webnovel

Kedatangan Yu Jiyem Kempul

Tangisnya belum mereda. Dadanya yang tambun terguncang-guncang hebat. Betul, suara isak tangisnya sudah tidak keras lagi. Tetapi itu malah terdengar menyakitkan, ngenes-ngenesi ati. Sementara dari balik pintu muncul dua perempuan yang sebaya dengannya. Yang satu berkebaya dan satunya lagi memakai rok. Tak ada gincu-gincu di bibir mereka. Pendatang yang ber-rok duduk di samping si penangis, menghibur. Sedangkan si kebaya diam dengan pancaran mata yang sukar diraba, entah turut berduka cita atau sebaliknya. Boleh jadi kematian laki-laki Sarni Trilili merupakan hiburan tersendiri baginya.

"Sudahlah. Kematian itu milik siapa saja. Maka tak usah terlalu ditangisi, " bisik yang berkebaya.

"Betul. Besok lusa kau pasti sudah tertawa renyah lagi," sambung yang ber-rok sambil sedikit melengos. Tangan yang berkebaya pun menyubit pantatnya, agar temannya itu menjaga mulut.

Kematian Jonet Tralala yang terkena radang tebece menambah perbendaharaan janda kembang di dusun 'ex'. Kali ini Sarni Trilili yang ketiban sampur untuk menyandang gelar tersebut. Padahal masih muda dan belum beranak-pinak. Dan, itu mengundang senyum simpul Yu Jiyem Kempul, si pedagang berlian yang notabene juga calo begituan. Di pelayatan tempo hari, mungkin, urun banyunya yang paing tebal di antara para pelayat. Maklum mudah mencari duit. Orang dusun 'ex' menggambarkan tinggal garuk-garuk kepala saja duit Yu Jiyem Kempul sudah mbrojol sendiri.

Di peringatan tiga hari si mati, Sarni Trilili belum bisa tersenyum sama sekali. Toh, pas peringatan tujuh harian ia bisa tersenyum meski tampak ditahan-tahan. Ee.., pas empat puluh harian dari nggletaknya si Jonet Tralala, istri yang setia itu sudah bisa tertawa ngikik saat ada acara lawak di televisi. Aneh ya, tertawa saja menunggu empat puluh hari.

Selisih dua hari dari peringatan empat puluhan, Yu Jiyem Kempul tledang-tledang datang ke rumah Sarni Trilili. Bermaksud menawarkan berlian mata kucing. Dengan si gandes luwes itu Sarni Trilili tak kuasa menolak untuk ngobrol ngalor-ngidul. Dari harga cabai-jahe sampai rencana si tamu mengambil perumahan di Giri Indol.

"Bagaimana, Jeng? Jadi ngambil intan tidak?"

"Tidak, Mbakyu. Wong habis kesusahan kok mborong. Tidak patut, tabu. Bisa dicibir tetangga," jawab Sarni Trilili.

"Itu sebetulnya tidak tabu. Hanya orang kolot saja yang menabukan sesuatu." Ah, gaya klasik pedagang. Ngglembuk.

Sarni Trilili tak bergeming. Lha apa pantas uang hasil iuran untuk si mati dibelikan intan permata. Tidak baik, bisa kualat.

Padahal bukan jual beli itu sendiri yang tak mengenakkan hatinya. Kedatangan Yu Jiyem Kempul ke rumahnya saja sudah mengundang njedirnya bibir-bibir sedusun 'ex'. Reputasi Yu Jiyem Kempul memang buruk di mata orang-orang yang sering kena wabah paceklik musiman itu. Penduduk dusun 'ex' memang sudah mengout-groupkan Yu Jiyem Kempul. Ia sampah, bah, pantas diludahi! Padahal kalau dalam hal sumbang-menyumbang untuk pembangunan dusun, woow, Yu Jiyem Kempul yang pegang sabuknya. Pak lurah kalah jauh.

"O, ya. Lantas Jeng Trilili mau usaha apa setelah kepergian Dimas Tralala?" Idium dimasnya ia beri intonasi mantap. Hal itu malah bikin Sarni Trlili terharu-biru. Ia jadi ingat suami tercece.

"Ada sawah yang bisa saya olah, Mbakyu."

"Wah apa cukup, Jeng."

"Juga ada duapuluh pohon mlinjo di kebun. Dan semua sudah berbuah."

"Ah, Jeng Trilili itu lho. Kaya' Ratu Kalinyamat saja, mau bertapa. Harga cabe saja tidak pernah turun. Saya rasa Jeng Trilili masih ingin plesar-plesir, piknik. Masih ayu, cantik. Lesung pipinya itu lho yang bikin gemes!" Yu Jiyem Kempul nyrocos bak bebek nyosori gabah. Sarni Trilili tersenyum tersipu-sipu.

