17 #17

Duhai semesta tolong sampaikan salam rinduku pada lelaki nan jauh di sana. Lelaki yang merupakan cinta pertamaku. Lelaki yang hampir menggunakan setiap kesempatan untuk menyerangku dengan kata - kata ajaib menggores hati. Berbulan - bulan jauh darinya telingaku terasa tentram. Namun, entah kenapa satu sisi dalam diriku begitu merindukan alunan melodi yang keluar dari mulut pedas itu.

Munafik jika kukatakan kalau aku tak pernah merasakan sakit hati setiap kali kalimat - kalimat pedas itu meluncur bebas dari mulutnya saat berhadapan denganku. Asal kalian tahu saja, hampir di semua kesempatan pria itu selalu menyakiti hatiku. Entah melalui kata - kata ataupun melalui tindakannya.

Apapun yang kulakukan selalu salah di matanya. Bagaimana mungkin aku tidak merasakan sakit jika hampir setiap kesempatan ia gunakan untuk menghardikku ? Sekuat apapun aku pasti pernah merasa jengah dan tak sanggup lagi menahan setiap cercaan yang dilontarkannya. Bahkan saking tidak sanggup menahan segala hinaan yang keluar dari mulutnya, aku pernah sampai berpikir untuk mengakhiri hidupku. Beruntung, aku memiliki Mommy yang selalu ada untukku. Menguatkanku dikala aku lemah. Menghiburku dengan untaian kata menyejukkan hati. Mengingatkanku bahwa Daddy tak pernah berniat menyakitiku dengan sengaja. Meyakinkanku bahwa Daddy sedang kehilangan arah dan terjebak dalam sebuah lingkaran obsesi yang menyesatkan.

Kalimat - kalimat pedas yang ia lontarkan serta tatapan mata yang selalu memandangku sinis, ibarat sebuah senjata yang ia gunakan untuk membentengi dirinya yang enggan keluar dari lingkaran tersebut. Entah apa yang terjadi sehingga ia enggan mengakui bahwa jauh di lubuk hatinya yang terdalam ia teramat menyayangiku.

Jangan tanyakan mengapa aku bisa mengatakan demikian ! Karena jika kalian menanyakan hal itu maka rahasia yang selama ini ku pendam pasti akan terbongkar. Tapi tak apa, kali ini aku akan membagikan secuil rahasiaku. Semoga saja Daddy tidak akan pernah mengetahui hal ini karena jika itu terjadi aku tak yakin akan nasibku. Matanya yang besar itu pasti akan menatapku berang serta mulutnya yang tajam itu pasti akan langsung menghardikku.

Dahulu. Saat aku masih kanak - kanak, hampir setiap malam aku akan berpura - pura tidur saat Daddy masuk ke dalam kamarku. Hal itu kulakukan hingga aku beranjak remaja. Karena setelah remaja aku berusaha mencari perhatian Daddy melalui cara lain yang suatu saat akan ku ceritakan kepada kalian. Beruntung aksi pura - pura tidur itu tidak diketahui Daddy hingga kini. Entah karena aktingku yang benar - benar meyakinkan atau Daddy yang tidak peka, aku tidak tahu. Jika aksiku tidak ketahuan karena aktingku yang bagus, itu artinya aku sudah layak mendapatkan piagam penghargaan.

Kalian tahu apa yang kudapatkan dengan berpura - pura tidur saat Daddy masuk ke dalam kamarku ? Ya, tentu saja sesuatu hal yang tidak akan kudapatkan bila aku tidak sedang tidur.

