1 Lolos Wawancara

Ada 5 kursi yang ditata berderet. Dihadapan kursi itu, ada sebuah meja panjang yang dilengkapi dengan 5 kursi juga. Ini adalah gambaran ruang wawancara yang akan berlangsung hari ini.

Tak berselang lama setelah kami duduk, masuklah 5 orang yang akan duduk di kursi yang masih kosong itu. Mereka adalah 5 orang yang paling keren yang pernah aku lihat. Dari gaya berjalan dan berpakaian, aku bisa memastikan kalau mereka adalah orang kaya yang terpandang. Apa mereka artis?

Seorang pria menggandeng tangan seorang wanita. Itu bisa diartikan kalau mereka adalah pasangan. Mungkin sepasang suami istri. Lalu dibelakang mereka ada seorang anak laki-laki yang masih muda, mungkin umurnya belum 20 tahun. Tapi tingginya lebih dari 170 cm. dia lebih tinggi daripada aku. Terakhir, ada 2 orang lagi yang mengikuti ketiga orang itu. Pria dan wanita yang memasang wajah datar.

Setelah mereka berlima duduk, wanita yang duduk di tengah terlihat bersemangat. "This is the final stage interview for personal assistance. Good luck."

Wawancara dimulai dari pelamar yang ada diujung kananku. Itu berarti aku akan menjadi pelamar terakhir yang diwawancarai. Kalau urutannya dari kanan ke kiri sih. Siapa tahu nanti akan diacak kan?

Keempat orang yang ada di depan kami mengajukan beberapa pertanyaan. Sejujurnya itu adalah pertanyaan yang biasa saja, karena memang sering diajukan ketika proses wawancara. Yang membuatku bertanya-tanya adalah orang kelima yang tampaknya masih muda itu. Ketika dia mendapatkan gilirannya untuk mengajukan pertanyaan, dia hanya akan diam saja. selama 5 menit diam saja, sebelum akhirnya menganggukkan kepala tanda giliran dia sudah selesai.

"My name is Deano Ramzi. I've worked as a security guard for the past 7 years." Aku memperkenalkan diri.

Orang pertama yang menanyaiku adalah orang yang duduk ditengah. Beliau memperkenalkan diri sebagai Clara Narendra kepada kami tadi. Pertanyaannya sangat biasa saja, "Can you drive a car?"

"Yes, I can."

"Do you have a driving license?"

"I do."

"What was the last car you drove?"

"Automatic car."

Meski bingung dengan pertanyaan yang diajukan, aku tetap berusaha menjawab setiap pertanyaan. Tapi sumpah ya, ini adalah wawancara teraneh yang pernah aku lakukan. Setelah Nyonya Clara selesai bertanya, pertanyaan selanjutnya adalah pertanyaan yang normal ditanyakan dalam sebuah wawancara.

Seperti berapa gaji yang aku inginkan, apa aku bisa bekerja lembur atau apakah aku pernah menjadi seorang asisten pribadi sebelumnya?

Ketika mendapat pertanyaan itu, aku merasa yakin kalau aku tidak akan lolos dari wawancara ini. Karena aku adalah satu-satunya orang yang tidak memiliki pengalaman menjadi seorang asisten pribadi. Jangankan memiliki pengalaman itu, aku saja baru tahu kalau ada pekerjaan yang bernama 'asisten pribadi'.

Oke, kembali ke ruang wawncara. Kini giliran Si Pemuda untuk menanyaiku.

Sama seperti sebelumnya, dia hanya diam saja. Dia menatap kearahku tanpa mengeluarkan suara. Aku yakin sekali kalau dia sedang menilaiku dalam diamnya. Reaksi apa yang harus aku berikan?

Bukan bermaksud sombong atau apapun sebutannya, aku hanya membalas menatapnya. Bukan dengan tatapan yang meremehkan, tapi dengan tatapan yang menggambarkan bahwa aku tahu dimana posisiku. Ketika pada akhirnya dia menganggukkan kepala, entah kenapa aku otomatis menganggukkan kepala juga. Apa aku disihir tadi?

Akhirnya wawancara berakhir. Sebelum kami meninggalkan ruangan, pewawancara yang bernama Kairo memberitahukan kepada kami kalau kami akan dihubungi melalui pesan text dan juga email. Kalau dalam waktu 2 minggu tidak ada kabar, berarti tidak lolos seleksi. Oke, ini hal yang lumrah dalam hal pelamaran pekerjaan.

***

Ada alasan kenapa aku melamar pekerjaan lain padahal aku sudah bekerja sebelumnya. Yah, gimana ya, gaji yang mereka tawarkan juga nggak main-main sih. Jadi wajar dong kalau aku mencoba peruntunganku kali ini.

Gaji sebagai satpam memang mencukupi untuk saat ini, tapi ketika adikku yang paling kecil mulai masuk kuliah, gajiku mungkin akan kurang. Ya, alasan aku bekerja adalah untuk membiayai pendidikan kedua adikku. Edo yang sekarang semester 5 dan juga Fara yang kelas 3 SMA.

