webnovel

PACU #10 Hampir Saja

Langkahku ke area tempat parkir berhenti mendadak dan ini membuat Ferdy bingung.

"Ada apa Sandri? Ada yang kelupaan?" tanyanya.

"Ada Kak Nita! Kita jangan lewat situ, Mas!" kataku sambil menarik Ferdy berbelok ke tempat lain. Aku berharap Kak Nita tidak melihatku dan Ferdy.

Hampir saja! Aku tidak bisa bayangkan jika Kak Nita melihat Ferdy, bersamaku pula. Bisa saja aku dianggapnya yang dulu mengenalkan Ferdy ke Rannu, padahal aku baru mengenal Ferdy setelah Rannu masuk ke rumah sakit jiwa.

Setelah kulihat Kak Nita masuk lobby, kami cepat masuk ke mobil dan menyuruh Ferdy segera memacu kendaraannya. Di jalan aku baru merasa lega.

"Nggak usah cemas Sandri! Kali ini saya akan menghadapi mereka. Dulu memang saya belum punya apa-apa sebagai jaminan untuk membahagiakan Rannu. Tetapi sekarang, akan saya tunjukan kalau niat saya nggak pernah main-main. Dari dulu hingga sekarang, saya tetap ingin bersama Rannu." Ferdy meyakinkanku untuk tidak khawatir ketika kami tadi hampir saja bertemu Kak Nita. Aku juga yakin jika kali ini, siapapun yang melihat Ferdy, tahu jika dia seorang pengusaha muda yang cukup sukses.

Mungkin Ferdy bisa menghadapi keluarga Rannu sekarang, tetapi aku yang masih ada hubungan keluarga hanya khawatir, jika saja mereka melihatku bersama Ferdy, bisa saja mereka berpikiran lain.

"Ngobrolin apa aja tadi dengan Rannu, Mas?"

"Saya nanya dia makanan kesukaannya, sudah bikin apa aja selama di rawat di sana, yang ringan-ringan aja sih Sandri. Rannu masih ingat makanan kesukaannya, nasi goreng seafood dan mie siram. Dia juga cerita kegiatannya sehari-hari yang kadang buat dia bosan," jawab Ferdy tersenyum tetapi setelah itu nampak berpikir. Mungkin kata bosan dari Rannu itu penyebabnya.

"Tetapi Rannu nggak kenal kita Mas."

"Iya, mungki saat ini, tapi pasti ingatannya akan kembali kok. Dia masih bingung aja," jawab Ferdy mencoba menepis kekhawatiranku terhadap Rannu.

"Saya akan rutin menjenguk Rannu," lanjutnya.

"Sebaiknya telepon Kak Ika dulu kalau mau jenguk Rannu ya Mas."

"Kenapa?" tanyanya

"Mungkin saja saat Mas mau jenguk Rannu, keluarganya lagi ada di sana," jawabku mencoba memberikan pengertian. Ini masih awal, jadi sebaiknya tidak ada perselisihan dulu karena aku berharap kehadiran Ferdy bisa berpengaruh bagi kesembuhan Rannu.

"Saya bisa mengatasinya kok."

"Demi kebaikan Rannu, tolong jangan sampai kejadian yang dulu terulang ya Mas."

"Tenang, saya pastikan kejadian itu nggak terulang!" jawab Ferdy dengan tegas. Aku lega.

"Mas, turunin saya di tempat yang tadi aja ya."

"Saya akan antar sampai ke rumah Sandri. Kalau keberatan, anggap aja ini ucapan terima kasih saya karena hari saya telah bertemu Rannu kembali berkat kamu."

"Tapi jam segini, macet baget lho mas ke arah sana," aku masih berusaha mengurungkan niatnya untuk mengantarku pulang.

"Di Jakarta, mana ada sih yang nggak macet," jawabnya sambil tertawa.

Aku terima tawarannya untuk mengantarku pulang. Saat di jalan, kami lebih banyak membahas masalah desain untuk boothnya. Walaupun saat ini orang sudah cenderung berbelanja via online, tetapi di mall-mall besar, masih tetap ramai. Konsep Ferdy untuk boothnya adalah memadukan tempat bermain anak, kuliner dan display untuk pakaian yang di produksi sendiri serta import. Konsep yang kompleks apalagi dipadukan dengan unsur tradisional lewat ukiran khas Toraja.

"Revisi konsep desainnya bisa saya terima kapan ya Sand?"

"Karena ini agak kompleks, dan juga akan saya buat dalam tiga alternatif jadi ntar Mas bisa pilih, sekitar dua minggu ya Mas?"

"Bisa lebih cepat nggak?"

"Saya usahakan secepatnya."

"Ok, deal."

"Saya kirim via email ya Mas jika sudah jadi sketsanya."

"Nggak perlu, kita ketemu aja di kantorku. Ntar alamatnya saya wa."

"Ok Mas."

Sosok Ferdy memang sesuai dengan deskripsi yang diberikan Rannu. Ia juga bisa menjadi teman ngobrol yang asik. Aku yang biasanya malas berbasa basi pada orang yang baru aku kenal, bisa jadi lancar berbicara.

