19 PACU #19 Rannu Semakin Membaik

Setelah tiga hari berlalu, aku belum menerima info dari Ferdy mengenai alternatif konsep desain yang ia pilih. Sambil menunggu, aku mulai mencari ide konsep desain buat Arion. Jika ada desain yang sedang aku kerjakan, biasanya aku mengurung diri di kamar dan hanya keluar untuk membantu Mama bersih-bersih, mencuci pakaian dan memasak. Tetapi semenjak Rannu dirawat, setiap hari Sabtu selalu kusediakan waktu menjenguknya. Aku sudah tidak pernah lagi menanyakan mengenai Ferdy ke Rannu. Ia juga seolah sudah asyik dengan dunia merajutnya. Hanya sesekali ia menanyakan kapan ia bisa keluar dari rumah sakit.

Hari Sabtu, seperti biasa aku mengunjungi Rannu. Kebetulan juga Kak Ika sedang tugas jaga dan ia menemaniku menemui Rannu. Selain hari Sabtu, yang jadi hari wajib aku mengunjungi Rannu, dalam rentang waktu seminggu, kadang jika tidak sibuk atau stuck ide, saya juga mengunjungi Rannu. Seperti hari Rabu kemarin, karena aku sudah menyelesaikan konsep desain untuk Ferdy jadi aku refreshing sejenak ke tempat Rannu.

"Kak, kondisi Rannu semakin membaik. Kira-kira ia bisa keluar dari sini kapan ya?" tanyaku pada Kak Ika saat kami menyusuri koridor menuju taman tempat Rannu. Rannu sudah dirawat selama tiga bulan yang menurutku waktu yang cukup lama untuk membuat kondisi Rannu pulih.

"Menurut Dokter Firdaus, kondisi Rannu memang sangat pesat perkembangannya. Tetapi itu kondisi saat dia tidak bertemu dengan sumber yang mengguncang jiwanya. Karena Kak Arie dan Kak Lia belum pernah lagi datang menjenguknya, mungkin ada baiknya Rannu mulai terbiasa untuk bertemu kembali dengan mereka. Ini untuk melatih Rannu agar siap saat ia kembali ke rumah."

Memang sejak kejadian Rannu histeris melihat Kak Arie dan Kak Lia, sejak saat itu mereka tidak pernah datang mengunjungi Rannu. Biasanya aku yang menelpon Kak Arie setelah mengunjungi Rannu atau sebaliknya, Kak Arie yang menelponku.

"Apa sebaiknya saya minta Kak Arie dan Kak Lia datang jenguk Rannu ya Kak?"

"Boleh Sandri. Nanti pelan-pelan kita coba mendekatkan Rannu ke mereka ya. Semoga saja rekasi Rannu tidak seperti dulu."

"Oke Kak, balik dari sini akan saya obrolin dengan Kak Arie."

Kami sudah tiba di taman dan Rannu tidak menyadari kehadiran kami. Ia asyik menekuri rajutannya. Sepertinya kali ini ia sedang membuat tas. Semakin mahir saja Rannu. Aku sangat gembira tentu saja.

"Hallo Rannu," ujarku menyapanya.

"Sandri!" Rannu bergegas berdiri dan memelukku. Selalu begitu jika aku datang menjenguknya.

"Rannu lagi buat apa?" tanya Kak Ika.

"Buat tas," jawab Rannu dengan mata berbinar sambil menunjukkan pada kami tas yang sedang dibuatnya.

"Hebat deh Rannu," puji Kak Ika.

Rannu meletakkan rajutannya dan mengajak kami duduk. Dia dengan antusias menceritakan kegiatannya. Saat bercerita mengenai hobbynya saat ini, ia sangat bersemangat. Jika ia bisa dengan cepat mempelajari cara merajut, aku berharap Rannu juga bisa dengan cepat beradaptasi kembali dengan keluarganya, terutama dengan Kak Arie dan Kak Lia. Kami lalu asyik mengobrol sambil makan kue yang aku bawa. Sesekali kami tertawa jika ada obrolan yang lucu. Jika melihat kondisinya seperti ini, Rannu terlihat sudah normal.

Setelah menemani kami sebentar Kak Ika lalu kembali menjalankan tugasnya. Rannu juga kembali merajut sambil ngobrol denganku.

