1 PACU #1 Aku dan Rannu

Kalau boleh memilih, dia lebih bahagia seandainya tidak dilahirkan ke dunia, dari pada harus mengalami penderitaan ini. Itulah kesan yang aku tangkap kala suatu sore, di teras depan rumah, aku dan Rannu duduk dan saling berbagi cerita.

"Kadang aku bertanya, sebenarnya aku ini anak siapa?"

"Kok ngomongnya begitu sih Ran."

"Coba aja kamu lihat kakak-kakakku, San. Mereka semua sarjana. Yang satu Arsitek, satunya lagi Akuntan dan Dokter. Sedang aku, tamat SMA aja harus berjuang. Memang sih, aku sempat kuliah di Akademi Pariwisata, tetapi kamu tahu sendiri kan, nggak selesai. Aku nggak tahu, kenapa otakku nggak seperti mereka. Mungkin karena itu, aku sering kena tegur dari tante dan om, nggak dari pihak papa juga dari pihak mama. Sepertinya yang aku kerjakan selalu salah di mata mereka. Aku di cap hanya bisa bikin malu keluarga. Aku jadi nggak tahu harus bagaimana."

Air mata mulai mengalir di pipinya. Aku tertegun. Aku jadi teringat masa-masa waktu kami kecil dulu.

Aku dan Rannu masih berhubungan keluarga dekat. Tepatnya Tante Elis, Mama Rannu dan Mamaku bersaudara. Ketika kami masih kecil, kami sering banget bermain bersama dan sempat juga satu sekolah saat masih SD. Naik kelas 2 SD, aku pindah karena ikut Papa yang di tugaskan ke luar kota. Tidak berapa lama kami pindah, Om Fritz, Papa Rannu meninggal karena sakit komplikasi ginjal dan diabetes. Om Fritz sudah pernah operasi transplantasi ginjal, tetapi tetap saja belum bisa menyelamatkan hidupnya lebih lama. Yang aku ingat dari Om Fritz, jika aku datang, beliau sangat senang, mungkin karena kami masih kecil saat itu jadi yang paling disayang.

Selain dosen, Om Fritz punya perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. Perusahaan itu langsung ditangani oleh Tante Elis setelah beliau meninggal. Mungkin karena kurang pengalaman, perusahaan itu merugi dan akhirnya kolaps. Jika hanya mengharapkan hasil pensiun dari Om Fritz, tentu tidak mencukupi untuk biaya hidup keluarga Tante Elis. Tetapi tidak berarti Tante Elis kemudian meminta bantuan dari saudaranya yang memang pantas untuk memberikan bantuan mengingat mereka banyak yang disekolahkan oleh Om Fritz.

Tante Elis punya kemampuan bahasa Inggris dan Belanda. Bermodalkan itu Tante Elis bekerja pada travel sebagai pemandu wisata untuk wisatawan asing. Dengan pekerjaan ini, Tante Elis banyak bepergian mengantar tamunya ke tempat wisata di Indonesia. Maka urusan rumah dan mengasuh anak-anak jadi tanggung jawab Tante Anna, yang masih kerabat jauh Om Fritz dan sudah lama ikut dengan mereka.

Kegigihan Tante Elis ini yang selalu aku kagumi. Sampai saat ini, Tante Elis tidak menikah lagi setelah Om Fritz meninggal. Beliau fokus untuk bekerja dan membiayai pendidikan anak-anaknya.

Meskipun sudah pindah, jika liburan, aku dan Rannu masih sering bertemu. Masuk SMA, aku kembali ke Jakarta karena tidak cocok dengan udara dingin di tempat Papa bertugas. Di daerah itu, asmaku sering kambuh bahkan pernah hampir out jika saja tidak cepat dibawa ke rumah sakit. Namun aku sudah nggak seintens dulu ke rumah Tante Elis untuk bertemu Rannu. Begitu juga dengan Rannu, sudah sangat jarang main ke rumah.

