8 Rencana dan Ubi

Ketika Mona sedang tertidur pulas di kasurnya, tiba-tiba dia dibangunkan oleh suara pengumuman yang sangat keras, "Kepada seluruh warga Desa Sukasari, nanti sore pukul 6 akan ada pertemuan di Balai Desa. Harap seluruh warga datang tepat waktu. "

Moana kebingungan, ia melihat sekelilingnya tidak ada seorang pun. Lantas, darimana suara itu berasal?

"Adik, jangan takut. Itu adalah suara dari pengeras suara milik desa. Suara itu mengundang semua orang untuk rapat nanti sore", ucap Rano menghidur adiknya yang terlihat ketakutan.

Mona berusaha mencari penggalan ingatannya. Di ingatan tubuh yang menjadi ruhnya hidup saat ini memang ada ingatan tentang pengeras suara dan cara aparat desa mengumpulkan warga. Ada sebuah tiang tinggi dengan dua corong pengeras suara yang ada di lereng bukit untuk memberikan pengumuman pada warga.

"Apakah kita juga akan pergi ke perkumpulan warga nanti sore, kak?" Tanya Mona, ia ragu untuk mengajak kakaknya langsung pergi ke pertemuan warga karena dalam ingatannya ia tak pernah datang ke pertemuan warga di Balai Desa.

"Siapapun boleh pergi, tidak ada syarat khusus untuk ikut pertemuan itu. Tapi, yang diharuskan pergi adalah orang dewasa. Jadi, jika kamu sedang sakit lebih baik kamu tinggal saja di rumah." Rano yang masih 9 tahun ini berkata sangat bijak kepada adiknya.

"Tapi Mona, jangan istirahat sekarang. Sebentar lagi waktunya makan malam. Tidurlah nanti selesai makan", Rano menarik Mona dari kasur.

Baru mulai sadar dari tidur siangnya yang nyenyak, Mona mencium aroma khas baru. Ia kemudian menyadari jika pakaian lamanya sudah diganti dengan piyama baru. Mungkin ibu yang telah membelikannya."

Mona kemudian melihat ayahnya yang sedang sibuk bersama Kak Eka. Dua lelaki yang begitu disayanginya itu sedang memisahkan daun kelapa dari batang daunnya, merapikan dan mengikatnya menjadi sapu lidi. Ayah terlihat memegangi tali di mulutnya, sementara dua tangannya sibuk menata lidi dan menali,

Mona segera bangkit dari tempat tidurnya, merapikan piyama barunya dan mendekati ayahnya, "Ayah, kenapa tidak bangunkan aku ketika ayah sudah pulang?"

Restu menyisihkan lidi yang terserak di hadapannya, membuka tangan dan memberikan pelukan hangat untuk Mona. Mona kemudian mengadu kepada ayahnya jika kepalanya masih sakit.

"Ayah, kepalaku memang masih sedikit sakit. Tapi tidak apa-apa, aku akan baik-baik saja jika aku rutin minum obat". Mona menyembunyikan rasa sakitnya yang sebenarnya. Tapi, tentu saja Ayah tahu apa yang dirasakan putri kecilnya. Benjolan di kepalanya memang belum hilang.

Ya, sebelum mulai membuat sapu lidi, Restu sempat membelai lembut kepala Mona. Mona tidak menyadari kedatangan ayahnya, tapi ayah tahu betul jika bagian kepala putrinya masih benjol meski ukurannya tidak sebesar sebelumnya.

"Sayang, sekarang waktunya makan malam. Kamu makanlah dengan kakak-kakakmu. Ibu dan Ayah akan pergi dulu ke Balai Desa untuk rapat."

Mona masih berada di pelukan ayahnya, melihat Kak Eka yang membantu ayah membersihkan sisa daun yang masih melekat di batang lidi dengan pisau dapur. Tak lama Ibunya datang bersama Kak Rena dengan membawa makan malam. Menu makan malam itu diletakkan di lantai. Ya, mereka memang belum bisa membeli ataupun membuat meja makan.

"Anak-anak, makanlah dulu. Ini adalah makanan pertama yang ibu masak sendiri di rumah kita."

Kata-kata Dewi membuat semua anggota keluarga bergegas, semangat menyantap makan malam meski dengan menu seadanya. Anak-anak makan dengan sangat hati-hati, takut jika makanan mereka mengotori tikar baru.

Masakan yang disajikan malam itu memang tidak dilengkapi daging, hanya ada sayuran. Tapi, Mona merasa menu makan malam itu adalah masakan terenak karena dibuat dengan penuh cinta.

Masakan Dewi memang terasa sangat lezat saat itu. Makanan yang dibuat dengan bumbu seadanya, tanpa tambahan kaldu ataupun penyedap masakan. Tapi, terasa begitu nikmat di mulut.

"Bu, sayur sopnya enak sekali", puji anak-anak.

Anak-anak memang sangat mengagumi ibunya. Selintas, wajah Dewi teduh, apalagi saat ini ia sedang tersenyum memandangi anak-anaknya.

"Jika rasanya enak, makanlah yang banyak. Ibu akan sangat senang jika kalian tumbuh menjadi anak yang gemuk dan sehat." Kali ini mereka sangat menikmati makannya. Tidak dengan raut wajah cemberut dan tidak harus cepat selesai seperti saat makan di rumah nenek.

Meskipun makanannya sangat sederhana, keluarga itu makan dengan sangat bahagia. Ini mengingatkan Mona pada sebuah ungkapan, "Makanan enak tidak akan nikmat jika hati menderita. Sebaliknya, kesederhanaan dan ujian akan tetap terasa indah jika dijalani dengan penuh cinta."

