10 Dia, Mereka

"Apa kabar Aksa?" Sapa Anjas saat Aksa baru saja membuka mata.

Aksa melebarkan matanya. Ia berharap ini bukanlah mimpi. Kakak sepupu yang selalu menjadi sandrannya kini telah kembali. Anjas adalah kakak kandung dari Dika namun lebih dekat dengan keluarga Aksa di banding keluarganya sendiri.

"Kak Anjas…"

"Kau sudah bangun…" Anjas membantu Aksa untuk duduk diranjang.

"Hm, kakak kapan datang? Apa Dika tahu jika kakak disini?"

Anjas tersenyum, "Dika tahu, aku sudah memberitahunya, apa kabar dengan hatimu, masih sama kah untuk gadis kecilmu?" Anjas memang tahu segalanya tentang Aksara, di banding Dika memang Aksa lebih dekat dengan Anjas. Mungkin karena usia yang terpaut jauh membuat ia merasa diperhatikan, di manja dan selalu di lindungi oleh anjas.

Anjas mengerutkan dahi melihat ekspresi wajah Aksara yang mendadak sendu.

"Pasti papi dan Dika sudah cerita sama kakak ya?"

"Cerita apa maksud mu?" Anjas memang tidak mengetahui apa yang sudah terjadi. Bahkan kenapa Aksa sampai masuk rumah sakit pun dia tak tahu.

"Jadi papi tidak bercerita sesuatu?"

Anjas mengeleng dengan tangan bersedekap didada.

"Boleh kakak tahu apa yang terjadi?"

Aksara Nampak diam, lalu mendongak menatap kakaknya yang selalu sabar menghadapi kelakuannya.

"Jadi?" Tanya Anjas.

"Ai sekolah di tempat yang sama dengan ku, dan aku berulang kali membuat kesalahan padanya, termasuk tadi aku mengusirnya saat ia kemari hendak berterima kasih."

"Berterima kasih untuk?"

Aksara menyingkap selimutnya, dan terlihat warna merah di perut dan sekitar dadanya, Aksa memang tidak terbiasa tidur dengan menggunkan baju rapih, pasti semua kancingnya terbuka.

"Ya Ampun itu kenapa? Jangan bilang karena itu kau masuk rumah sakit."

Aksara mengangguk, "Ini karena tersiram kuah bakso yang hamper mengenai Ai…"

"Kau menghalanginya dan akhirnya kau yang terkena tumpahan kuah bakso itu." Lanjut Anjas dan Aksara kembali mengangguk.

"Dia selalu di bully di sekolah, karena dia anak baru dan dari kalangan keluarga yang biasa."

"kenapa kau tak melindunginya?"

"Bagai mana bisa, justru aku juga sering membullynya dulu."

"Astaga.." Anjas mengelengkan kepalanya tak percaya.

"Kenapa sih kalian masih saja suka membully? Dan sekarang senjata makan tuan, bullyan mu berbalik padamu, ternyata orang yang kamu sayangi yang kamu bully."

"Ya begitulah."

"Hentikan. Dan jangan ada lagi pembullyan di sekolah, besok kakak akan ke sekolah dan meminta kepala sekolah membuat peraturan baru di sekolah."

"Tapi kak…"

"Kalian sudah kelewatan, ini pasti perbuatan teman kamu siapa itu namanya yang sering caper sama kamu, anaknya Om Handoko kan?"

"Amanda."

"Entah siapa nama gadis itu. Aksa kamu harus tegas menghilangkan perundungan di sekolah kita. Jangan sampai hal ini tersebar keluar sekolah imbasnya akan menjadi sangat buruk tidak hanya untuk citra sekolah tapi juga untuk keluarga kita."

"dan untuk Ai, kamu harus meminta maaf padanya…" Lanjut Anjas.

"Tidak!"

"kenapa?"

"Biarkan dia membenciku, aku akan selalu menjadi sebab dia celaka kak."

"Kamu ngomong apa? Semua itu karena takdir."

"Itu semua karena aku."

"Sekarang kakak Tanya, apa yang akan kamu lakukan jika Ai sudah membencimu?"

Aksara terdiam, jujur dia tidak tahu sebenarnya apa yang di maui oleh hatinya, Ia hanya yakin jika Ia membawa celaka untuk Airin, sebab itulah ia harus menjauhi Ai.