Setiap malam Daddy masuk ke kamarku bak seorang pencuri. Membuka pintu dengan suara seminim mungkin agar penghuni kamar tidak mengetahui aksinya. Setelah itu Daddy akan duduk di samping ranjangku lalu tak lama kemudian tangannya mulai bergerak lembut mengelus suraiku. Setelah beberapa menit Daddy akan mengecup keningku seraya mengucapkan kata maaf dengan suara bergetar. Entah maaf untuk apa aku pun tak tahu pasti. Mungkin sebagai bentuk penyesalan karena dia selalu menyakitiku. Tak jarang juga Daddy hanya berdiri di samping ranjang selama beberapa menit lalu keluar dari kamarku tanpa melakukan apapun.

Orang bilang aku adalah cerminan dari Daddy. Bukan hanya dari segi wajah tapi juga dari segi watak. Rambutku berwarna hitam kecoklatan. Sedikit bergelombang di bagian bawah. Bisa dikatakan ikal. Alisku tebal bak semut beriring. Hidungku tidak mancung tapi tidak juga pesek. Ya, menurutku, hidungku ini sudah sesuai proporsi.Warna kulitku putih bersih. Bibirku tipis. Semua itu merupakan perpaduan dari gen Daddy dan Mommy.

Watakku keras. Sekali A tetap A. Tidak akan mudah untuk menggoyahkan pendirianku. Dan satu lagi yang merupakan bukti nyata bahwa aku cerminan Daddy. Jika aku menginginkan sesuatu, sesusah apapun rintangan yang akan aku hadapi, aku akan berusaha mewujudkannya. Oleh karena itu banyak yang bilang kalau aku itu adalah daddy versi perempuan.

Sama seperti Daddy yang teguh pada pendiriannya untuk menikahi wanita yang ia cintai, begitu juga dengan diriku yang bersikeras menentang perjodohan ini. Sekeras apa pun Daddy memaksaku, sekeras itu juga aku akan menolak. Jangan tanyakan alasannya ! Aku yakin kalian pasti sudah tahu bukan ? Ya, sejak awal sudah kukatakan bahwa aku benci perjodohan. Urusan hati biarlah aku yang menentukan karena aku yang akan menjalani seumur hidupku. Bukan Daddy atau siapa pun yang terlibat dalam konspirasi perjodohan ini. Lagipula ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya atau zaman kolonial. Zaman dimana wanita tidak bebas menentukan jalan hidupnya sendiri.

Melihat pria itu melangkah riang bersama dengan putera semata wayangnya saat memasuki gerbang sekolah pagi ini membuatku teringat pada Daddy. Sudut bibirku melengkung membentuk senyum kecut kala mengingat masa kecilku. Masa - masa dimana aku begitu menginginkan hal yang dilakukan ayah dan anak itu.

Dahulu saat aku masih duduk di bangku Taman kanak - kanak, hampir setiap hari aku merengek agar aku bisa merasakan seperti yang dirasakan anak - anak lainnya. Apalagi kalau bukan keinginan diantar oleh Daddy ke sekolah. Aku ingin menunjukkan kepada dunia bahwa aku memiliki Daddy yang hebat dan tampan. Sebuah keinginan sederhana yang berujung makian dan pertengkaran antara Mommy dan Daddy. Pria yang berstatus ayahku itu tak akan segan - segan menghardikku dengan kata - kata kasarnya setiap kali aku merengek memintanya mengantarku ke sekolah.

"Jadi orang gak usah manja. Ke sekolah aja minta dianterin. Kau itu bukan puteri raja, jadi gak usah sok banyak gaya." Ujarnya kala itu

Seiring bertambahnya usiaku aku mulai sadar bahwa perlakuan Daddy padaku selama ini bukan karena ia sedang lelah seperti yang selalu Mommy katakan. Akan tetapi karena memang Daddy tidak menyukaiku. Itu sebabnya ia selalu menjaga jarak dariku. Selalu marah ketika aku meminta sesuatu kepadanya.

