5 #5

"Miss Vina are you okey ?" Salah satu siswa menghampiriku yang sedang sibuk memijit kepalaku. Sejak pagi aku sudah merasakan ada sesuatu yang tidak beres di tubuhku. Kepalaku terasa sedikit pusing, berat dan berdenyut nyeri setiap aku melakukan pergerakan. Cuaca yang ekstrim ditambah kesibukan melatih anak - anak untuk persiapan kegiatan yang bertemakan "For Love" belakangan ini membuat tubuhku gampang drop. Belum lagi sesak napas yang ku alami karena penyakit asma yang kuderita sejak kecil memperburuk kondisiku saat ini.

"Miss sakit ya ? Kini bertambah satu siswa lagi yang datang menghampiriku. Sorot mata bocah - bocah itu terlihat begitu mengkhawatirkan ku.

"Miss gak papa nak. Miss cuma sedikit pusing." Aku tersenyum lebar dan menampilkan wajah tegar agar mereka berhenti mengkhawatirkan ku.

"Oh. Ok." Jawab keduanya lalu kembali ke tempat duduknya masing - masing.

"Miss bohong ya ? Itu muka Miss pucat."

Aku yang sudah mulai memejamkan mataku merasakan pijitan kedua tanganku terkesiap mendengar suara yang begitu dekat di telingaku.

"Eh..."

Kedua bocah yang tadi sudah kembali ke tempat duduknya kini kembali berdiri di sampingku. Menatapku dengan penuh kekhawatiran. Belum lagi si bocah bertubuh gempal yang tanpa basa-basi sudah meletakkan kedua tangannya di pundakku.

"Miss, Randy pijat ya ?" Tanpa menunggu persetujuanku kedua tangannya sudah mulai beraksi menekan-nekan bagian pundakku.

"Kata Papi, pijatan Randy enak lho Miss.'' Aku tersenyum menyetujui. Meski pijatannya sejujurnya tidak berasa sedikitpun akan tetapi aku tidak mau membuatnya kecewa. Bagiku perhatian yang ditunjukkan nya itu lebih besar dari apapun.

"Ihhh...Randy gantian dong ! Kita juga mau pijat mis Vina tahu." Kedua bocah yang sudah terlebih dahulu menghampiriku berusaha untuk menggeser tubuh Randy yang  gempal itu.

"Sudah ya anak - anak tidak perlu berebut. Miss Vina sudah sembuh kok. Kan tadi sudah dipijit sama Randy. Sekarang ayo kembali ke tempat duduk masing-masing ! Sebentar lagi kita mau pulang, jadi ayo dirapikan barangnya masing-masing ! Pastikan tidak ada barang yang ketinggalan!" Ketiga bocah itu pun mengangguk dan langsung kembali ke tempat duduk masing - masing. Melihat jam sudah menunjukkan waktu pulang, aku pun turut merapikan perangkat kelas. Memasukkannya satu per satu ke dalam lemari yang sudah disediakan di kelas.

"Teman - teman jangan berisik ! Kasihan Miss Vina lagi sakit."  Dengan berkacak pinggang si tomboy yang duduk di barisan belakang memberikan komando pada teman - temannya yang sudah mulai berisik. Entah kenapa setiap mendengar kata pulang, anak-anak ini mendadak menjadi ceria dan bersemangat.

"Ishh, dasar nenek cerewet." Umpat salah satu anak laki - laki yang duduk di barisan paling belakang.

Senyum mengembang di wajahku melihat tingkah polos murid - muridku itu. Aku merasa sangat senang dengan semua perhatian mereka. Aku bersyukur bisa mengenal mereka. Bersama mereka aku bisa melupakan sejenak masalah dan kesedihanku.

"Miss cuma sedikit pusing kok." Aku mulai berdiri di tengah kelas dengan menahan rasa nyeri di kepalaku.

"Tapi sekarang Miss udah baikan kok karena udah diobatin sama pak dokter Randy. Makasih ya Randy." Aku tersenyum menggoda pria bertubuh gempal itu sehingga membuatnya memandangku dengan tersenyum malu - malu.

Kring.....kring

Akhirnya bel pertanda pelajaran telah usai berbunyi. Setelah semua anak pulang aku bergegas masuk ke ruang guru untuk mencari obat yang biasanya selalu kubawa - bawa ke mana pun pergi.

Hufff....

Aku mendengus kesal setelah mengobrak - abrik isi tasku, aku tak menemukan benda yang kucari. Sekarang aku baru ingat ternyata benda itu terletak di atas nakas yang berada di dalam kamar dan aku lupa memasukkannya ke dalam tasku setelah selesai menggunakannya pagi tadi.

