1 Prolog

...Dasar, manusia tak beguna! ayo semua jangan dekati dia atau bahkan menjadi temannya.

Huh?.

...Tulisan macam apa ini!! Segera revisi!

Huh!?

...Kami tak membutuhkan orang seperti anda di perusahaan kami.

Huh!!?

...Maaf, Aku tak bisa menerimamu, Ansyah.

Huh!!!?

Mata terbuka lebar, menatap langit-langit berwarna putih, yang terbuat dari bahan plafon gypsum dan penuh bekas tambalan bocor. Badan dan wajah dipenuhi oleh peluh, yang mana itu bukan dari panas dan lembabnya udara di sekitar.

---Aku memimpikan hal buruk itu lagi.

Dingin.

Satu kata namun memiliki berjuta makna, yang mana itu bisa menggambarkan cuaca hari ini, yang sedari kemarin malam hingga pagi, terus menerus diguyur hujan.

Di sisi lain, itu juga bisa menggambarkan suasana hatiku, meski hal tersebut bukanlah kali pertama aku merasakannya.

Rutinitas yang sama terus berjalan dan berputar-putar tanpa henti, entah sampai kapan ini akan terjadi.

Setiap pagi aku hanya memakan sepotong roti tanpa selai dan kumakan sembari jalan menuju tempat kerja paruh waktuku.

"Yaampun...mengapa roti ini, ikut-ikutan dingin sih, dasar hujan sialan!"

Aku terus memaki keadaan.

Yah itulah kebiasaanku.

Seorang pemuda berusia 28 tahun, yang masih tak mempunyai kerjaan tetap. Tinggal di sebuah indekos kumuh di pinggiran sungai---mungkin lebih tepatnya kali yang bau dan jorok.

Mau bagaimana lagi.

Hanya di sana, indekos yang memiliki harga 200 ribu per bulan.

Kota sebesar Jakarta, tak ada indekos yang lebih murah dibanding tempatku.

Di depan mata, terlihat tumpukan container box yang berwarna kuning dan merah, menumpuk di dalam gudang penyimpanan barang.

Yups, saat ini aku bekerja paruh waktu di sebuah minimarket.

"Astaga! Sejak aku pulang kemarin, sampai aku kembali kesini, tak ada yang berubah dengan tumpukan ini"

"...Apa yang mereka kerjakan sih!?"

Aku terus meracau kecil seraya membuka container box tersebut. Di dalamnya terdapat barang-barang kebutuhan sehari-hari, yang mana itu menjadi produk utama penjualan kami.

Buka, pindah, buka, pindah. Aku terus melakukan hal tersebut berulang-ulang kali, membuka box dan memindahkan barang yang ada di dalamnya ke rak yang ada di ruang penjualan.

Mendisplay. Yaa, itulah nama kegiatan yang sedang aku lakukan.

Akhir-akhir ini, bekerja paruh waktu di minimarket adalah sebuah hal wajar. Banyak mahasiswa atau bahkan pelajar yang berusia lebih dari 17 tahun, bekerja paruh waktu.

Biasanya mereka bekerja paruh waktu dengan alasan untuk membantu perekonomian keluarga atau hanya sekedar mencari uang jajan tambahan.

Tapi, jika seseorang sepertiku yang melakukannya... itu sedikit memalukan.

"Ansyah! ada yang mau bayar, tolong kasirin"

"Iya, pak"

Orang yang memanggilku dan sedari tadi mengotak-atik sebuah tab, ia adalah Pak Andi, kepala tokoku.

Rambut cepak, dan sorotan mata yang penuh kebaikan. Wajar, jika banyak orang yang segan terhadapnya.

Terlebih ia memang seseorang yang baik.

"Lagi cek barang, pak"

"Huh!? Iya...kayanya bulan ini bakalan banyak barang baru".

"...Ohiya, Ansyah, kapan kamu keluar dari sini?"

Huh!?

Aku terperanjat mendengar perkataannya.

Oi oi oi, ada apa dengannya? Bisa-bisanya dengan mudah mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati lemah ini.

---Ah! apa karena kinerjaku buruk sekarang ditambah ia memang sudah membenciku sejak lama.