Sekali waktu Rannu datang ke rumah. Ia mengajakku jalan ke mall, menemaninya cari flat shoes. Dari mall kami mampir makan di tempat favorite kami. Saat itu badannya mulai melar, tidak kurus lagi seperti dulu. Makanan yang tidak aku habiskan, malah diembatnya juga. Wahhh.....ada perubahan yang drastis padanya.

Saat aku kuliah Papa sudah pensiun. Papa menetap kembali di Jakarta. Rumah agak sepi ketika kedua kakak perempuanku menikah dan pindah ke rumah sendiri. Tinggal aku dan Kak Dani, kakak laki-laki, satu-satunya, yang masih ikut orang tua. Tetapi sepertinya sebentar lagi Kak Dani juga akan pergi setelah menyelesaikan kuliah. Ia tertarik melanjutkan S2nya di luar.

Mulai saat kuliah inilah, aku mulai mendengar cerita-cerita aneh mengenai Rannu, dari Mama, Tante, Om atau keluarga lain yang datang ke rumah. Mulai dari cara berbusana Rannu, dandanannya, sering keluar rumah, suka bergaul sama orang-orang yang nggak jelas dan macam-macam lagi. Aku sendiri hanya mendengarkan, tidak menanggapi sama sekali. Bagiku, cerita itu baru benar jika aku sudah membuktikannya sendiri.

Semasa kuliah, aku sering asistensi ke rumah dosen. Kebetulan rumah Tante Elis ada dalam kompleks perumahan dosen, jadi biasanya setelah asistensi, aku mampir sebentar. Tetapi aku sama sekali tidak pernah menjumpai Rannu. Kala itu aku pikir, mungkin saja ia masih kuliah atau lagi ke rumah temannya. Setelah beberapa kali aku mampir dengan hari dan jam yang berbeda, aku tetap belum pernah menjumpainya. Aku berkesimpulan, mungkin saja cerita itu benar. Belum lagi cerita dari Tante Anna. Kupikir cerita itu pasti benar karena beliaulah yang sehari-hari bersamanya.

Pernah juga Rannu ke rumah, kebetulan ada keluarga yang akan hajatan. Aku terbelalak melihat dandanannya dan busananya yang menurutku tidak pantas untuk acara keluarga.

Setelah tinggal bersama di rumah kakak pertama Rannu, barulah aku membenarkan cerita-cerita yang dulu diceritakan oleh keluarga. Tiga bulan lebih aku bersamanya, karena aku masih menunggu panggilan kerja sambil freelance beberapa project, jadi Tante meminta aku menemani Rannu. Beberapa kebiasaannya sering membuat aku shock. Keluar kamar mandi hanya dengan underwear, padahal jarak kamar mandi ke kamar harus melewati ruang makan yang hanya dibatasi sekat dengan ruang tamu. Bisa dibayangkan jika ada tamu yang datang dan melihatnya. Aduhhhh.....!! Yang parah lagi jika tidur, juga hanya pakai underwear saja. Hal ini pernah saya protes. Rannu menurut, karena ia paling takut tidur sendirian di kamar.

Usia kami memang sebaya, tetapi pikirannya masih belum dewasa. Aku jadi berpikir, mungkin karena selama ini tidak ada yang membimbingnya. Om, Tante dan juga saudaranya hanya bisa menyalahkan tanpa mencoba memberikan pengertian. Tante Elis bekerja, sering bepergian, jadi tidak ada waktu memperhatikannya.

Selama bersamanya, aku banyak bertukar pikiran dengan Rannu. Kebiasaan buruknya tidak langsung aku cela tetapi mencoba memberitahu untuk merubahnya dengan cara halus. Misalnya jika kami akan keluar rumah, aku memberinya beberapa alternatif busana yang akan dipakainya. Aku juga suka memancing pendapatnya jika kami sedang menonton atau membaca. Ternyata pendapatnya boleh juga. Pastinya yang aku suka dari Rannu adalah masakannya. Semua yang dimasaknya selalu enak. Aku yakin yang pernah mencicipi masakannya pasti menyukainya. Mungkin satu hal ia tak mampu, tetapi hal lain dia bisa. Bukankah setiap orang punya kekurangan dan kelebihan kan?

*****

avataravatar
Next chapter