"Rannu, ntar ajarin aku merajut ya?"

"Sandri mau belajar merajut juga?" tanyanya tak percaya.

"Iya, sepertinya asyik gitu ya."

"Boleh, tapi hakpen Rannu cuman satu."

"Nggak apa, ntar aku beli. Kalau ke sini lagi aku bawa dan belajar merajut sama Rannu."

"Iya Sandri."

"Rannu kangen nggak sama Mama, Kak Arie, Kak Lia dan Kak Nita?" tanyaku dengan pelan.

"Kangen, tapi Rannu belum sembuh." Aku terkesiap dengan jawabannya. Ia tahu dirinya sedang sakit. Tapi mendengar nama Kak Arie dan Kak Lia, reaksi Rannu biasa saja.

"Kalau Rannu sembuh, Rannu mau tinggal sama Mama atau dengan Kak Arie?" Aku menyebut kembali nama Kak Arie dan menunggu tanggapan Rannu. Tetapi raut dan sikapnya tetap biasa mendengar nama Kak Arie. Semoga ini pertanda Rannu memang sudah membaik.

"Sama Mama aja," jawabnya sambil melihat padaku. Aku tahu ia sangat merindukan keluarganya.

"Rannu sabar ya. Rajin minum obatnya biar cepat sembuh dan kembali ke rumah Mama," hiburku.

"Ferdy sudah pernah jenguk Rannu lagi nggak?" Aku berusaha menahan ini tapi tidak bisa. Aku penasaran saja apakah Ferdy masih datang menjenguknya atau tidak.

"Kemarin Ferdy datang tapi cuman sebentar. Katanya sibuk jadi nggak sempat jenguk Rannu. Tapi Ferdy janji akan sering datang kok Sandri." Akhirnya dia datang juga menjenguk Rannu. Syukurlah. Memang kami tidak bisa memaksanya menjenguk Rannu setiap saat, tetapi dengan adanya Ferdy, cukup membantu memulihkan kondisi Rannu. Aku hanya berharap semoga yang pernah ia ucapkan dulu bisa ia realisasikan.

Kulihat Rannu beberapa kali menguap. Sepertinya minum obat setelah makan siang tadi, efeknya mulai terasa.

"Rannu baiknya istirahat aja ya?"

"Iya Sandri, habis minum obat kok jadi mengantuk. Padahal mau selesaiin tas ini buat Sandri." Apa saja yang ia buat, hasilnya selalu ia berikan padaku. Dulu syal, sekarang tas. Aku tentu saja senang dengan pemberiannya dan terharu.

"Nanti bisa dilanjutkan lagi kok." Setelah mengantar Rannu ke ruangannya, aku pun pamit. Saat berjalan di koridor menuju lobby, bunyi notif pesan masuk ke ponselku. Tadi selama menemai Rannu, aku menyimpan ponsel dalam tas dan tidak pernah membukanya. Aku merogoh tas dan mengambil ponsel, dan saat kubuka ada beberapa pesan dan telepon tak terjawab yang masuk. Pesan dari Dita mengenai client yang ingin bertemu denganku, pesan Ferdy mengenai alternatif konsep desain yang ia pilih. Ferdy memilih alternatif kedua. Ia juga menanyakan kapan bisa bertemu denganku untuk diskusi mengenai desain selanjutnya. Kalau telepon semuanya dari Arion? Keningku mengernyit. Ada apa sampai ia menelpon sebanyak tujuh kali? Dan pesan terakhir saat aku berjalan di koridor tadi adalah pesan dari Arion menanyakan posisiku saat ini. Hehhh? Aku jadi tidak berminat menelponnya balik. Membalas pesannya pun aku ragu. Kak Lia sampai menegurku ketika aku hanya berjalan lurus ke pintu keluar tanpa menoleh padanya yang berdiri di samping meja Resepsionis. Kepalaku penuh dengan jadwal yang sedang kususun untuk Dita dan Ferdy. Untuk Arion, aku sedang memikirkan jawaban atas telepon dan pesannya.

Aku masih menimbang-nimbang akan membalas pesan Arion ketika kemudian pesannya masuk lagi ke ponselku. Pria ini memang tidak mengenal lelah sepertinya. Karena tak kunjung pesannya kubalas, ia menelponku. Hampir saja ponsel yang kupegang jatuh saking terkejutnya.

