17 Ulang Tahun Bibi

Ketika anak-anak mendengar teriakan itu, mata mereka membelalak dan melihat sekeliling, Benar saja, sesosok tubuh berjalan dari kejauhan, sosok itu rupanya adalah ayah mereka yang datang menjemput.

Saat Dewi dan restu pulang, tidak ada anak di rumah. Tungku juga masih dingin, tanda tidak ada yang menyiapkan makanan. Mereka paham jika anak-anak tidak mungkin meninggalkan rumah tanpa pamit. Mereka kemudian menemukan sebuah surat, catatan yang ditinggalkan anak-anak untuk berpamitan.

Restu baru saja menemukan anak-anaknya. Ia melihat anak-anaknya berlari cepat dengan langkah lebar. Anak-anak itu membungkuk, membawa beban di punggungnya.

Restu melihat anak-anaknya membawa banyak barang. Mereka memperhatikan ada burung gagak di tangan Rano. Mereka tak menyangka anak lelakinya sudah pandai menangkap buruan di gunung.

"Anak pintar, kemarilah. Biarkan ayah yang membawanya. Keranjang itu sangat berat." Saat Restu mengambil alih keranjangnya, Restu tahu jika beban keranjang itu sangat berat. Pantas saja anak-anak membungkuk.

"Ayah, kita mengambil banyak kacang mede hari ini, haha, kita bisa makan puas hari ini dan kita bisa memetiknya setiap hari mulai sekarang," kata Ming Yuan riang.

Mereka semua berjalan dengan riang. Mereka hampir sampai di desa.Rano melihat sesosok wanita mondar-mandir di rumah nenek mereka. Benarkah bibinya telah kembali?

Rano menarik saudaranya yang ada di sampingnya, "Kakak, adik, sepertinya aku baru saja melihat bibi, Sembunyikan burung ini, jika tidak ia akan merebutnya."

3 anak tertua keluarga Restu setuju menyembunyikan burung hasil buruannya. Mona tidak tahu dimana saudara-saudaranya bisa menyembunyikan burung itu dna mengambilnya lagi nanti.

Rano meraih tangannya dan bertanya setengah membisik, "Dik, menurutmu bagaimana jika kita menjual ayam itu? kita akan mencarinya lagi lain hari, oke?".

Meskipun Mona tidak tahu di mana bisa menjualnya, dia paham jika ia harus melindungi haknya. Ia tak ingin hasil buruannya hari ini diambil bibinya. "

"Kak, kakak bisa menjualnya, aku tidak tidak apa-apa tidak makan daging, kita bisa menangkapnya lagi lain hari, ayo pergi, jangan biarkan bibi melihatnya".

Restu yang berjalan di depan, tidak tidak tahu jika anak-anak sudah berunding di belakangnya. Eka dan Rano membawa burung gagak itu dan pergi. Saudaranya yang lain membuntuti ayahnya, membawa hasil buruan hari ini dan menunggu di rumah. Setelah sampai di rumah, baru Restu dan Dewi menyadari dua anaknya menghilang.

"Rena, dimana dua saudaramu yang lain? Bukankah tadi mereka bersamamu?"

Kakak beradik itu hanya tersenyum padanya, "Ayah, kami akan mengatakannya setelah kita sampai di kamar."

Saat mereka sampai di rumah, Dewi sudah menunggu di pintu. Wajahnya terlihat lega anak-anak sudah kembali. Tapi, ia sadar dua putranya belum kembali. Dewi takut ada yang salah, tapi ia mencoba berpikir positif. Mungkin dua anaknya itu sedang melakukan sesuatu yang lain.

"Wi, kemarilah dan lihatlah. Anak kita mendapat panen besar hari ini. Kamu bisa melihatnya sendiri."

Restu mengatakan sambil meletakkan kantong kain di tangannya, Sementara Dewi juga mengambil keranjang di tangan Rena, "Ah, banyak sekali, anak-anak, kalian cepatlah masuk kamar dan istirahatlah, kita akan makan malam setelah dua kakak kalian kembali."

Restu masih ingat janji Rena, "Ren, kemana kakakmu pergi?".

"Ayah, mereka pergi ke pasar hewan, mereka menjual burung gagak itu agar bisa mendapatkan sedikit uang."

Mendengar berita itu, wajah Restu tiba-tiba pucat. "Kenapa mereka tidak bilang dulu. Hari ini, bibimu merayakan ulang tahunnya. Aku berencana menggunakan burung itu untuk menambahkan hidangan untuknya."

