webnovel

Resign

"Kamu yakin untuk berhenti dari pekerjaan ini?"

Sebuah suara terdengar di ruang bernuansa modern tersebut. Seorang pria paruh baya yang memiliki rambut putih memandang pada seorang pemuda di seberang mejanya. Memperhatikan bagaiamana sang pemuda mengangguk tanpa keraguan dalam tatapan matanya. Mata pelangi yang pertama kali ia lihat itu kini telah berubah menjadi mata elang. Tajam dan mengerikan.

"Saya yakin seratus persen untuk keluar dari pekerjaan ini. Karena bagi saya, mendapatkan kesempatan bersenang-senang di masa muda jauh lebih penting dari mencari uang untuk masa tua," jawabnya dengan yakin. Sang pria mengangguk menyetujui ucapan tegas tersebut. Hampir 10 tahun dirinya bekerja bersama sang pemuda. Seperti seorang ayah yang membesarkan putranya sendiri. Dia paham betul bagaimana pemuda di hadapannya tumbuh dewasa tanpa bersenang-senang.

Remaja yang biasanya bebas dan melewati masa pubertas dengan penuh dilema, tak dirasakan oleh pemuda yang menjadi bawahannya. Rasanya pasti sangat menyedihkan berada di posisi tersebut. Dewasa karena keadaan jauh lebih memberatkan dibanding dewasa oleh kegagalan.

Pasha namanya. Seorang pemuda berusia 27 tahun yang memulai pekerjaannya di usia yang masih belia. Saat Pasha masuk ke unit kejahatan dia masih remaja berusia 17 tahun. Memiliki pengalaman kerja dua tahun dan telah putus sekolah sejak tamat SMP. Semua merasa kasihan dengan remaja yatim piatu tersebut, tapi tidak bisa menunjukkan rasa simpati karena Pasha sendiri selalu ceria dan membuat suasana di kantor menyenangkan.

Setiap mendapat jatah libur, Pasha akan datang ke kantor membawa minuman dan makanan ringan untuk menyemangati rekannya. Tidak ada yang bisa melupakan senyuman cerah Pasha kala itu. Mereka kebanyakan merasa menjadi seorang kakak bagi Pasha karena remaja itu bersikap manja. Manjanya seorang Pasha hanya sebatas menunjukkan wajah memelas agar mendapat waktu bermain game di komputer. Betapa menggemaskan Pasha saat itu.

Namun, begitu usianya menginjak 20 tahun, Pasha mulai berubah. Tuntutan pekerjaan membuatnya hidup serba kaku dan irit bicara. Tak jarang Pasha datang ke kantor dengan wajah kusut khas pemuda pengangguran. Punggung yang tertempel koyo dan jalan membungkuk layaknya pria tua.

Di usianya yang baru legal, Pasha mendapat kasus-kasus sulit yang membuatnya kacau. Tidak tidur berhari-hari, melewatka waktu makan, bahkan menahan diri untuk tidak ke kamar mandi. Itu wajar di bidang pekerjaan ini, tapi tetap terasa melelahkan untuk Pasha.

Kebosanan selalu membuat remaja yang baru dewasa itu melamun. Duduk terpekur memandang lantai di kantor seorang diri. Tidak peduli sekitarnya sudah sepi dan tinggal dia seorang diri. Semua ingin menghibur Pasha, tapi tidak mampu. Pekerjaan mereka memang sudah sulit sejak awal. Menyemangati diri sendiri terasa sulit, apalagi harus menyemangati orang lain.

"Baiklah kalau itu keputusanmu, semoga hubungan kita tidak putus setelah ini. Hubungi aku jika kamu senggang," ujar pria tersebut dan mengulas senyum.

Pasha membalas senyum tersebut dan berpamitan untuk pergi. Hari ini akan menjadi hari terakhirnya berada di kantor ini. Suasana di kantor akan ia ingat sampai kapan pun. Tetapi, pengalaman kerja di tempat ini tidak akan ia ingat. Rasa sakit jelas lebih kental dibanding rasa senang. Itu membuatnya sesak ketika mengingatnya.