"Ada apa Mas?" jawabku acuh. Ada sedikit nada kesal pada ucapanku. Hari ini Sabtu, seharusnya ia tahu jika biasanya hari itu digunakan para pekerja untuk bersantai bersama keluarga, melakukan hobby atau lainnya. Belum seminggu aku bertemu dengannya, desain boothnya pun baru kubuatkan sketsa kasar saja. Jika saja ia lupa, aku tidak menjanjikan akan mengerjakannya dalam waktu dekat. Mengapa seolah-olah ia sudah menagihku seperti ini?

"Kamu lagi di mana?" Pertanyaan ini lagi. Lama-lama aku phobia nih dengan pertanyaan seperti ini. Aku menghela napas.

"Memang ada apa sih Mas? Ini hari Sabtu lho. Mas nggak ada acara atau apa gitu?" tanyaku dengan nada datar.

"Nggak ada tuh. Hari Sabtu sama hari lainnya bagi saya sama aja," jawab Arion dengan suara beratnya yang kadarnya malah membuat telingaku seperti mengalami gejala alergi. Pria ini workaholic atau bagaimana sih? Hari Sabtu tidak ada bedanya dengan hari lain katanya? Wahhh, tak ada manis-manisnya kalau gitu. Aku berdehem.

"Mas, saya tuh penikmat hari Sabtu lho." Maksudku di sini mengunjungi Rannu dan berleha-leha, melupakan sejenak pekerjaanku.

"Owh, kamu lagi kencan ya Sandri?" Duh, harus banget ya menyebutkan kata kencan. Dia nggak tahu aja kalau aku ini masih bersolo karier. Ampunnn….

"Bukan gitu juga sih Mas, tapi kalau hari Sabtu tuh aku pengen santai aja sih." Aku sudah tidak sadar duduk di kursi lobby sambil ngobrol dengan Arion di telepon. Kak Lia hanya senyum-senyum melihat ekpresiku.

"Jadi saya ganggu dong ya?" Lha, sudah tahu tapi masih bertanya. Jenis pria kurang peka banget dia.

"Iya!"

"Duh, jangan galak dong Sandri." Terdengar kekehan di ujung sana. Aku diam saja tidak menanggapinya.

"Saya butuh teman diskusi nih." Lanjut Arion.

"Emang Mas nggak ada teman diskusi di kantor?" Aneh juga, butuh teman diskusi tapi mengapa ke aku?

"Nggak ada. Lagian saya pengennya diskusi sama kamu." Aku menepuk kening. Mengapa kakak Ferdy ini aneh ya?

"Mau diskusi apa ya Mas? Desain boothnya belum aku pegang lho."

"Diskusi tuh nggak melulu urusan kerjaan Sandri. Bisa saja hal lain seperti kehidupan, hobby atau apa ajalah." Mengapa jadi melebar ke mana-mana begini? Sepertinya aku tertahan di lobby rumah sakit karena meladeni telepon Arion.

"Tapi saya lagi nggak mood untuk diskusi macam-macam, Mas." Terserahlah jika Arion menganggap jawabanku kurang sopan. Tetapi benar-benar aku lagi tidak ingin diganggu hari ini.

"Ya sudah, jalan-jalan aja kalau gitu. Mau ya?" Ya ampun, dia belum menyerah. Sementara aku belum merespon pesan Dita dan Ferdy.

"Lagi males jalan juga Mas," balasku dengan cepat.

"Yakin kamu lagi di rumah rebahan aja?" Arion tahu aku lagi di luar rumah. Apakah dia sudah menanam chip di ponselku sehingga ia bisa melacakku? Pikiranku mendadak aneh.

"Saya memang lagi di luar Mas, jenguk sepupu di rumah sakit." Kuputuskan jujur sajalah padanya. Aku melambai pada Kak Ika, dan keluar dari lobby menuju gerbang.

"Coba kamu tengok arah jam jam sembilan, Sandri." Aku menoleh sesuai arahannya, dan mataku terbelalak, mobil Arion sudah terparkir tidak jauh dari pintu gerbang rumah sakit.

*****

avataravatar
Next chapter