Sebelum aku sempat bertanya kepadanya, ia melanjutkan perkataannya.

"Jangan salah paham...aku berkata begitu bukan karena membencimu atau sebagainya"

"...Aku hanya khawatir dengan masa depanmu"

"Khawatir?"

Aku memiringkan kepalaku seraya meminum sebuah minuman isotonik yang tadi kuambil di lemari es.

"Kau inikan, seseorang yang bergelar sarjana, ditambah kau hampir berusia kepala tiga. Gajimu yang sekarang, tidak akan bisa mencukupimu lagi, apalagi jika kamu nanti menikah sembari membiayai orangtuamu di kampung".

Huh?.

---Sepertinya pria tua ini mulai kelelahan.

Menikah? Hal bodoh macam apa itu. Aku sendiri saja, tidak pernah membayangkannya.

Lagipula, wanita bodoh mana, yang mau menikah dengan pria yang penuh ketidakberuntungan, sepertiku.

Sejak kecil, ketidakberuntungan selalu menyelimutiku.

Saat di bangku sekolah, aku selalu dibully oleh teman-temanku dengan sebuah alasan yang tidak jelas.

Aku mati-matian hanya untuk lulus kuliah. Ketika skripsi, sebanyak tiga puluh kali, aku ditolak saat pengajuan judul oleh dosen pembimbingku. Akhirnya, aku harus lulus dua tahun lebih lama dibanding teman seangkatanku

Sejak lulus kuliah hingga saat ini, aku sudah ke mana-mana untuk mencari pekerjaan tetap. Lima puluh kali aku melamar pekerjaan dan lima puluh kali juga aku tidak diterima.

Terakhir, wanita yang aku suka sejak SMA hingga kuliah, menolakku dan akhirnya, aku hanya bisa melihat ia menikah dengan orang lain.

"Astaga...pak Andi, lucu sekali, mana mungkin aku melakukan hal semacam pernikahan"

Telapak tangan kiriku yang tak menggenggam apapun, melambai turun-naik. Mengisyaratkan bahwa itu adalah sesuatu yang tak mungkin.

"Ngomong-ngomong, Ansyah..."

"Udahlah pak, aku saat ini masih nyaman di sini."

Pak Andi mencoba menyelesaikan perkataannya.

"...Kamu belum bayar, minuman yang kamu minum".

Ah! Aku lupa.

***

"Jaga dirimu baik-baik di sana, ya nak"

Itulah yang ibu katakan di ujung telepon, sebelum aku menutupnya.

Tumpukan mangkuk bekas mi dan bungkus makanan instan lainnya, berserakan di mana-mana dan hampir memenuhi tiap sudut ruangan.

---Ah, aku memang sangat malas membersihkan rumah.

Kerjaanku saat di rumah hanyalah rebahan dengan beralaskan lantai.

Yah, karena aku tidak punya uang untuk beli kasur.

Aku sembari berbaring, menatap selembar uang kertas bernominal 100 ribu, yang kuangkat ke atas kepala dengan kedua tangan.

"Huh...Gaji bulan ini, tinggal 100 ribu"

Mau tidak mau, aku harus melanjutkan kehidupan miskinku. Memakan mi instan dan roti tanpa selai setiap hari.

Selain itu, ada sesuatu yang masih membuatku penasaran.

---Surat apa ini?

Aku mencoba meraih sepucuk surat yang ada di sebelah kananku dengan malas.

Setelah berhasil kuraih, aku membuka amplop berwarna putih yang masih membungkus surat itu, lalu mengambil secarik kertas di dalamnya---sambil rebahan.

Kuangkat kertas itu, setinggi mataku memandang.

Terlihat ada sebuah tulisan di atas kertas itu.

'Datanglah, ke Jalan Pisang, no.18. Aku tunggu, besok malam jam 7'.

Hm... karena aku menemukan surat ini kemarin, di depan pintu toko saat mau pulang.

Berarti besok yang dimaksud dalam surat.

Yups, Hari ini.

***

Gelap, hening, dan sedikit mencekam.

Apa-apaan dengan suasana semacam ini. Aku seperti orang bodoh, berdiam diri di depan bangunan tua, yang sudah lama ditinggalkan oleh penghuninya.