Seakan semesta lagi berpihak pada kami, di jalan yang biasanya macet parah, saat ini lumayan lancar. Cuman butuh kurang lebih sejam, kami sudah dekat ke rumah. Tetapi lagi-lagi hatiku mencelos melihat mobil yang terpakir di depan pagar. Aku sangat hapal pemiliknya, Tante Elis!

"Mas, turunin di sini aja ya!" pintaku mulai panik. Ferdy pun bingung.

"Kenapa?"

"Tolong jangan di depan rumah ya Mas. Ada Tante Elis!"

Ferdy tak banyak bertanya lagi dan segera menghentikan mobil. Aku turun dan mengucapkan terima kasih. Aku masuk, tetapi tak ada siapa-siapa di ruang tamu. Lalu terdengar suara dari ruang tengah. Suara mama dan Tante Elis. Tante Elis menoleh saat melihatku.

"Baru pulang kerja ya Sandri?" tanya Tante Elis.

"Habis ketemu teman kok Tante."

"Kamu masih suka freelance sih ya?"

"Iya Tante."

"Sandri lebih suka begitu, tapi pendapatannya kan nggak tetap." Itu suara Mama.

Mama memang lebih suka jika aku memiliki pekerjaan tetap. Mungkin Mama tidak enak aja jika ada yang bertanya, aku kerja di mana dan beliau tidak bisa menyebutkan nama sebuah perusahaan atau kantor. Padahal sekarang banyak banget orang yang bisa mempunyai penghasilan tanpa harus bekerja di kantor. Tidak harus kerja nine to five, tapi bisa lebih fleksibel mengatur waktunya. Aku kemudian pamit dan masuk kamar. Badan rasanya sudah lengket banget. Aku membuka tas, ingin segera memberi info ke Dita, hasil pertemuanku dengan Ferdy. Ponsel yang aku cari di dalam tas ternyata tidak ada. Semua isi tas kukeluarkan, tetapi ponsel tidak kutemukan. Aku kembali ke ruang tengah, mencari di sofa yang tadi sempat kududuki, tidak ada juga.

"Kamu cari apa sih?" tanya mama yang melihatku mondar mandir mencari ponsel.

"Hp Ma."

"Mama lihat, sejak tadi kamu datang, kamu gak pegang hp lho."

Waduhhhh....., aku mulai panik. Ponsel itu satu-satunya penghubung aku dengan teman-teman dan klien. Semua data ada di situ. Aku masuk kembali ke kamar dan mencoba mengingat-ingat saat terakhir aku pegang ponsel. Terakhir waktu menelpon Kak Ika begitu aku dan Ferdy tiba di rumah sakit jiwa. Dan biasanya setelah menelpon, ponsel aku masukkan kembali ke tas. Terdengar ketukan di pintu kamarku.

"Sandri, ada teman kamu tuh di depan," ujar Mama dari luar kamar.

Teman? Hari ini aku tidak ada janji bertemu seseorang selain Ferdy tadi. Pintu kamar kubuka dan bertanya ke mama.

"Siapa ya Ma?"

"Mama nggak tahu. Sepertinya baru kali ini Mama lihat deh."

Aku melihat masih ada Tante Elis duduk di sofa ruang tengah. Sepertinya ada yang serius di obrolkan dengan Mama. Atau mungkin membahas tentang Rannu. Semenjak Rannu di rawat, Tante Elis sering banget ke rumah. Mungkin ia butuh teman bicara. Aku berjalan ke ruang tamu dan sangat terkejut mendapati seseorang seperti yang disampaikan Mama tadi.

"Mas Ferdy?!"

Kenapa ia datang lagi? pikirku. Bukannya pertemuan kami selanjutnya setelah sketsaku selesai?

"Ada apa ya Mas?" tanyaku ke Ferdy yang sudah dipersilahkan mama duduk di ruang tamu.

"Hpmu ketinggalan di mobil," ucapnya sambil menyerahkan ponsel ke padaku. Hatiku lega. Ponselku ternyata tertinggal di mobilnya. Tetapi kemudian was-was jika sewaktu-waktu Tante Elis keluar dari dalam, apa yang harus kulakukan?

"Makasih ya Mas."

'Sandri, buatin minum dong temannya." Terdengar suara mama dari ruang tengah.

Mati aku, bakalan lama nih. Tidak sopan juga jika aku menyuruh Ferdy pulang saja, sementara dia klien aku saat ini. Aku berpikir keras.

"Sebentar ya Mas," aku pamit ke dalam untuk membuatkan minuman.

Aku membuat minuman sambil berpikir, mencari cara agar Ferdy dan tante Elis tidak bertemu, sampai tidak sadar jika air yang kutuang sudah penuh dan hampir saja tumpah. Saat aku membawa minuman, tante Elis sudah berdiri dan berpamitan ke mama. Aku super cemas. Berbarengan kami berjalan ke ruang tamu. Aku pasrah. Apapun yang terjadi, mungkin sudah saatnya mereka bertemu. Dan apa yang aku cemaskan, terjadi. Tante Elis terbelalak melihat Ferdy duduk di ruang tamu.

"Kamu, Ferdy?!"

*****

Next chapter