19 #19

"Ya ampun Vina ! Cok kau tengok dulu keluar ! Udah tinggi kali lho matahari ! Mana ada anak gadis kayak kau inilah ? Jam segini asik bantal itu aja kau peluk - peluk."

Gendang telingaku rasanya hampir mau pecah mendengar ocehan Asni yang mirip ocehan mamak - mamak yang tinggal di kontrakan sebelah. Aku yakin suara lantangnya itu tidak hanya membangunkanku tapi juga membangunkan tetangga sebelah. Beginilah Asni. Pada saat dia sedang marah ataupun kesal suaranya mendadak melengking. Dan satu lagi, sahabatku itu selalu tanpa sadar akan mengeluarkan logat Bataknya. Seperti yang baru saja terjadi.

Dengan malas aku menoleh Asni yang sibuk menyibak gorden kamar. Cahaya yang masih malu - malu masuk melalui jendela menunjukkan bahwa Asni sedang membual.

"Apa sih, As ? Pagi - pagi udah ngoceh aja. Mumpung hari libur, ya nikmati hiduplah dikit. Lagian ini juga baru jam enam." Aku menatapnya jengah tanpa niat bangkit dari tempat tidur. Tubuhku masih begitu nyaman berbaring di ranjang yang sama sekali tidak empuk ini.

Kalian pasti tahu apa yang kurasakan saat ini. Saat dimana seseorang tiba - tiba seenaknya datang menghancurkan rencana indah yang sudah sekian lama kau susun. Rasanya seperti ingin menelan orang itu hidup - hidup untuk melampiaskan kekesalan ini.

Sejak beberapa hari yang lalu aku memang sudah membuat rencana untuk menikmati weekend ini. Bangun siang, maraton membaca komik, memasak mie gomak merupakan tiga dari sekian banyak list yang sudah kubuat untu mengisi weekend ini.

Rencana tinggallah rencana. Semuanya hancur hanya karena kehadiran orang lain yang tiba - tiba datang menyusup lalu mengacaukan segalanya. Rencana bangun siang gagal sudah ketika suara teriakan Asni menggema di dalam kamar yang berukuran mungil ini. Mataku yang tadinya masih setia terpejam sekarang mendadak segar. Sepertinya teriakan Asni yang menggelegar itu telah berhasil menarik kesadaranku.

"Buruan mandi ! Katanya lo mau masakin gue mie gomak. Kapan matengnya kalau jam segini aja lo belum ke pasar ? Keburu cacing di dalam perut gue kurus."

Oh astaga Tuhanku. Bunuh orang dosa gak sih ? Rasanya aku ingin meneriaki Asni saat ini juga. Sekarang aku paham mengapa ia repot - repot membangunkanku. Hanya karena semangkuk mie gomak. Salah satu makanan khas Batak yang merupakan makanan favorit Asni.

Salahku juga telah menjanjikan sesuatu kepadanya padahal aku tahu bahwa Asni tipikal orang dewasa yang kelakuannya terkadang mirip anak kecil. Aku tak menyangka jika ia akan seheboh ini.  Sedari dulu sahabatku itu memang tidak pernah berubah. Jika ada orang yang sudah menjanjikannya sesuatu maka ia tak akan berhenti mencecar orang itu sampai apa yang dijanjikan menjadi kenyataan.

"Ya elah, gara - gara mie gomak doang lo bangunin gue sampe heboh begitu ? Kayak gak ada waktu aja ! Dasar ratu drama !" Aku mendengus kesal menendang selimut sehingga terjatuh ke lantai. Bukannya merasa bersalah karena telah mengusik kenyamananku, sahabatku itu malah tersenyum konyol. Cengiran di wajahnya yang menampilkan gigi - gigi ratanya membuatku ingin mencabik - cabik wajahnya saat itu juga.

"Minggir gue mau mandi !" Aku pun berjalan dengan kaki menghentak setelah terlebih dahulu menyenggol lengan Asni.

Hanya butuh lima belas menit aku membersihkan tubuhku. Waktu mandi yang cukup kilat bagi seorang Vina Laviola yang terkenal sangat lama jika berurusan dengan mandi. Moodku yang sudah hancur membuatku malas untuk melakukan sesi - sesi gosok menggosok yang lebih detail lagi.

"Kemana Asni? Dasar anak itu! Sudah mengusik tidurku sekarang pergi entah kemana."

Tak henti - hentinya mulutkku menggerutu seiring langkah kakiku menuju dapur. Tenggorokanku terasa kering karena pagi tadi aku belum sempat meminum air putih. Minum air putih saat bangun pagi merupakan salah satu kebiasaan yang aku lakukan sejak mulai kuliah di jurusan kedokteran.

Suara berisik yang berasal dari luar rumah menarik intensiku untuk segera mengecek apa yang sebenarnya terjadi.

"Randy ? Sir Junsen ?"