Langkahnya menyita perhatian seisi kantor. Semua tahu Pasha telah keluar dari pekerjaan ini. Mereka juga memahami rasa suntuk pemuda tersebut menjalani hidup yang terlalu dikekang. Bahkan beberapa ada yang ingin memiliki keberanian seperti Pasha. Rasanya ingin keluar saja, tapi mereka tidak mengerti cara bebas dari gedung yang lebih tampak seperti sangkar ini.

Pasha menaiki lift dan memandang orang-orang yang pernah melihat keceriaannya. Lantas mengulas senyum lebar sebelum pintu lift tertutup. Ini kali terakhirnya menaiki lift di gedung ini.

Setelah keluar lift, Pasha melangkah keluar dari kantor. Menghirup udara luar yang terasa menyejukkan. Meski tidak sesegar udara pedesaan setidaknya udara di luar ruangan jauh lebih baik dibanding dalam ruang ber-ac.

Kaki jenjangnya melangkah lebar menyusuri jalan. Berhenti saat di depan halte bus untuk menunggu bus. Dia memiliki mobil, tapi itu hanya terparkir di parkiran tanpa pernah ia kemudikan. Mungkin setelah ini akan ia jual saja mobilnya.

Bus berhenti setelah dirinya duduk selama lima menit. Beberapa turun dari bus, beberapa masuk menaiki bus. Pasha duduk di kursi paling belakang. Memandang luar jendela dan mengulas senyum saat matanya melihat orang-orang berjalan cepat dengan setelan jas mereka. Menertawakan para pekerja yang tiap saat dikejar waktu.

Dia sekarang bebas. Tidak lagi kesusahan menjaga kesadarannya untuk bekerja. Uang yang ia dapatkan selama ini akhirnya bisa membuatnya keluar dari pekerjaannya. Disaat pemuda seusianya baru mencari kerja, dirinya malah keluar dari pekerjaan. Ini lucu sekaligus menyedihkan.

Lucu karena akhirnya dia bisa bertingkah layaknya abg yang menertawakan pekerja kantoran. Melihat betapa sibuk orang-orang yang bekerja di gedung pencakar langit, sementara ia sibuk duduk menikmati hari. Menyedihkan karena dirinya tidak bisa nongkrong bersama kawan-kawannya layaknya abg. Dia hanya lulusan SMP. Tidak ada teman yang benar-benar dekat dengannya yang bisa ia hubungi. Dirinya kesepian dan tidak mengerti bagaimana caranya bersenang-senang.

Andai saat itu ia tidak berhenti sekolah dan lanjut SMA, mungkin saja dia memiliki satu orang teman. Mengetahui bagaimana orang-orang pergi saat bosan. Mengerti cara pergi ke tempat karaoke dan memilih lagu sesuai suasana hati. Atau tahu permainan anak muda saat berkumpul.

Nyatanya, itu hanya sebuah penyesalan. Mungkin besok dia harus mengambil kelas agar memiliki ijazah SMA. Kemudian kuliah dengan jurusan yang ia gemari. Lantas pergi wawancara kerja menggunakan setelan jas dan bekerja kantoran.

Rencananya selalu bagus. Hanya saja semua yang ia rencanakan selalu saja tidak terlaksana. Apa orang lain juga begitu? Pasha selalu bertanya-tanya tentang kekhawatiran orang-orang. Mungkinkah orang lain juga khawatir ketinggalan bus? Atau takut celana mereka robek di tempat umum karena berjalan terlalu cepat? Pertanyaan itu tidak pernah mendapat jawaban karena tak pernah ia suarakan.

Setelah 15 menit duduk di kursi bus, akhirnya bus sampai ke tempat tujuannya. Pasha turun dan berjalan melewati area perumahan. Menuju rumah sederhana yang di halamannya terparkir sebuah mobil. Pasha selalu melewati mobilnya begitu saja, seolah itu bukan miliknya dan membuat para tetangga sesekali menanyakan siapa pemilik mobil yang sebenarnya.

Pasha masuk ke dalam rumahnya dan berbaring di atas kasur. Matanya terpejam menikmati kenyamanan kasur miliknya yang sudah enam tahun ini dibelinya. Lantas bibirnya mengulas senyum. Hari-hari yang melelahkan akhirnya telah ia tinggalkan. Rasanya seperti membuang hajat di pagi hari. Sangat lega dan membuat mood membaik seketika. Malam ini dia harus mengadakan pesta barbeque untuk merayakan hari kebebasannya ini.

Next chapter