" Kakak kasih tahu apa yang akan terjadi padamu, kamu akan kehilangan Airin gadis yang dari kecil kau sayangi sepenuh hati, bahkan menjadi tujuan hidupmu. Apa kamu sudah siap untuk benar – benar kehilangannya?"

Aksa tidak bisa menjawab. Ia hanya diam sedangkan Anjas menarik nafas panjang melihat adik sepupunya yang bingung dengan situasi hatinya.

******

Dengan langkah lunglai Airin masuk ke dalam sekolah pikirannya masih tertuju pada Aksara, antara khawatir dengan kondisinya dan sedih karena sikap Aksara padanya.

PUK!

Tepukan di pundak mengagetkan dirinya.

"Kak Dika."

"Kalau jalan jangan melamun, kesambet ntar lho." Ucap Dika lalu mensejajarkan langkahnya dengan Airin.

"Lo pasti masih kepikiran soal yang kemarin ya.."

"Ga usah nyangkal kelihatan dari muka masam lo tuh.." Dika masih saja berkata – kata tapi Airin masih terdiam.

"kakak ngajak ngobrol Airin nanti ada yang marah lagi, ujung – ujungnya nanti aku yang di bully."

"Siapa yang berani bully elo karena deket sama gue, berarti orang itu mau berurusan dengan gue. Lo tenang aja gue ga kayak Aksara yang banyak fans nya."

"kakak yang ga sadar kalau banyak fans nya karena kakak terlalu baik, hati – hati lho kak, siapa tahu ada yang suka tapi ga berani bilang."

"Gue harap itu elo."

Airin tersenyum, "Airin ga suka di harapkan."

"kenapa?"

"Takut membuat orang kecewa."

"takut membuat orang kecewa atau kamu sedang menanti cinta seseorang?"

Airin menoleh menatap pada wajah tampan disampingnya itu, tanpa mereka sadari seseorang sedang menatap kedekatan mereka dengan hati yang bergemuruh.

'Ternyata belom kapok juga, kemarin Aksa, sekarang Dika. Maunya apa?' batin seseorang itu.

"Takut orang itu akan kecewa." Kata Airin.

Dika tersenyum, "Elo terlalu memikirkan perasaan orang lain, satu hal yang harus lo tahu, terkadang orang yang lo jaga perasaannya, belum tentu orang tersebut juga menjaga perasaan lo."

Dika mengacak rambut panjang Airin, lagi lagi hal itu membuat orang yang sejak tadi memperhatikan mereka menjadi bertambah geram.

"Nanti istirahat tungguin gue di kelas lo, kita ke kantin bareng, OK?" Ucap Dika sebelum masuk ke dalam kelasnya.

Airin tak menjawab, Ia hanya tersenyum entah mengapa mendengar kata kantin saja dia sudah merasa tak bersemangat.

Airin kembali berjalan menyusuri koridor, lalu lalang siswa dan siswi sama sekali tak ia hiraukan. Airin hanya terfokus pada langkahnya agar segera sampai di kelas.

"Ai…" Suara yang sangat ia kenal terdengar di telingganya.

Airin menoleh, dan melihat maria berlari kecil ke arahnya, namun senyumannya luntur saat melihat tiga gadis popular sekolah menatap sinis padanya. Maria yang melihat wajah sahabatnya tak bersahabat langsung menoleh ke belakang.

'Mereka lagi.' Gumam Maria lalu segera berlari kea rah Airin, menarik tangan sahabatnya itu untuk masuk ke dalam kelas.

"jangan hiraukan mereka." Ucap Maria sambil menarik tangan Airin masuk ke dalam kelas.

"Wajah lo murung, pasti lo masih kepikiran soal kemarin ya?" Tanya Maria pada Airin yang sedang merapikan tasnya di tempat duduk kosong tepat di sampingnya.

"Aku hanya merasa tidak enak hati pada Aksara, karena aku dia jadi terluka."

Maria menarik nafas panjang, "Sudah lah, mungkin Aksara sedang ada masalah pribadi jadi kebawa sampai ke elo."

Airin menatap wajah Maria yang tersenyum begitu cerianya.

"Aku perhatikan sejak ada kak Dika, kamu selalu tersenyum kemarin – kemarin enggak? Ada apa kah?"

avataravatar
Next chapter