Perlahan aku juga mulai menyadari bahwa akulah sumber kesedihan Mommy. Akulah penyebab tidak adanya kedamaian di tengah - tengah keluargaku. Akulah penyebab Mommy menangis. Aku jugalah penyebab kebencian tumbuh di hati kakak kandungku. Ya, semua karena kehadiranku. Untuk itulah sejak aku duduk di bangku sekolah dasar, aku mulai berusaha mengubur keinginanku itu dalam - dalam karena tak ingin menjadi sumber kehancuran dalam keluargaku. Tidak hanya sampai disitu. Aku juga mulai membatasi diriku agar tidak terlalu banyak bersinggungan dengan Daddy karena tak mau ia semakin membenciku. Hidupku hanya fokus untuk belajar dan membuat prestasi sebanyak mungkin. Berharap dengan demikian Daddy akan beralih menyukaiku. Aku juga mulai menarik diri dari keluarga besarku terutama dari pihak Daddy. Jadi jangan heran apabila aku tak banyak mengenal kerabat dari pihak Daddy termasuk pria yang akan dijodohkan denganku itu.

"Ganteng ya, Vin?"

Aku melirik Asni dengan malas. Namun, mataku langsung memicing kala ekor mataku menangkap senyum Asni yang terlihat aneh bagiku.

"Siapa? Sir Junsen?" tanyaku saat menyadari arah pandangannya. Di depan sana pria berdarah Tionghoa itu sedang sibuk menyiapkan pengeras suara yang akan dipakai dalam kegiatan senam bersama. Ya, saat ini kami tengah berada di lapangan sekolah. Menjalankan tugas piket menyambut anak - anak. Secara kebetulan aku dan Asni mendapatkan jadwal piket yang sama, padahal kami mengajar di kelas yang berbeda. Aku mengajar di kelas 1 sedangkan Asni mengajar di kelas 5.

"Bukan. Arah jam satu !" ujarnya memberi perintah tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. Aku yakin saat ini pandangannya tertuju kepada pria yang mengenakan kaos olahraga berwarna merah. Tapi tunggu ! Arah jam satu, itu artinya ?

Senyum langsung mengembang di wajahku saat menyadari siapa orang yang dimaksud oleh sahabatku itu. Orang yang sama yang telah mengusik pandangan dan pikiranku sedari tadi. Entah sadar atau tidak, aku merasakan kepalaku mengangguk.

"Dasar! Tau aja lo mana barang bagus." Aku mendengus sembari menyenggol lengannya yang dibalas dengan kekehan ringan olehnya.

"Mataku itu peka kalau lihat barang bagus, Vin." ujar Asni sambil membusungkan dada. Tanganku rasanya gatal ingin menggetok kepala sahabatku itu agar tidak terlalu jumawa.

"Eh, tapi btw Sir Junsen juga gak kalah oke."

"Maruk lo."

Lagi - lagi Asni tertawa ringan.

"Eh, doi senyum Vin. Ya ampun manisnya. Pengen rasanya ku bungkus lalu bawa pulang."

Aku bergidik ngeri melihat Asni yang mendadak alay seperti anak ABG yang baru mengenal cinta. Meski kuakui senyuman pria yang sedang melangkah ke arahku itu memang manis tapi aku tidak sealay itu.

"Tobat lo ! Itu orang udah ada buntutnya." seruku mengingatkan Asni seraya tersenyum ramah kepada beberapa orangtua dan murid yang lewat di depan kami.

"Yang penting gak ada bininya. Jadi bebas dong. Lagian ya, gue tuh cuman sekedar kagum doang gak lebih. Gue sadar diri kok Vin. Ia kali doi mau sama gue yang gembel begini." Tawaku sontak pecah mendengar penuturan Asni. Sebagai sahabatnya aku paham betul yang dimaksud oleh Asni. Gembel yang ia maksud adalah gembel dari segi wajah. Kulitnya yang gelap serta jerawat yang tumbuh di wajahnya membuat Asni selalu mengatakan bahwa ia seperti gembel. Entah apa kaitannya aku tak paham.

***

avataravatar
Next chapter