Dahiku mengernyit heran saat pintu mulai terbuka manik mataku menangkap dua orang yang sedang sibuk berbicara dengan Asni. Dua orang yang tidak termasuk dalam daftar orang - orang yang akan berkunjung ke rumah kontrakan sederhana ini. Ya, minimal dalam waktu dekat ini. Entah apa kepentingan dari dua orang itu.

"Mami..."

Seruan Randy saat melihatku membuat Asni dan Junsen sontak memutar badan menatapku dengan tatapan heran.

"Mami ?" tanya Asni dan Junsen bersamaan dengan tatapan menuntut jawaban dariku saat itu juga.

Aku menggedikkan bahuku acuh lalu menyambut Randy yang berlari menghambur ke pelukanku.

"Kangen..."

"Mami juga kangen kamu, Sayang."

Seperti janjiku kemarin, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menyayangi anak yang sekarang sedang berada di pelukanku ini. Salah satu caranya adalah menghadirkan sosok ibu untuk Randy melalui diriku agar anak itu tidak merasa sedih lagi. Entah kenapa dari sekian banyak anak kecil yang kutemui hanya Randy yang membuatku bisa seyakin ini dalam mengambil keputusan. Tak ada keraguan sedikitpun ketika aku memutuskan untuk memperlakukan Randy selayaknya anak kandungku. Tak peduli jika nanti ayah anak itu merasa keberatan atau tidak.

"Wait !" Aku mendorong lembut tubuh Randy setelah beberapa detik ia berada di pelukanku. Kedua tanganku bergerak menangkup wajahnya yang terlihat menggemaskan. "Kamu kok bisa ada di sini ? Randy sama siapa ? Kok tau rumah Mami ?" Aku mencecarnya dengan pertanyaan - pertanyaan yang sedari tadi bercokol di otakku.

Akhirnya meluncurlah cerita dari bibir mungil itu. Pagi - pagi benar anak itu sudah melakukan drama yang membuat repot seisi rumah. Bagaimana tidak ? Anak itu tak berhenti menangis dan meminta diantarkan ke rumah seseorang yang ia panggil mami. Padahal tak seorangpun di rumah itu yang paham siapa orang yang dimaksud Randy. Yang mereka ketahui Randy itu tidak mempunyai ibu. Bertanya kepada Randy pun percuma karena bukannya menjawab, anak itu justru malah menangis semakin keras. Drama pun berakhir setelah suster yang merawat Randy sedari Randy berumur satu bulan menelpon ayah dari anak itu untuk mencari informasi. Beruntung ayah anak itu mempunyai jawaban yang akhirnya menyelesaikan drama di pagi hari itu.

Berdasarkan persetujuan sang ayah akhirnya Randy pun berangkat ke rumahku dengan diantar oleh supir keluarga itu. Tapi satu yang janggal dari cerita yang meluncur dari bibir mungil Randy, bagaimana bisa ayahnya tahu alamat rumah ini padahal aku tidak pernah memberikan alamat rumah ini kepadanya.

"Terus Pak Supirnya mana?"

Randy menunjuk ke sebuah mobil yang terparkir di sebrang jalan. Aku hanya bisa menghela nafas dalam menatap seseorang yang baru keluar dari mobil tersebut. Pria yang kukenal sebagai supir keluarga Randy tersenyum ramah menyapaku dari jauh.

"Vin, ajak Randy masuk ke dalam ! Tuh lihat mamak - mamak rempong udah ngelirik - lirik manja !"

Aku pun mengangguk lalu bangkit berdiri hendak menuntun Randy masuk. Tapi tunggu sebentar ! Sepertinya aku melupakan sesuatu. Oh astaga. Aku menepuk dahiku lalu segera menoleh. "Oh iya, saya lupa ada Sir Junsen juga." Aku tersenyum konyol. "Sir Junsen kok bisa ada di sini ? Ada urusan sama Asni atau..."

"Sama kamu." sela Junsen cepat tak mengijinkan ku menyelesaikan kalimatku.

"Saya ?" Dahiku mengernyit. Aku sama sekali tak merasa memiliki urusan yang mengharuskanku bertemu dengan pria ini di luar tempat kerja.

"Dibilangin lanjutin di dalam masih aja ya ! Susah amat sih dibilangin ! Lo mau jadi bahan gosip orang se RT ?Sir, ayo masuk !"

Dengan mata melotot Asni mengomeli ku lalu mengajak Junsen masuk. Andai tidak ada Randy yang sedang mengamit lenganku dengan erat seperti sedang ketakutan sudah kupastikan akan membalas perkataan Asni. Terkadang mulut lemes Asni memang tak terkontrol. Aku tak masalah dia mengomeliku. Yang membuatku kesal adalah nada suara yang berubah tinggi serta tatapannya yang tajam itu telah membuat Randy ketakutan. Sudah kubilang kan kalau aku akan melindungi anak ini seperti melindungi anak kandungku sendiri ? Siapapun yang membuat anak ini tidak nyaman akan berurusan denganku. Katakan aku berlebihan maka aku akan dengan cepat menjawab. Biarin aja.

***

avataravatar
Next chapter