Dewi enggan mendengar Restu berkata seperti itu. "Apa yang kamu katakan? Anak saya bekerja sangat keras untuk menangkap burung dan kamu berencana untuk memberikannya pada orang lain? Kamu benar-benar saudara yang baik. Aku bahkan tidak melihat ada hidangan lezat untuk keluarga kita. Tapi, kamu malah berpikir menghidangkan makanan lezat untuk saudaramu di hari ulang tahunnya? Kapan kamu pernah memikirkan ulang tahun anak-anak. Kau tidak pernah melihatmu sebagai ayah yang berpikir ulang tahun anak-anaknya."

Dewi tersedak dengan kata-katanya dan Restu tiba-tiba mematung. Dia tidak pernah memikirkan masalah ini sebelumnya. Ketika dia berada di keluarga besarnya, semua masih bergantung dengannya. Setelah sekian lama, dia masih memperlakukan adik laki-laki dan perempuannya sebagai anak-anak. Dengan perkataan istrinya, kini ia tahu bahwa ia sudah terlalu lama menelantarkan anak-anaknya. Bukan karena ia tidak mencintai anak, tetapi karena ia sudah terlanjur biasa mengurus adik-adiknya. Ia lupa jika anak-anaknya masih kecil karena mereka sudah bisa mandiri, sedangkan ia justru memperlakukan adik-adiknya seperti anak kecil Padahal, adik-adiknya itu sudah dewasa.

Restu menggendong putrinya dengan meminta maaf, "Sayang, maafkan ayah, Ayah janji akan lebih menyayangi dan memperhatikanmu"

Mona tidak menunggu untuk membuka mulutnya, tetapi Rena berkata di sampingnya, "Ayah, kami tidak peduli dengan ulang tahun. Kami hanya meminta ayah menjaga ibu dengan baik. Lihatlah bekas luka di wajah ibu, itu semua hasil kelakuan bibi. Aku justru ingin menampar bibi karena luka itu. Jadi, berhenti bersikap baik dengan bibi. Ayah masih punya adik yang lain, dan kami masih punya dua bibi selain dia. Jangan berbicara manis jika ayah masih menyakiti ibu."

Kata-kata anak itu membuat air mata Dewi mengalir, Jangan anggap anak-anak tidak bisa berkata apa-apa karena anak justru akan mengatakan semuanya dari alam hati.

Restu benar-benar dikalahkan oleh putrinya kali ini. Tidak heran jika Rena banyak diam akhir-akhir ini. Rupanya, dia masih menyimpan dendam di hatinya. "Nak, Rena, bibimu mungkin emosi saat itu, Jika kamu dendam dengannya, tidak ada bedanya antara kamu dengannya."

Suara Rena merendah dan tidak berteriak lagi, tapi Mona ganti berbicara, "Ayah, jika bibi hanya emosi saat itu, kenapa ia melakukannya bersama-sama dengan nenek. Bukankah itu artinya sebuah rencana?".

Restu hanya bisa diam. Ia tidak menjawab pertanyaan anak-anak. Hanya membatin jika anak-anak memang sudah paham. Jadi wajar jika mereka membenci nenek serta bibinya.

Mona segera teringat satu hal, "Bu, ibu segera sembunyikan semua yang kami temukan hari ini. Jangan sampai ada orang datang dan melihatnya. "

Dia takut bibinya akan datang, dan bahan makanan yang telah mereka kumpulkan susah payah hari ini direbut dengan mudah.

Rena membuka almari, dan menyimpan kacang mede di dalamnya. Setelah pintu rumah ditutup, Rena juga membuka sebuah ruangan kotak yang ada di balik papan kayu rumah mereka. Kotak itu sengaja dibuat untuk menyembunyikan barang berharga.

Secara tiba-tiba, wajah bulat Samsul muncul, "Kak, Kak Mulan pulang dan ia ingin bicara denganmu".

Saat Samsul memasuki gubuk kakaknya, matanya mengarah pada kacang mede yang tercecer di tanah. Rona wajah Samsul sangat bahagia, tapi licik. "Setelah ini, aku akan pulang dengan sekeranjang kacang mede itu."

"Tunggu, kamu akan mengambilnya tanpa bertanya dulu pada kami? Paman terlalu berlebihan. Kenapa ia harus meminta?", Mona protes melihat orangtuanya yang tidak bisa membantah.

Samsul berhenti memunguti kacang karena teguran keponakan kecilnya itu. "Bukankah kamu mencari kacang mede ini untukku? Tidak usah pura-pura, aku akan berterimakasih".

avataravatar
Next chapter