20 Paman Baik Hati

Dewi masih menggali saat menyadari matahari mulai terbenam, Masih ada yang belum tergali, tapi langit mulai gelap. Mereka memutuskan meneruskan menggali bengkoang lain hari.

Mereka memasukkan bengkoang hasil galian ke dalam karung. Eka membawa karung, Dewi dan putri sulungnya masih mengisi keranjang. Masih ada tumpukan yang tersisa di tanah. Dewi berencana membawa barang lainnya nanti. Jadi, ia berteriak pada dua anaknya, mengajak mereka pulang karena takut keduanya tertinggal di gunung.

Rano dan adiknya sedang memegang barang-barang di tangan mereka. Mona membawa jamur di kantongnya. Rano mengambil hasil yang ia kumpulkan dan mengikuti ibunya langkah demi langkah menuruni gunung dengan sebuah kantong kain kecil. Meletakkan hasil mereka hari ini di kaki gunung dan kemudian kembali bersama Rena untuk mengambil sisanya.

Mona membiarkan Eka kembali bersama ibunya. Dia kemudian mengetuk salah seorang rumah warga di kaki gunung. Orang yang membuka pintu adalah seorang pria paruh baya berusia sekitar empat puluhan, "Siapa yang kamu cari?"

Mona mengajak kakak laki-lakinya membungkuk, dn bersalaman. "Paman, hari ini, aku dan ibuku naik gunung untuk mengambil sesuatu tapi tidak bisa membawanya pulang. Bisakah aku menitipkannya di rumahmu sementara waktu?".

Paman itu menyukai sikap dua kakak beradik ini yang penuh sopan santun. Jarang ada anak sesopan itu di pedesaan.

Pria itu bertanya dengan ramah, "Nak, dimana kalian dan keluarga kalian tinggal?"

Sebelum Mona berbicara, Rano sudah mengatakan alamat rumahnya dan bahkan nama ayahnya. Dia tidak bisa menahan diri, pikirannya benar-benar lugu. Jika yang ada di hadapannya orang jahat, maka orang itu bisa menemukan alamatnya dengan sangat mudah.

"Oh, itu milik keluarga Restu. Aku kenal ayahmu. Paman akan membantumu membawanya pulang nanti. Kalian sudah makan?".

Rano ragu-ragu dan menjawab, "Paman, kami tidak lapar".

Pria paruh baya itu tersenyum dan menyentuh kepala ketiga anak itu, mereka benar-benar anak yang bijaksana.

"Anak-anak, kenapa kamu tidak masuk dulu dan duduk sebentar. Paman akan memuat barang-barangmu dulu ke gerobak, dan kita akan berangkat saat ibumu datang?"

Ketiga anak yang kedinginan dan lapar itu mengucapkan terima kasih kepada paman sebelum membuntutinya masuk rumah "Istriku, ada tamu di rumah."

Seorang wanita seumuran dengan paman ramah itu berjalan keluar dari ruang belakang. Dia sedikit terkejut melihat anak-anak, tetapi dia menyapa mereka dengan hangat. Malam ini sungguh dingin, paman dan bibi naik hati itu menyajikan makanan hangat. Anak-anak tidak menolak jamuan itu kali ini.

Wanita itu membawakan sepanci nasi ketan kepada anak-anak, "Anak-anak semua lapar, dan di rumah paman tidak ada ada apa-apa. Jika kalian memang tidak lapar, makanlah sedikit agar tubuh kalian hangat."

Wanita itu mengambil sendok dan memberi masing-masing anak sebuah mangkuk, "Cepat, rasanya tidak akan enak kalau dingin."

Ketiga anak itu semuanya menerima mangku, tapi mereka tidak makan. Wanita itu sedikit terkejut, "Mengapa kalian tidak makan? Bukankah ini enak? Jangan sungkan-sungkan..

Rano mengangkat mangkuk nasinya dan berkata kepada wanita itu, "Bibi, ibu dan Kak Eka belum makan, kami akan menunggu mereka dulu dan makan bersama."

"Bibi, kamu mencium bau ketan, bolehkah kita meminta sedikit untuk ibu dan Kak Eka?" Mona bertanya dengan tenang dan menyodorkan mangkuk miliknya.

Wanita itu menyentuh kepala kecil ketiga anaknya dengan sedikit sedih, "Tenanglah, masih ada sepanci lagi di dalam. Ibu dan kakak kalian bisa memakannya nanti. Makanlah bagian kalian." Bibi dengan sangat lembut membujuk anak-anak untuk makan.

Ketiga orang yang lelah dan lapar ini tidak bisa lagi menolak. Mengambil sendok mereka dan kemudian menyantap ketan dengan lahap. Tak lama, tubuh mereka terasa hangat dengan perut kenyang.

Ketika mereka semua sudah selesai makan, bibi memberikan hidangan yang lain. Tapi, tiga anak ini merasa tak sanggup lagi memakannya.