---Sial, aku sepertinya ditipu orang iseng.

Ketika langkah kakiku hendak meninggalkan bangunan tua itu, sesosok kakek dengan rambut dan jenggot putih dengan tangan kirinya memegang sebuah tongkat, datang menghampiriku dari dalam bangunan tua itu.

"Jangan-jangan hantu?"

Aku bergumam kecil, saat melihatnya.

Wajar, secara logika, orang bodoh mana yang mau tinggal di bangunan tua kosong, yang mana tinggal menunggu waktu saja, untuk bangunan itu rata dengan tanah.

"Tenang, anak muda..."

"...Aku bukan seperti yang kau bayangkan. Aku bukan hantu atau semacamnya".

"Lalu, siapa? Ohh, Aku tahu. Kau pasti kakek-kakek yang kabur dari panti jompo ya? panti jompo mana kau berasal?, sini aku antar kau kembali."

Pundaknya yang terlihat rapuh itu, sedikit agak gemetar setelah mendengar perkataanku tadi.

Hm, apa aku telah membuatnya marah?

Atau penyakit encoknya kambuh?

Entahlah, yang pasti kakek itu mencoba membalas perkataanku.

"Terserah, seperti apa aku di matamu, anak muda---yang pasti, aku ingin mengucapkan sesuatu kepadamu".

Ia melebarkan kedua tangan dan membentangkan dadanya dengan tangan kiri yang masih terus memegang erat tongkat kayu.

"Selamat datang, pahlawan! Kamu adalah orang terpilih yang bisa menyelamatkan dunia Magia dari kehancuran".

Huh?

Huh!?

Huh!!?

---Kakek ini sudah gila.

Dengan sigap, aku segera merangkul pundak kakek itu dan hendak menuntunnya ke arah depan.

"Ayo kek... semakin lama, udara semakin dingin. Waktunya kakek pulang ke panti jompo, kasihan perawat yang merawat kakek, pasti sekarang cemas. Yuk, pulang".

"Lepasin!".

Wuah, tenaga kakek ini sungguh kuat.

Hanya sekali hentakan tangan kanannya, sudah mampu membuatku sedikit terlempar ke belakang.

"Berdirilah di depanku sekarang, dan dengarkan penjelaskanku sebentar".

"Iya, kek"

"Berhentilah, memanggilku kakek, aku tidak pernah menikah dengan nenekmu!".

---Ngelunjak nih, kakek-kakek.

"Iya, Aki"

"Nah, panggilan itu baru cocok denganku!"

Kedua tangannya saling bertumbuk dengan telapak tangan kanan sebagai alasnya, layaknya sebuah ketuk palu di meja hakim.

---Ok, dia tolol.

"Ehm!!"

Ia menarik nafas dalam-dalam sebelum mulai kembali berkata.

"Jadi begini, anak muda. Sesuai hasil ramalan, yang aku dan tetua dunia Magia yang lain, lakukan. Kami telah menetapkan, bahwa kamu, Ansyah Saputra adalah pahlawan kami. Seorang pahlawan yang bisa menyelamatkan dunia Magia dari kehancuran, yang disebabkan oleh kelakuan Raja Iblis."

Saat aku hendak berjalan ke arahnya dengan niat memaksa ia kembali ke panti jompo. Ia membentakku dan aura yang ada di sekitarnya, mendadak terasa amat mencekam.

"...Diam! Biarkan aku menyelesaikan perkataanku".

---Aura macam apa ini? sungguh mengerikan.

Mau tak mau, aku hanya bisa menuruti perkataanya.

"Aku sudah tahu segalanya tentangmu, seorang yang sejak kecil, selalu diselimuti oleh ketidakberuntungan. Bully, penolakan, hinaan, dan kemiskinan. Semua hal itu, sepertinya sudah menjadi makananmu sehari-hari. Saat kamu masih di bangku sekolah..."

"Bisakah kau langsung ke intinya saja"

Segera, aku memotong perkataannya.

Seseorang dengan ekspresi tidak berdosa, membeberkan semua ketidakberuntunganku di hadapanku secara langsung.

Ini sungguh memalukan!

Terlalu menyakitkan untuk didengar.