"Wi, Pak Joko tadi bilang, jika kita kekurangan beras, Pak Joko bisa meminjamkannya dna kita bisa membayarnya akhir tahun nanti, selepas paceklik berlalu."

Dewi sangat bersemangat mendengar ucapan suaminya, "Restu, apakah yang kamu katakan itu benar? Aku memang khawatir jika kita kehabisan beras. Tapi kita tetap harus berusaha menghemat beras karena jika kita meminjam dan tidak bisa membayarnya akhir tahun, kita akan lebih kesulitan lagi tahun depan."

"Ya, jika nanti ada sayuran di kebun kosong, kamu bisa menambahkan lebih banyak sayuran ke menu makanan kita.Kamu juga bisa mengganti nasi dengan ubi ketika ada ubi yang bisa dipanen. Kita harus menghemat beras. Oh iya, aku akan menggunakan mesin bajak untuk menggarap tanah bagianku dari keluarga, semoga ada hasil yang nanti bisa kita panen."

Selepas makan malam, Dewi dan Restu menghadiri rapat di Balai Desa. Mereka meninggalkan empat anaknya di rumah. Tidak ada lampu di rumah itu, hanya ada lampu minyak yang redup. Anak-anak juga hanya bisa berbaring dengan selimut lusuh mereka karena tidak ada aktivitas yang bisa mereka kerjakan.

"Kak, kenapa kita tidak mencoba mencari ubi? Ayo kita bantu ayah dan ibu menghemat bahan makanan", Ucap Rano.

"Saat ini semua serba sulit. Paceklik membuat semua tanaman sulit tumbuh. Hanya akan ada sedikit ubi dan kentang yang bisa kita dapatkan. Semua orang hampir menyerah untuk bertani saat ini", ucap Eka menimpali.

"Kak, tapi kita tetap harus pergi mencoba mencari ubi. Kita harus tetap berusaha. Jika kita tidak mendapatkan ubi, setidaknya kita bisa mendapatkan kayu bakar."

"Rano benar. Kita semua akan pergi mencari ubi lusa. Bagaimanapun, kita tidak bisa diam saja di rumah. Kita harus membantu ayah dan ibu", kata Rena.

"Kak, kalian semua tidak masuk sekolah?" Mona ingat jika ketiga kakaknya sudah bersekolah, tapi mereka belum pernah terlihat masuk sekolah sejak liburannya habis.

"Guru belum memberikan pengumuman. Kamu tidak akan pergi sekolah jika guru belum meminta. Kami akan tetap di rumah membantu ayah dan ibu."

Empat bersaudara ini mengakhiri percakapannya dan segera tidur. Ketika ayah dan ibunya kembali ke rumah, keempatnya sudah tertidur sangat pulas.

Keesokan harinya 3 anak tertua sudah bangun, mandi, dan mengganti pakaiannya. Tapi Mona masih saja tidur meski sebenarnya matanya sudah ingin bangun.

"Mona, bangunlah, matahari sudah tinggi", Rano meminta Mona bangun. Mona mendengarkannya, tapi matanya masih sulit dibuka.

Melihat raut muka Mona yang tidak seperti biasanya, Rano mendekati Mona. Ia memeriksa keadaan adiknya dengan menempelkan tangannya di kening Mona. "Bu, adik demam", Rano setengah berteriak setelah mengetahui Mona sakit.

Dewi yang sedang memasak di halaman bergegas masuk. Ia meletakkan sendok nasi yang sedari tadi digunakannya mengaduk aron beras. Dewi menyentuh dahi Mona. Raut wajahnya makin cemas ketika mengetahui Mona demam tinggi.

"Ka, cepat panggil ayahmu. Dia sedang mengambil air di sungai", perintah Dewi pada Eka, anak tertuanya.

Eka segera berlari mencari ayahnya. Tak lama kemudian ia kembali bersama ayahnya yang sudah membawa seember air. "Restu, Mona demam, ia harus segera dibawa ke dokter."

Restu dan Dewi sadar jika Mona memang kurang istirahat. Restu dan Dewi menduga Mona demam karena flu. Rumah yang mereka bangun memang masih memungkinkan udara yang dingin merembes masuk.

Dewi segera mengambil jaket dan memakaikannya pada Mona. Restu kemudian menggendong Mona, membawanya lari ke puskesmas. restu bahkan sampai lupa mengenakan alas kaki karena terlalu panik.

Untungnya, mereka tinggal di dekat Puskesmas. Hanya butuh 10 menit berlari untuk sampai di Puskesmas. "Pak Ten, anakku demam, tolong.. tolong obati dia."

Pak Ten adalah satu-satunya dokter di Desa Sukasari. Siapapun Yang sakit di desa ini pasti akan mencarinya.

Pak Ten dengan buru-buru memeriksa Mona. Memisahkan Mona dari pelukan ayahnya.

"Pak Restu, jangan khawatir, Mona hanya perlu obat penurun panas, aku akan memeriksanya."

Pak ten segera memberikan Mona suntikan penurun panas. "Pak Restu, bukankah Mona sudah dirawat di rumah sakit tempo hari. Kenapa kamu justru membawanya dengan kondisi demam kemari hari ini?"

"Tolong Pak Ten, jangan membuat Saya merasa semakin bersalah. Semua ini memang salahku". Restu kemudian menceritakan kejadian tempo hari dengan sedikit kesal.

Pak Ten turut menggelengkan kepalanya mendengar cerita Rastu. "Pak Restu, sebelumnya Saya sudah mengetahui kekejian keluargamu dari masyarakat sini. Keluargamu, terutama ibumu memang sulit dipahami."

avataravatar
Next chapter