"Bibi, kita semua sudah kenyang. Perutku kenyang dan aku tidak bisa makan lagi, jika dipaksa aku tidak akan sanggup berjalan karena kekenyangan," kata Mona kepada wanita itu sambil tersenyum.

Di dalam kamar, anak-anak sedang mengobrol dengan bibi itu. Ketika Dewi dan putra tertua membawa barang-barang mereka kembali dari gunung, mereka menemukan bahwa ketiga anak tersebut telah menghilang. Mereka kaget. Bukankah ada yang salah? Memeluk Eka lalu memanggil nama 3 anak lainnya dengan cemas.

Pria paruh baya di halaman mendengar teriakan dari luar dan berjalan keluar, "Ibu, anak itu ada di rumah kami. Masuk dan istirahatlah, aku akan membawakan barang kalian."

Dewi menatap curiga pada pria gemuk tapi baik hati "Kamu adalah ...".

Pria itu memandang ibu dan putranya sambil tersenyum dan berkata, "Restu tidak pernah bercerita tentagku? Aku Hendro."

"Ah, kamu adalah Mas Hendro. Aku sering mendengar Restu bercerita tentang kamu. Ini rumahmu?".

Pria itu mengangguk, "Kalian berdua, cepat masuk. Makanlah sesuatu dan aku akan menata baragmu di gerobak."

Ketika Dewi mengikuti Hendro masuk rumah, dia melihat ketiga anaknya duduk di tepi ranjang dan bercerita dengan sutri Hendro.

"Mas Hendro, maafkan aku, aku benar-benar merepotkanmu hari ini." Dewi sangat malu.

"Mas Hendro dan Mbak Hindun, kalian sangat baik kepada semua anak." Hindun kemudian menghidangkan hangat dalam panci untuk Dewi. "Kau makan juga. Kamu pasti lapar setelah bekerja seharian l."

Dewi buru-buru bangkit dan melambaikan tangannya berulang kali, "Mbak, aku sudah merepotkanmu, aku sangat malu menerima makanan ini."

"Wi, anak-anak sudah memakannya, kami sudah menyiapkan ini untuk kalian berdua. Keluarga kami tidak punya apa-apa. Jadi makanlah. Ayo, Eka, temani ibumu makan."

Eka menatap ibunya, Dewi mengangguk padanya. "Mbak, kami makan, ya".

Nyatanya, Dewi dan Eka benar-benar lapar. Setelah memakan semangkuk mie, mereka merasa puas.

Setelah makan, Hendro ingin mengantar Dewi pulang. Namun, mereka dikejutkan dengan suara Restu yang memanggil dari kejauhan. Anak-anak dengan bersemangat menjawab dari kejauhan, "Ayah, di mana kita di sini".

Ketika Restu menemukan istri dan anaknya, ia menyadari jika ada orang yang sangat ia kenal diantara mereka. Restu bertanya dengan heran. "Mas Hendra, kamu tinggal disini?".

Hendra Tersenyum dan berkata, "Restu, tadinya aku akan mengantar mereka kembali. Kebetulan jika kamu disini, kamu bisa gunakan gerobakku untuk membawa barang dan kembalikan saja besok ."

Melihat Hendra mendorong gerobak, Restu kaget. Ia tak tahu apa saja yang berhasil dikumpulkan istri dan anaknya hari ini.

"Baiklah, aku pinjam gerobak ini dulu. Terimakasih atas bantuanmu hari ini. Lain kali, datanglah ke rumahku."

Tak lama setelah berpamitan. Restu mendorong gerobak menembus keheningan malam. Gerobak itu ramai berderit diiringi teriakan anak-anak yang girang.

"Wi, mengapa kamu bekerja sangat keras hari ini?".

Sebelum Dewi sempat berbicara, Reno buru-buru berkata, "Ayah, kami mengambil makanan enak hari ini. Mungkin Ayah belum pernah melihatnya. Ayah kenari? Apakah kenari bisa kita jual untuk mendapatkan uang?."

Kalimat terakhir Reno nampak bergumam, tetapi orang-orang di sekitarnya mendengarnya dengan jelas, "Kak, kita memang bisa menjualnya. Tapi entah disini ada yang membelinya atau tidak?".

Retu yang mendorong gerobak dan mendengarkan pembicaraan anak-anak, menyela, "Ayah pikir ini bisa dijual. Ayah akan menawarkannya besok. Jika memang bisa dijual, ayah akan menjualnya sebagian dan sebagian lagi untuk disimpan. Uang hasil penjualan kita belikan makanan lain. Bagaimana menurut kalian, setuju? ".

"Ayah, jika bisa dijual, kita harus menjual semuanya. Kita butuh uang untuk bertahan hidup."

Kalimat Eka mewakili hati setiap orang. "Ya, jual saja semuanya Ayah."

avataravatar
Next chapter