18 #18

Bunyi bel panjang pertanda kegiatan pembelajaran telah usai adalah salah satu hal yang paling ditunggu - tunggu oleh siswa SD Mutiara termasuk diriku. Bel yang menandakan bahwa tugasku dalam mendidik anak - anak kelas 1C dalam seminggu telah usia.

Binar bahagia sudah mulai terpancar di wajah mereka sejak tiga puluh menit yang lalu. Aku yakin selama tiga puluh menit jam pelajaran terakhir berlangsung sebagian besar dari mereka sudah mulai tidak fokus. Tidak jarang aku mendapati mereka melirik ke jarum dinding yang berada di tengah - tengah ruangan.

"Have a good weekend, my kids. See you on Monday.

"See you, Miss," sahut mereka dengan begitu bersemangat. Beberapa diantara mereka bahkan langsung menggendong tasnya sesaat setelah aku mengucapkan salam penutup.

Satu persatu anak - anak yang sudah dijemput mulai meninggalkan area sekolah. Sekarang tinggal beberapa anak yang masih tersisa di dalam ruangan termasuk Randy.

"Randy, ayo Nak ! Tuh Pak supir udah jemput," seruku begitu melihat supir yang biasa mengantar jemput Randy muncul di depan pintu kelas.

Sudah beberapa hari ini bocah bertubuh tambun itu memang tidak diantar jemput oleh ayahnya karena pria itu sedang ada pekerjaan di luar kota. Menurut Randy, ayahnya itu memang sering bepergian untuk urusan pekerjaan dan meninggalkannya dalam waktu yang lama. Bahkan terkadang bisa sampai berbulan - bulan. Dan dalam kurun waktu itu semua tugas untuk mengurus Randy dibebankan kepada suster dan juga supir keluarga itu. Miris bukan ? Terkadang aku bertanya mengapa pria itu tidak segera menikah lagi supaya setiap kali dia pergi ke luar kota ataupun keluar negri untuk urusan pekerjaan, Randy tidak lagi perlu diurus oleh suster.

"Why ?"

Mataku memicing melihat reaksi Randy yang terlihat ogah - ogahan menggendong tasnya.

"Miss..." Sahutnya dengan muka memelas meminta perhatian.

"Ada apa ? Eh, tunggu sebentar !"

Aku meninggalkan Randy yang kembali mendaratkan tubuhnya di kursi dengan tak bersemangat. Helaan nafas kasar dan wajahnya yang ditekuk membuatku yakin bahwa ada hal yang mengganggu pikirannya. Moodnya yang begitu buruk belakangan ini membuatku sedikit khawatir. Anak itu menjadi lebih irit berbicara dan juga sering melamun. Pagi tadi, anak itu sempat menangis saat mengikuti pelajaran agama. Hanya saja aku belum punya waktu untuk mencari tahu penyebab Randy menangis di kelas pada jam pelajaran agama pagi tadi. Miss Risma selaku guru agama di kelas 1C hanya memberitahukan bahwa anak itu menangis di dalam kelas tanpa menjelaskan lebih rinci duduk persoalan sebenarnya.

"Siang Pak, maaf bisa tunggu sebentar ! Saya ada sedikit urusan dengan Randy." ujarku sembari tersenyum ramah.

"Siang Miss. Oh, ya udah gak papa Miss. Silahkan kalau gitu ! Saya tunggu di depan ya ! Nanti kalau udah selesai, Randy suruh nyamperin saya aja Miss." balas pria itu tak kalah ramah.

"Makasih banyak Pak. Sory jadi ganggu waktunya."

"Santai aja Miss."

Setelah pria itu berlalu, aku pun menghampiri Randy. Sekarang anak itu sudah meletakkan kepalanya di meja dengan kedua lengan dijadiin bantal.