Itulah, kenapa daritadi aku menutup telinga dengan kedua tanganku.

Ngomong-ngomong, apa dia seorang.

STALKER!!!

Bisa-bisanya mengetahui hal pribadi orang.

Sungguh, sepertinya masalah privasi data di negara ini, masih cukup diremehkan.

Kakek tua itu mengarahkan tongkat kayu yang ia genggam di tangan kirinya ke arahku dan mengayunkannya naik-turun.

Mengisyaratkan untukku agar tetap tenang.

"Okok, tenanglah..."

"...Intinya, kami mau kamu pergi ke dunia Magia dan menyelamatkannya dari kehancuran, dengan cara membunuh Raja Iblis. Jika, kau berhasil melakukannya, kami berjanji akan mengembalikanmu ke dunia ini lagi dan akan memberimu sebuah kemewahan sebagai ganjarannya, lalu mengubah ketidakberuntungan yang kamu rasakan selama ini dengan kebahagiaan. Pertimbangkanlah penawaran ini, sebaik-baiknya dan kau bebas menanyakan hal apapun kepadaku, sebelum membuat keputusan".

Menarik.

Ini sungguh menarik.

Aku bisa pergi ke dunia lain, dan berpetualang.

Layaknya seorang tokoh utama dalam cerita anime yang sering kutonton.

Namun, sebelum menerima tawarannya, ada beberapa hal yang ingin kutanyakan kepadanya.

"Ok, aku akan menggunakan kesempatanku, untuk bertanya kepadamu, Aki"

"Oh! Tentu saja, silahkan"

Sepertinya ia memang menyukai panggilan itu. Terlihat dari matanya yang berbinar saat aku memanggilnya dengan sebutan itu.

---Dasar kakek bodoh.

"Ehm! Pertanyaan pertama, bisakah aki menjelaskan kepadaku, apa itu dunia Magia? Dunia macam apa yang ada di sana?"

"Ok...akan aku jelaskan kepadamu. Dunia Magia adalah sebuah dunia yang penuh sihir. Sihir adalah hal utama di sana, itulah mengapa segala hal yang ada di sana, semuanya diukur dan dipengaruhi oleh kekuatan sihir. Semakin kuat, sihir yang dimiliki seseorang, maka akan semakin dipandang tinggi bahkan dipuja oleh para penduduk dunia Magia.

Ada lima negara yang terdapat di dunia Magia, yakni Kerajaan Luani, Kerajaan Stella, Kerajaan Zon, Kerajaan Terra dan Kerajaan Vento. Dahulu kala, mereka saling berperang tanpa henti, bisa dibilang itu hanyalah sebuah peperangan yang sia-sia. Namun, sejak kemunculan Raja Iblis, mereka sepakat untuk berdamai dan bersatu melawan kekejian dan kekejaman Raja Iblis. Dari kelima kerajaan, hanya Kerajaan Luani yang memiliki infrastruktur dan sistem pemerintahan yang lebih baik, bahkan cenderung maju, dibanding kerajaan yang lain. Itulah mengapa, penelitian dalam bidang sihir, lebih masif di sana. Selain itu, di Kerajaan Luani ada sebuah akademi sihir yang berfungsi melatih, membina dan melahirkan ksatria-ksatria sihir, yang memiliki kekuatan sihir yang kuat. Tidak heran, jika ksatria yang terlahir dari akademi tersebut, mampu melindung kerajaan dari invasi pasukan raja iblis, selama ribuan tahun. Lulusan dari Akademi sihir itu disebut Ksatria Suci. Kalau tidak salah, nama Akademi sihir Kerajaan Luani ialah Akademi Zeka."

---Oh!? udah selesai.

Hoamm!

Aku meregangkan tubuhku. Mengangkat tangan setinggi mungkin dengan kedua telapak tangan saling berkaitan.

Hampir saja, aku tertidur akibat mendengar penjelasan dari kakek tua, yang terlampau panjang.

Sebuah ayunan tongkat kayu, mendarat pelan di atas kepalaku.

---Aww!

"Dasar anak muda, malah tidur disaat orang lain sedang berbicara---kurang sopan"

"Maaf, maaf, maaf---tapi percayalah aku mendengarkanmu, Aki".