Saat - saat sakit seperti ini hal yang pertama kuingat adalah mommy. Wanita itu tak akan pernah berhenti mengomeliku jika ketahuan aku sakit karena kelelahan. Walaupun setelah itu dia merawatku penuh kasih.

Aku ingat waktu itu aku berumur empat belas tahun. Saat itu aku masih kelas tiga SMP. Sebagai siswa kelas tiga yang sedang sibuk -sibuknya untuk persiapan ujian nasional. Dimulai dari diadakannya jam tambahan sepulang sekolah ditambah lagi kegiatan try out yang diadakan setiap sebulan sekali ketika saat pelaksanaan Ujian nasional sudah dekat. Aku yang tidak ingin mengecewakan kedua orangtuaku dan ingin melanjutkan ke sekolah favoritku harus belajar mati - matian. Aku tahu masuk ke sekolah itu tidak gampang. Butuh nilai yang tinggi. Waktu itu mommy mengingatkanku untuk jangan lupa makan dan beristirahat. "Jangan terlalu diporsir sayang ! Ingat kesehatan !" Kira - kira begitulah kalimat yang keluar dari bibir merahnya.

Aku yang notabene orang yang tetap gigih berjuang sampai mimpiku menjadi kenyataan sampai - sampai mengabaikan nasehat mommy. Kata orang - orang, aku mirip dengan daddy. Jika sudah menginginkan sesuatu maka akan berusaha sebisa mungkin sampai mimpi itu menjadi sebuah kenyataan.

Waktu ujian nasional yang sudah dekat membuatku harus belajar lebih keras. Seringkali aku terlarut dalam kegiatan mencoret - coret kertas yang berisi soal - soal itu hingga larut malam. Bahkan terkadang aku sampai lupa makan. Hingga pada akhirnya tubuhku mulai menunjukkan tanda tanda protes.

Sore itu aku hanya meringkuk di atas kasur. Meringis - ringis kecil karena rasa perih di bagian perutku. Bulir - bulir keringat mengalir di tubuhku karena menahan rasa sakit ini. Sekuat tenaga aku berjuang melawan rasa sakit yang baru pertama kali aku alami itu hingga aku menyerah. Kepalaku terasa berat mataku berkunang - kunang hingga tak terasa semuanya terasa gelap. Begitu aku sadar aku sudah berada di ruang serba putih dengan bau obat - obatan yang sangat khas.

"Ya ampun Nak akhirnya kamu bangun juga." Dapat kulihat kekhawatiran yang berujung rasa lega di wajah ibuku. Dengan perlahan aku berusaha menggerakkan kepalaku yang terasa berat untuk mencerna apa yang telah terjadi padaku.

"Kok Vina bisa ada di sini, Mom ?" Tanyaku begitu menyadari bahwa ruangan tempatku berada adalah ruangan sebuah rumah sakit. Hal itu terlihat dari beberapa peralatan yang tersedia di dalamnya seperti tiang infus.

"Jangan buat Mom khawatir lagi Nak! Kamu gak tau gimana khawatirnya Mom waktu lihat kamu gak sadarkan diri begitu." Wajah ibuku berubah sendu. Matanya pun berkaca - kaca. Aku yakin sedikit lagi air yang sudah mengumpul di sudut mata itu sedikit lagi akan tumpah.

Sekarang aku baru sadar bahwa belum satu pun makanan masuk ke dalam tubuhku sejak terakhir kali sarapan pagi tadi. Itu pun hanya segelas susu dan sepotong roti. Pantas saja terdengar bunyi - bunyian khas dari dalam perutku. Suara khas cacing - cacing yang menuntut jatahnya.

"Kamu telat makan lagi ya ? "

"Udah Daddy bilang kalau gak bisa buat bangga orangtua minimal jangan nyusahin !" Suara berat terdengar bagai pisau yang menancap di jantungku. Sakit. Meski aku sudah terbiasa mendengar ucapan tajam dari pria yang notabene adalah ayahku itu entah kenapa aku masih merasakan sakit setiap mendengarnya.

"Dad, udah deh gak usah mulai. Anaknya sakit kok malah dimarahin." ujar mom memberi peringatan keras kepada dad yang berujung perdebatan keduanya. Selalu seperti itu. Setiap aku melakukan kesalahan dan dad memarahiku mom akan langsung pasang badan. Itulah sebabnya setiap kali aku melakukan sesuatu yang tidak dad sukai, daddy pasti akan menyalahkan mom karena menurut beliau mom terlalu memanjakanku.

****

avataravatar
Next chapter