Aku masih memiliki orangtua. Bapak dan Ibuku masih sehat, tapi mereka jelas tidak sekuat dulu. Dan lagi, penghasilan mereka tidak akan cukup untuk membiayai hidup sekaligus membiayai pendidikan ketiga anaknya. Itu sebabnya aku memutuskan untuk bekerja setelah lulus SMA. Terpaksa, karena aku juga memiliki cita-cita kuliah.

Balik lagi ke pekerjaan. Aku sudah mencari tahu apa saja tugas seorang asisten pribadi. Ya kalau mau disingkat sih kita adalah pengasuh, tapi kita ngasuh bos. Iya nggak sih?

"Dari mana, Mas? Kok tumben pake baju kek gitu?" Fara adalah orang pertama yang menyambutku. Siapalagi yang akan menyambutku? Rumah ini kosong kalau siang, kecuali Fara sudah pulang.

"Abis dari wawancara." Dengan sigap Fara mengulurkan gelas berisi air kepadaku. Lumayan menyegarkan tenggorokan, karena diluar panas banget.

"Udah makan?" aku menjawab dengan anggukan.

Tadi, setelah wawancara selesai, kami semua makan siang bersama di restoran hotel. Katanya sih boleh pesan apa aja, tapi karena aku pusing lihat tulisan menu, akhirnya aku hanya memesan nasi goreng special dan es kopi yang enak banget. Dua menu itu aja kalau kita makan di hotel, harganya bikin ngelus dada. Coba makan di warung tenda, uang segitu bisa dapet banyak banget.

Nggak ada yang tahu kalau aku memutuskan untuk melamar pekerjaan di tempat lain. Kecuali Fara, tapi aku jamin dia tidak akan menceritakan kepada siapapun. Dan aku sangat berharap bahwa aku adalah orang yang beruntung lolos wawancara itu.

***

1 minggu kemudian.

[Dari : 081xxx

Saya Rossie.

Ingin memberitahukan bahwa anda lolos wawancara.

Diharapkan untuk datang ke rumah Mr. & Mrs. Narendra, pada hari Selasa pukul 08.00 WIB.

Alamat akan diberikan melakui link.

Terima kasih.]

Aku sedang minum kopi siang ini. Baru satu seruput, dan gelas kopi itu langsung terjauh saking kagetnya aku setelah membaca pesan itu.

"Ngapa dah pake numpahin kopi segala. Kan jadi kotor lantainya." protesan Iwan tidak aku hiraukan karena aku masih sibuk mencerna isi pesan itu.

"Gue lolos, Wan." Seruku, sembari memeluk Iwan dengan erat. Tak lupa, aku meloncat kegirangan.

Setelah berhasil menguasai diri, aku langsung duduk dan merapikan meja yang berantakan akibat ulahku. Membersihkan meja dari tumpahan kopi dan juga beberapa berkas yang terkena noda kopi.

"Ngapa? Cerita buruan." Iwan seperti tidak sabar.

"Gue lolos wawancara. Besok disuruh kesana." Begitu selesai mendengar ucapanku, wajah Iwan berubah.

Apa dia menjadi sedih dan merasa kehilangan karena aku tidak akan menjadi rekan kerjanya lagi? Bisa sih, mengingat kami sudah bersama sejak 3 tahun ini. Aku dan Iwan sama-sama masuk di tahun yang sama, dan kami juga sering mendapat shift yang sama. Kedekatan kami lebih dari sekedar rekan kerja.

"Napa mukanya gitu banget?"

"Lo yakin mo pindah? Nggak mau dobel kerja aja? Bukannya itu juga pekerjaan berat?"

Seperti dugaan, Iwan tidak rela aku keluar dari tempat ini.

"Gajinya beda, Wan. Kerja berat nggak papa yang penting hasilnya kan?"

Bahkan sampai pulang kerja, Iwan tidak sesemangat biasanya. Mau bagaimana lagi, persahabatan itu memang penting, tapi aku juga nggak bisa menutup mata sama biaya pendidikan adik-adikku kan.

Hari yang dinanti tiba. Aku sudah sampai di rumah kediaman keluarga Narendra.

Rumah ini mudah ditemukan, karena rumah ini adalah yang paling berbeda dibandingkan rumah yang ada di sekitarnya. Hanya dengan melihat rumahnya saja, kita sudah tahu kalau pemiliknya adalah orang kaya. Tapi, kalau untuk ukuran orang kaya, rumah ini tergolong biasa saja.

Ketika aku sampai, seorang security mendatangiku dan menanyakan keperluanku. Begitu aku menyebut nama, dia langsung membukakan gerbang. Katanya, Non Rossie sudah memberitahu kalau aku akan datang.

Non Rossie? Apa para pewawancara itu adalah keluarga?

Aku dibuat kagum dengan rumah keluarga ini. Halaman yang luas dan hijau terlihat sangat sejuk dimata. Yang lebih mengagumkan lagi, berderet 3 buah mobil di depan pintu garasi. Dan ketiganya adalah mobil mewah. Bener-bener mobil mewah yang bahkan merk-nya tidak pernah aku lihat di televisi.