"Hey jagoan, what happened with you?" Aku membungkuk mensejajarkan tubuhku dengan meja tempat Randy merebahkan kepalanya. Salah satu tanganku bergerak mengelus kepalanya. Helaan nafas berat lagi - lagi keluar dari mulutnya. Wajahnya mendadak sendu. Kedua manik matanya mulai berembun.

"Why? You cry baby?" Aku tersentak saat tiba - tiba Randy menegakkan tubuhnya dan langsung menghambur ke pelukanku. Bahkan beberapa teman sekelas Randy yang melihat kejadian itupun mulai menghampiri dan langsung mencecar Randy dengan beragam pertanyaan.

"Hey girl, no tidak sekarang ya. Ayo, kalian main dulu ya ! Biar Miss yang  bicara sama Randy. Bisa ?"

Setelah memberi beberapa kalimat penyemangat seperti 'jangan menangis Randy, anak laki - laki gak boleh nangis', anak - anak yang semuanya berjenis kelamin perempuan itupun satu persatu meninggalkan kami berdua.

Agar nyaman dalam berbicara, aku menarik sebuah kursi, meletakkannya di samping Randy. Setelah itu aku mendaratkan tubuhku di kursi tersebut. Aku duduk menyamping agar dapat melihat wajah lusuhnya.

Setelah memastikan bahwa tidak akan ada yang menganggu, aku menarik tangan Randy lalu menelusupkan jemariku di sela - sela jemarinya. Dengan lembut aku mulai menatap matanya seraya berkata.

"Mami boleh tau gak apa yang buat jagoan Mami ini bersedih?"

Dapat kulihat keterkejutan di wajah Randy saat aku menyebut diriku Mami bukan Miss seperti biasa. Namun itu hanya berlangsung dalam sesaat saja karena setelahnya matanya kembali berbinar dan dengan semangat ia mengangguk. Aku memang sengaja memposisikan diriku sebagai seorang ibu yang sedang berbicara dengan puteranya bukan sebagai seorang guru dan murid dalam menangani masalah ini. Persetan dengan kedepannya yang terpenting sekarang anak itu mau membagikan apa yang menjadi beban pikirannya.

"Randy kangen sama Papi, Mi." ujarnya membuka pembicaraan. Dengan suara bergetar dan tatapan yang sarat akan kerinduan Randy menatap wajahku. Aku paham betul apa yang dirasakan oleh Randy. Sebagai orangtua satu - satunya yang dimiliki anak itu, tentu saja ia sangat dekat dengan ayahnya. Jadi tidak usah heran jika Randy sangat merindukan sosok ayahnya itu. Lagipula anak mana yang tidak merindukan orangtuanya yang sudah hampir seminggu tidak ia temui ? Meski hubunganku dengan Daddy tidaklah baik, aku pun selalu merindukan Dad setiap kali Daddy pergi jauh untuk mengurus klien yang menggunakan jasanya.

"Jadi karena itu Randy menangis waktu pelajaran agama tadi?"

Gelengan kepalanya membuatku bingung. Aku pikir karena begitu merindukan ayahnya, Randy jadi menangis. Namun, ternyata dugaanku salah.

"Lalu?"

Cerita yang meluncur dari mulut anak itu kemudian membuatku tak bisa berkata - kata. Aku merasa gagal menjadi guru karena tak tahu bahwa salah satu muridku sudah menjadi korban bulyan teman sekelasnya. Menurut penuturan Randy, beberapa anak sering mengatainya 'gajah bengkak'. Bagi sebagian anak mungkin itu hanya candaan belaka dan tidak berdampak apa - apa. Namun, berbeda dengan Randy. Sejak awal anak itu sudah bermasalah dengan kepercayaan dirinya. Tentu saja kata - kata seperti ini bisa membuatnya down.

"Hey Boy, Mami udah pernah bilang belum kalau Mami suka banget sama pipi Randy yang gembul ini. Gemesin tau gak sih?" Alih - alih memberi nasihat aku justru tersenyum lembut sembari menoel - noel pipi anak itu.