Yu Jiyem Kempul akhirnya pamitan. Sarni Trilili mengantarnya sampai regol. Sopir caldilac warna sitrun pun membuka pintu mobil sambil melirik Sarni Trilili dengan senyuman nakal. Yu Jiyem Kempul masuk setelah jempol si sopir menunjuk ke dalam. Duh-duh, orang itu kalau baru jadi orang kok disubya-subya kayak ratu laron.

Dari dalam mobil Yu Jiyem kempul masih berucap dengan Sarni Trilili. "Jeng Trilili, kalau ada apa-apa jangan segan-segan menghubungi mbakyumu ini!"

Sarni Trilili mengangguk-angguk. Mobil lantas nggereng halus dan pelan-pelan menuju arah kota Kendil, ladang subur Yu Jiyem Kempul. Orang-orang yang melihatnya sinis. Ada yang meludah, cuh-cuh!

Tahu-tahu Mbah Joyo Tempe, orang sebelah rumah, sudah berdiri di sampingnya. Bertanya-tanya cemas, "Ada apa, Nduk?"

"Menawarkan berlian kok, Mbokde."

"Hati-hati lho, Nduk. Dia itu ular beludak."

Sarni Trilili mengangguk. Tetapi peringatan itu malah menyakitkan hatinya. Diriku dianggap apa, batinnya. Dadanya menjadi sesak. Gundah. Ada rasa sakit di dalamnya. Tak kuasa membendung air mata maka ia berlari masuk rumah, dan menyuntaknya di bantal. Malamnya ia bermimpi, si almarhum menyuntingkan bunga melati di rambutnya. Mimpi itu dirasa sangat syahdu dan indah.

Pagi harinya, Tebasan mlinjo itu datang lagi. Padahal kemarin penawaran tertingginya sudah ditolak Sarni Trilili. Harganya masih dianggap terlalu rendah. Tetapi Darmo Dipo, sang pengijon nan ulet dari dusun 'er', tidak bersedia menaikkan koin penawarannya.

"Harga klathak baru top-topnya lho, kang," kata Sarni Trilili. Klathak adalah biji melinjo yang sudah dikupas kulit arinya.

"Siapa bilang? Di bursa emping kota penawaran mencapai titik tertinggi, permintaan anjlok. Sementara setoran biji mlinjo dari petani mengalir terus."

"Pokoknya, kalau tidak sembilan ratus rupiah perkilonya tidak akan saya berikan."

"Itu harga mlinjo kalau sudah berujud klathak, sudah dikuliti. Sedangkan di sini? Aku masih harus memanjat pohonnya."

"Pokoknya sembilan ratus rupiah!"

"Tujuh ratus!"

"Kalau begitu tidak kuberikan!"

"Hya sudah, aku juga tak mau rugi,"Darmo Dipo lantas nggenjot skuternya. Tukang panjatnya nongkrong di jok belakang yang hanya dialasi goni buat ganjel bokong. E, lha kok hari ini dia berani-beraninya datang lagi. Klakson skuternya yang cemreng ia ngek-ngekkan di depan rumah Sarni Trilili.

"Berani naikkan harganya lagi, kang?" tantang Sarni Trilili.

"Harga kemarin saja!"

"Tidak! Sekarang seribu lima puluh perkilo!"

"Apa-apaan, nih," Darmo Dipo jadi nyengir ampang. Tukang panjatnya yang sudah stand bye manjat ikut nyengir sambil nglirik ke arah dada Sarni Trilili yang lupa dibehai. Darmo Dipo dan tukang panjatnya tersenyum bareng, wow!

"Tidak mau ya sudah. Biar nanti dipanen si Nardi Kithil."

"Mau! Mau! Tapi mbok jangan pakai limapuluhan! Biar gampang menghitungya!"

"Dasar buta huruf!" seru Sarni Trilili sambil mengangguk setuju. Bertiga mereka pergi ke kebun samping rumah. Hanya sembilan pohon yang sarat akan buah mlinjo yang merah dan kuning. Yang lainnya masih berupa kroto, bunga melinjo. Selanjutnya Gino Luwak, si Tukang panjat, ngangkrik pohon dan mulai menyenggeti buah mlinjo.

Sementara itu Darmo Dipo asyik dengan dua bola mata nakalnya. Ia mengemudikan kornea matanya ke mana pun Sarni Trilili berada. Padahal dari atas pohon, sepasang mata Gino Luwak juga lebih konsen ke biji mlinjo di dada si janda. Ah, mata itu betul-betul terlatih untuk melihat hal-hal yang begituan. Aha! Sarni Trilili pun tersipu-sipu ketika tersadar bahwa dirinya tak pakai kutang, lantas ia berlari masuk rumah. Sekeluarnya dia ke rumah Mbah Joyo Tempe. Minta ditemani agar lebih aman.

Next chapter