Masuk ke dalam rumah, aku tidak langsung ke ruang tamu. Memang ya, rumah orang kaya itu beda banget.

Tak menunggu lama, Non Rossie yang disebutkan oleh security datang menemuiku. Dia memintaku untuk mengikutinya masuk ke dalam rumah. Ke ruangan yang lebih bercahaya karena dinding dan pintunya dari kaca.

Diruangan itu, beberapa orang sedang duduk sembari menonton televisi. Itu adalah Nyonya Clara dan juga si anak yang mewawancarai dulu. Sedangkan Mr. Narendra sedang berbincang dengan Kairo di bar ruang makan.

"Kamu sudah datang?" Nyonya Clara bangkit dan segera menyalamiku. Nampaknya beliau adalah orang yang ramah. "Ayo duduk, nggak usah sungkan. Tunggu Ayah sebentar ya."

Aku duduk terpisah dengan mereka. Sumpah, rumah ini benar-benar rumah impian. Meski terlihat simple, tapi tidak akan bosan untuk dikagumi.

Oh, Rossie juga memperkenalkan dirinya dengan menyebut Rossie, yang ternyata dia adalah asisten pribadi Nyonya Clara. Ketika aku menunggu, Rossie membacakan jadwal yang akan dilaksanakan oleh Nyonya Clara. Sekali lagi, aku hanya bisa mengagumi keluarga ini. Dimana semuanya sudah disiapkan, jadi tidak ada istilah menganggur.

Mr. Narendra menghampiri kami setelah beberapa menit terlihat mengobrol serius dengan Kairo. Wajah yang sangat teduh itu tersenyum kepadaku. Tipe family man yang diidamkan banyak perempuan.

"Kesasar nggak tadi? Maaf, jauh ya?"

Ini serius kalimat itu diucapkan oleh bosku? Seharusnya kan beliau tidak perlu meminta maaf karena rumahnya jauh. Yah meski harus menempuh perjalanan 1 jam untuk sampai ke rumah mewah ini.

"No, Sir."

Setelah semuanya berkumpul, aku mendapat penjelasan tentang apa yang harus dilakukan. Dan aku akan menjadi asisten pribadi dari seorang anak berusia 17 tahun bernama Angga Narendra. Dia adalah si anak yang pendiam itu.

Hah? Ini serius? Anak 17 tahun punya asisten pribadi? Apa itu sama artinya aku menjadi pengasuh?

Lihat Rossie dan Kairo. Mereka menjadi asisten pribadi dari Mr. & Mrs. Narendra. Keduanya adalah orang dewasa yang memiliki kesibukan seperti bekerja dan bertemu dengan orang-orang penting. Lah aku? Menjadi asisten pribadi dari anak 17 tahun?

Meski terkejut, aku harus menghilangkan perasaan itu. Ingat, aku harus professional.

Perkenalan ini bertujuan untuk menjelaskan apa saja yang perlu aku ketahui tentang seorang Angga Narendra. Apa saja pekerjaannya dan apa saja yang harus aku lakukan. Terdengar ribet, padahal memang ribet sih.

Apalagi ketika mendnegar bahwa bos kecil ini memiliki alergi yang parah, sehingga harus selalu siap siaga. Katanya, kesalahan kecil saja bisa membuat nyawanya melayang. Ya ampun, segitu ribetnya. Ditambah lagi, aku harus membawa obat yang dibutuhkannya kemanapun aku pergi. Itu salah satu bentuk pencegahan.

Dan kalian tahu nggak? Selama rentang waktu penjelasan itu, si bos kecil diam saja. Bahkan dia terlihat tidak merubah ekspresinya sejak aku melihat dia. Tatapannya lurus kepada siapa saja yang berbicara. Tapi tatapan itu berubah ketika Nyonya Clara yang berbicara.

"Kamu punya passport?" tanya Kairo, ketika kami sedang makan siang bersama.

"Tidak, aku tidak pernah pergi keluar negeri." Jawabku.

Ada 2 hal yang baru aku ketahui dengan jelas setelah masuk dan bergabung dalam squad asisten pribadi ini. Pertama, asisten pribadi menggunakan bahasa yang formal. Rossie dan Kairo selalu berbicara formal, meski mereka sedang berbicara berdua atau dengan para pekerja di rumah ini. Kedua, bahasa yang digunakan di rumah ini adalah bahasa Inggris. Memang bisa menggunakan bahasa Indonesia, tapi keluarga Narendra lebih banyak menggunakan bahasa Inggris.

Usut punya usut, Nyonya Clara bukanlah orang Indonesia. Beliau adalah warga negara Australia yang tinggal di Indonesia. Memang sih, wajah Nyonya Clara lebih banyak bulenya ketimbang wajah lokal. Pantesan cantik paripurna meski sudah tidak muda lagi.

avataravatar
Next chapter