"Belum ya?" Anak itu pun menggeleng. Kedua matanya menatapku bingung. Mungkin ia sedang bingung apa kolerasi antara masalah yang ia hadapi dengan apa yang aku sukai.

Aku tersenyum lembut. "Nah, sekarang Randy udah tahu kan kalau Mami suka banget sama pipi gembulnya kamu. Gemesin banget. Pengen Mami uyel - uyel terus." Aku terkekeh sambil mengusek pipinya dengan lembut. Tawa yang terdengar kemudian membuatku yakin bahwa mood Randy sudah mulai membaik. Sekarang saatnya aku mulai masuk lebih jauh lagi.

"Udah ada yang bilang belum kalau Randy itu ganteng ? Kalau belum, sekarang kamu harus tahu bahwa kamu itu ganteng banget." Rona kemerahan yang muncul seiring dengan gerak salah tingkah Randy membuatku mengulum senyum.

"Tapi kata teman - teman, Randy itu gajah bengkak Mi. Itu kan karena Randy gemuk banget. Randy malu." matanya kembali mendung. Sepertinya ini benar - benar masalah serius yang harus segera ditangani. Jika dibiarkan terus menerus rasa percaya diri anak ini bisa menghilang.

"Ishh ngapain malu? Malu itu kalau kamu gak pakai baju atau kalau kamu melakukan sesuatu yang salah."

"Tapi kalau Randy mau lebih sehat dan lebih ganteng, gak ada salahnya sekarang Randy mulai ngurangin berat badan." Randy terlihat memicingkan matanya seakan sedang memikirkan apa yang ku ucapkan barusan.

"Kalau Randy mau, Mami bisa bantu supaya badan kamu sedikit mengecil tapi tetap sehat." ujarku sambil menekankan kata sedikit sambil menggerakkan jempol dan telunjukku yang disambut tawa olehnya.

"Mami serius mau bantu Randy?" Anak itu menatapku penuh minat. Tanpa keraguan sedikitpun aku menganggukkan kepalaku.

"Randy sayang Mami." Anak itu tersenyum senang kembali menghambur ke pelukanku.

"Jadi sekarang udah gak sedih lagi kan ?" tanyaku setelah mengurai dekapan kami. Entah apa yang terjadi binar di matanya kembali meredup.

"Kenapa, Sayang ?"

"Mi, enak ya kalau punya Mami?" Mataku menilik manik kecoklatan miliknya. Mencoba menyelami apa sebenarnya yang ingin ia sampaikan melalui tatapan mata itu. Aku tahu mata tak pernah bohong.

"Tadi pas pelajaran agama, Miss Risma suruh ceritain tentang Mami. Randy gak bisa buat ceritanya, Mi. Randy bingung. Randy kan gak pernah tahu Mami itu seperti apa. Wajahnya aja Randy gak tau. Jadi ya, Randy nangis aja."

Hatiku bergetar mendengar penuturan Randy yang meski terdengar santai tapi tersirat kesedihan yang tiada terkira di dalamnya. Air mataku menggenang seketika di pelupuk mataku tanpa bisa kutahan agar tidak keluar. Aku tak peduli bagaimana pandangan Randy padaku setelah ini yang kutahu adalah aku harus memeluk anak itu erat. Biar saja setelah ini Randy mengataiku cengeng aku tak peduli. Aku ingin memberikannya kekuatan dan kehangatan seorang ibu yang selama ini tak pernah ia peroleh dari pelukanku. Aku berjanji di dalam hatiku mulai saat ini aku akan menyayangi anak ini dengan setulus hatiku. Memperlakukannya seperti anak kandungku agar ia bisa merasakan sesuatu yang begitu ia inginkan selama ini. Sebagai seorang anak yang tak pernah mendapatkan kasih sayang dari ayahku membuatku lebih peka akan apa yang ia rasakan saat ini. Cukup aku saja yang merasakan kehilangan figur yang sangat kuinginkan kehadirannya jangan Randy.

***

avataravatar
Next chapter