagai bodyguard dan juga asisten pribadi.

"Tara, kita sudah lama cukup mengenal kamu tahu kan aku tidak pernah memandang seseorang dari statusnya, aku harap kamu pun demikian."

"Maafkan saya Tuan. Menurut saya biarkan mereka melangkah sesuati takdirnya."

"Kamu pikir aku akan merubah takdir mereka? Aku hanya berusaha yang terbaik untuk Aksara dan Airin, aku tahu Airin seperti apa dan aku pun sangat mengenal Aksara seperti apa, Aksara membutuhkan Airin. Dengan Airin, Aksara bisa meluapkan apa yang dia rasakan tanpa gengsi ataupun malu. Dia begitu menjadi dirinya sendiri, dan beberapa tahun ini aku kehilangan sosok Aksara yang demikian, dia selalu menjadi anak yang sok kuat padahal sebenarnya dia rapuh, kau bahkan bisa melihat itu saat Ia datang ke rumahmu menjenguk Airin bukan?"

Tara tidak menjawab tapi di dalam hatinya, Ia membenarkan apa yang di katakan oleh Tuan Marcello.

Pintu ruangan diketuk dari luar, keduanya langsung menoleh ke arah pintu, Tara kemudian dengan cekatan membukakan pintu untuk sang tamu yang baru saja datang.

"Anjas.." Pak Marcelo beranjak dari duduknya melihat sosok yang selama ini Ia rindukan.

"Hallo Om."

"Om senang kamu datang, dengan begitu Dika dan Aksara tidak sendiri, dan tentunya ada seseorang yang akan membimbing mereka." Ucap Tuan Marcello setelah memeluk keponakannya itu.

"Tentu saja, Om."

"Kamu akan membantu Om di perusahaan kan?" Tuan Marcello memastikan apa tujuan Anjas datang ke kantornya.

avataravatar
Next chapter