"Ada, pertanyaan lain yang ingin kau tanyakan?".

"Aki bilang, bahwa kamu dan tetua yang lain, melakukan sebuah ramalan, untuk mencari seorang yang bisa menjadi penyelamat atau pahlawan, bagi dunia Magia. Jadi pertanyaanku, Aki ini siapa di dunia Magia?".

Sebelum menjawab pertanyaanku.

Kakek tua itu, terbatuk-batuk kecil.

"Uhuk...Sebentar, ya nak. Uhuk-uhuk"

"...Di sini, yang jualan wedang jahe, di mana ya?"

"Mana kutahu!, tapi ambillah"

Aku melemparkan satu sachet minum wedang jahe instan kepadanya.

---Mau, gimana lagi, aku harus mengalah terhadap orangtua, walau itu sachet wedang jahe terakhirku.

"Tunggu sebentar, nak. Aki mau nyeduh dulu, terima kasih sebelumnya"

Beberapa menit kemudian, ia datang dengan tangan kanannya memegang gelas yang berisikan wedang jahe hangat.

Slurrpps!!

Suara ia menyeruput wedang jahe, terdengar jelas.

Oi,oi,oi. Jadi di dalam ada kompor gas? Astaga.

Ngomong-ngomong, semakin malam udara di sini, semakin dingin.

Aku pun mulai kedinginan.

---Jadi pengen minum bandrek.

"...Aku lanjutkan, ya nak. Jadi seperti yang kamu dengarkan tadi, aku memang seorang tetua di dunia itu. Oleh penduduk dunia Magia, para tetua dianggap sebagai tangan kanan dewa. Itulah kenapa, kami sangat dihormati. Lalu, semenjak peperangan antar kerajaan selesai, mereka akan selalu berkonsultasi terlebih dahulu kepada kami, sebelum membuat atau menentukan sebuah keputusan yang hendak mereka ambil. Jadi, bisa dibilang segala hal yang terjadi di dunia Magia pada saat ini adalah hasil campur tangan kami".

Wuah.

Jadi, saat ini aku sedang berbicara dengan orang hebat.

Meski begitu, karena penampilan yang layaknya seorang kakek polos, yang sering ada di video-video lucu di internet, ditambah sikapnya yang sedikit bodoh, membuatku sama sekali tidak percaya bahwa ia adalah orang kuat.

Yah---walau begitu kuakui, aura yang terpancar dari tubuhnya, membuatku percaya bahwa kakek yang sedang kuajak bicara, ialah seseorang yang kuat.

"Ok, ini pertanyaan terakhir. Apa aku akan diberi sebuah benda, skill atau apalah, sebagai bekal aku ke sana?"

"Oh, tentu saja. Aku akan memberimu hal semacam itu, Aku akan memberi dua keistimewaan sebagai bekal berpetualangan, yang mana kamu bebas untuk memilih. Misalnya kamu mau pedang sihir yang besar dan bisa menebas segalanya, atau sebuah sihir kuat yang memiliki efek perusak yang sangat besar atau kamu ingin memiliki pesona yang bisa memikat semua wanita di dunia Magia. Bebas, itu semua terserah kamu. Jadi, tidak usah khawatir perihal itu".

Wuah!

Wuah!!

Wuah!!!

Sepertinya aku akan segera menjadi seorang tokoh utama.

Ini sungguh luar biasa.

Aku tak sabar

Segera aku menarik kerah di jubah putih yang kakek tua gunakan, dengan wajah yang sedikit konyol.

"Segera, kirim aku sana, Aki. Buruan! Ayoo cepattt!".

Gila---kapan lagi. Jadi raja harem.

Akhirnya, Badan yang selama 28 tahun tidak pernah merasakan kehangatan tubuh wanita.

Sebentar lagi akan merasakannya.

---Huah, membayangkannya saja, aku hampir mimisan.

"Iyaya!...Berhentilah menarik kerahku, wedang jaheku mau tumpah!!"

Menyadari hal itu.

Aku berhenti menariknya.

"Namun, sebelum aku mengirimu ke dunia Magia"

"...Apa kamu sudah menentukan, hal apa yang ingin kamu bawa?".

~ End Prolog~

avataravatar
Next chapter