9 Amarah dan Diam

Pak Ten dan istrinya melakukan observasi di ruang perawatan, efek gentamisin yang diberikan sangat baik, setelah sepuluh menit, suhu tubuh Mona mulai turun.

Bu Yen, istri Pak Ten madih melakukan observasi. Seharusnya tidak ada masalah besar, "Pak Restu, apakah kamu memiliki obat anti-inflamasi di rumah? Ketika Mona bangun nanti, ia harus segera meminum obat anti-inflamasi agar demamnya lebih cepat hilang."

"Ya, kemarin dokter di Rumah Sakit memberikannya mengijinkan Mona pulang dan menyuruh Mona meminumnya setelah makan. Pak Ten, Saya minta maaf, Saya belum bisa membayar biaya berobat. Saya janji akan segera melunasinya jika saya sudah punya uang."

Orang-orang di desa ini memang sudah biasa begitu dengan Pak Ten. Mereka yang tidak memiliki uang akan berhutang dulu dan membayarnya jika sudah memiliki uang. "Baiklah, bawa anakmu pulang. Berikan anak-anakmu minuman hangat, jangan biarkan mereka sakit karena kedinginan ".

Setelah berterima kasih kepada Pak Ten, Restu dan Dewi membawa Mona pulang. Di saat berjalan pulan, keduanya menemukan Eka dan Rano hendak menyusul ke Puskesmas, khawatir dengan keadaan adiknya.

"Ayah, ibu, bagaimana kabar adikku?"

"Dokter sudah memberikannya suntikan dan demamnya sudah turun. Bagaimana kalian bisa tahu jika ibu dan ayah membawa adikmu ke Puskesmas?".

"Bu, nenek ada di rumah, jadi kami harus segera menyusulmu" kata Eka dengan raut muka bahagia.

Kedua anak itu tidak paham apa yang dibicarakannya. Ia hanya berpikir jika setiap nenek yang datang ke rumah cucunya pasti membawa makanan lezat. Saat mereka tinggal di rumah nenek dari ayahnya, mereka tidak banyak diberi makanan lezat. Nenek dari ibunya mungkin berbeda. Nenek pasti membawakan makanan lezat.

Dewi yang mendengar jika ibunya datang langsung bergegas ke rumah bersama dua putranya. Sementara Restu mengikuti langkah Dewi dengan membopong Mona.

Saat Dewi sampai di rumah, ia sudah menemui ibunya sedang berbicara dengan Rena. "Bu, kenapa ibu disisi?"

Nenek Ijah, ibu kandung Dewi itu menatap sedih keadan putrinya. Ia makin sakit ketika melihat bekas luka di wajah anaknya.

"Jika Ibu tidak datang, apakah kamu akan bercerita tentang perpisahan keluargamu? Untungnya, seseorang dari desa ini datang dan memberi kabar padaku. Aku sudah mendengar semuanya. Ibu mertuamu itu tidak tahu malu. Ibumu itu selama ini mengandalkan Restu, bagaimana dia begitu kejam denganmu, Wi?", Ibu Ijah berbicara dengan gigi sedikit menggertak, rahangnya terkatup menahan amarah. Air matanya lalu menetes.

Siapapun yang mendengar putrinya diancam dan disiksa akan merasa, apalagi kesehatan Dewi kala itu kurang baik. Nek Ijah kemudian memeriksa dengan seksama luka di wajah putrinya.

Restu meletakkan Mona yang tertidur di gendongannya dan bergegas menyapa ibu mertuanya. "Bu, maaf ini semua salah saya. Saya tidak bisa menjaga Dewi dengan baik."

Restu berusaha bertindak sopan dan jantan dengan mengakui kesalahan, dan Ijah juga tahu jika semua ini bukan salah menantunya. "Restu, Aku tak berharap kamu memanjakan Dewi dengan kekayaan. Aku hanya berharap kamu bisa memperlakukan Dewi dengan baik. Sekarang kamu bisa melihat apa yang dilakukan keluargamu. Bayangkan jika aku yang memukulmu dan cucuku, bagaimana perasaan keluargamu? Keluargamu memaksa kalian tidur di tempat tak layak saat cuaca sedang dingin.

Ijah benar-benar sedih melihat anak dan cucunya harus tidur di gubuk seadanya. "Restu, tinggal di sini bukanlah solusi jangka panjang. Kalian perlu memikirkan cara mengumpulkan uang dan membangun rumah yang layak. "

Ijah tidak bisa bicara banyak dengan anak mantunya. Ia tahu betul jika sebenarnya anak mantunya ini baik. Tapi, keluarganya saja yang memang tak tau malu.

Dewi dan Rena bersiap memasak makan siang karena sebelumnya tidak ada ritual sarapan di rumah. "Bu, ini oleh-oleh dari nenek", Rena berkata sambil menunjuk tumpukan barang yang diletakkan di sudut ruangan.

Dewi mengamati barang yang dibawa oleh ibunya. Ia melihat ada 1 kuintal beras, dan dua rantang makanan siap makan. Dwi juga melihat dua baskom. Satu berisi daging ayam dan satu ember berukuran lebih kecil berisi daging sapi. Dewi juga melihat ada telur, sembako, dan bumbu dapur. Dwi hampir menangis melihat barang bawaan ibunya begitu banyak. Keluarga Dewi tidak kaya, dan ia tahu memberikan banyak barang semacam ini bukanlah hal mudah.

Ijah meringsuk mendekat ke kasur tempat tidur Mona. Ia menyentuh kepala cucunya dan menemukan benjolan di belakang kepala Mona.

"Restu, kamu harus lebih mengawasi Mona. Sepertinya ia sering demam karena luka di kepalanya. Jangan sampai Mona lepas pengawasan dan terluka lagi."

Nek Ijah kemudian mengeluarkan sapu tangan lusuh dari sakunya. Sapu tangan tersebut ia buka dengan perlahan hingga nampak gulungan uang receh di dalamnya. "Restu, kamu bisa simpan uang ini. Ini hanya ada 500 ribu, memang tidak banyak. Tapi kamu bisa menyimpan dan menggunakannya jika ada keperluan mendesak."

"Bu, kami tidak bisa menerima uang ini.", Restu tahu bahwa tidak mudah bagi ibu dan ayah mertuanya yang sudah tua mengumpulkan uang sebanyak itu. Apalagi Dewi juga masih memiliki saudara yang belum menikah dan masih menjadi tanggungan keluarganya.

"Bu, cepat kemari, nenek sedang memaksa ayah menerima uang pemberiannya." Rano berteriak memanggil ibunya.

Dewi masuk dan melihat gulungan uang receh di tangan ibunya, "Bu, apa yang kamu lakukan? Ibu sudah membawa begitu banyak barang. Kami tidak menerima uang itu. Ada adik di rumah yang masih butuh biaya, ibu bisa gunakan uang itu untuk keperluan adik. "

Restu dan Dewi dengan tegas menolak, tetapi Nek Ijah memegang tangan putrinya. "Putriku, uang itu tidak banyak, jadi jangan menolaknya. Kamu tidak bisa hidup tanpa uang di rumahmu. Adikmu masih muda. Kita bisa menabung lagi. Saat keuanganmu sudah membaik, kamu bisa membantu adikmu. Jadi, simpanlah uang ini. Jika keberatan ibu beri, anggap saja kamu berhutang. "

Ibu dan putrinya itu menangis berpelukan. Dewi tidak bisa menolak permintaan ibunya, jadi ia menerima uang itu.

"Bu, bagaimana kamu bisa membawa begitu banyak barang kemari". Restu heran melihat begitu banyak barang bawaan mertuanya.

"Hari ini, ibu beruntung. Ibu berhasil mendapatkan tumpangan mobil sampai kemari. Ibu tidak akan seberuntung ini lain kali."

Nek Ijah kemudian duduk bersila di atas kasur, dengan penuh kasih mengelus kepala Rano. "No, jika angin sudah tidak terlalu kencang, pergilah ke rumah nenek bersama kakak dan adikmu."

Anak-anak bercengkrama dengan neneknya. Sementara Dewi dan Restu sedang menuntaskan sarapan yang tak sempat mereka lakukan hingga siang hari.

Mona tidur sepanjang pagi, suhu tubuhnya turun,dan dia mulai bangun. Melihat seorang wanita tua baik hati duduk di kasurnya, Mona sedikit kaget. Nenek itu mengenakan sweater hitam, rambutnya disanggul di belakang dan ditata klimis. Usianya memang terlihat tua, tapi jelas terlihat jika ia masih sangat energik.

"Nenek" Mona tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak, Nenek adalah satu-satunya orang yang mengerti Mona di kehidupan sebelumnya. Tapi sayangnya dia meninggal sebelum Mona tumbuh dewasa. Setelah tinggal bersama orang tuanya, Mona di kehidupan masa lalu tidak lagi merasakan kehangatan dan cinta yang diberikan neneknya padanya.

"Iya Mona, kamu sudah bangun? Kamu bisa mengenaliku?" Nenek Ijah tua itu berkata padanya sambil tersenyum.

Dalam ingatan Mona, wanita tua ini adalah seorang nenek, orang tua yang sangat baik, "Nenek, aku merindukanmu." Kali ini dia tidak menekan perasaannya, jadi dia ingin memeluk nenek dan menumpahkan kesedihannya dalam tangis

Wanita tua itu menggendong cucu kecilnya, dan dia terus menepuk punggungnya dengan tangannya, "Sayangku, nenek tahu bahwa kamu telah menderita akhir-akhir ini, Nenek tidak tahu seperti apa mereka, tapi Nenek tahu jika kau adalah anak yang bijaksana "

Kata-kata lembut wanita tua itu membuat Mona perlahan berhenti menangis. Persis seperti neneknya yang menghiburnya saat dia diganggu oleh anak-anak di kehidupan sebelumnya.

"Nenek, kenapa nenek datang sendiri, dimana paman dan kakek?"

avataravatar
Next chapter