14 #14

Sejuknya udara khas pegunungan sudah mulai terasa sejak bus memasuki kawasan Puncak Bogor. Kumpulan pepohonan rimbun nan hijau menyegarkan mata adalah salah satu pemandangan yang akrab menyapa penglihatan begitu memasuki kawasan wisata Taman Safari. Satu persatu bus berwarna biru putih yang digunakan SD Mutiara pun sudah akhirnya tiba. Berbaris rapi bak anak - anak yang sedang melakukan kegiatan baris berbaris.

"Miss Vina duduk aja ! Biar saya yang turun ke bawah. Kasihan Miss Vina udah capek dari tadi." ujar Junsen saat aku berniat turun ke bawah menghampiri kepala sekolah dan rekan kerjaku yang lain.

Sejenak aku tertegun. Perhatiaan sederhana dari pria itu membuatku tersentuh. Aku melihat ketulusan dari wajahnya saat mengucapkan hal itu. 

"Gak papa, Sir. Saya harus turun. Gak enak sama kepsek." Meski Junsen sudah menawarkan diri dengan halus aku menolak. Sebagai seorang penanggung jawab bus aku tak bisa berpangku tangan kepada orang lain.

"Ya udah saya ikut Miss Vina kalau gitu. Kali aja Miss Vina butuh bantuan."

Aku pun mengangguk lalu kami berdua turun dari bus menghampiri kepala sekolah yang sedang berdiri di pos khusus penjualan tiket.

"Bus tiga aman, Miss ?" Miss Sari langsung menanyaiku begitu tiba di pos penjualan tiket.

"Kalau penanggung jawabnya Miss Vina, pasti semua akan aman dan terkendali." Sahut Junsen jumawa menggantikanku menjawab pertanyaan Miss Sari.

"Ia pasti itu." Wanita paruh baya itu tertawa kecil menatapku yang kubalas dengan senyuman. "Gimana Sir proyek aman?" tanya Miss Sari lagi - lagi dengan seringai jahil yang sama seperti yang kulihat sebelumnya.

"Doain aja Miss." Jawab Junsen yang juga menoleh ke arahku lalu menatapku lekat. Hal tersebut membuatku salah tingkah. Takut kalau - kalau ada sesuatu di wajahku yang membuat kedua orang itu menatapku penuh arti.

"Oh iya Miss, tadi total berapa ?"

"Enam puluh dua, Miss."

"Ini Miss, tolong hitung dulu!" Wanita itu menyerahkan kertas yang merupakan tiket masuk kepadaku. Kertas itu terdiri dari dua warna yakni warna biru dan warna pink.

"Sini saya bantu hitung, Miss !"

Aku pun menyerahkan kertas yang berwarna biru untuk dihitung oleh Junsen sedangkan kertas yang berwarna pink aku hitung sendiri.

"Usaha terus ! Semoga berhasil, Sir !" Seru Miss Sari dengan nada menggoda sambil tertawa kecil lalu meninggalkanku dan Junsen.

"Sir, Miss Sari dari tadi bahas apa sih ?" tanyaku pada Junsen sambil melangkahkan kakiku untuk masuk ke dalam bus.

"Oh, itu... Em... Masa depan Miss." sahut Junsen dengan terbata - bata dengan semburat merah yang timbul di wajahnya. Hal itu lagi - lagi menimbulkan pertanyaan di kepalaku.

Atas permintaan Junsen aku pun langsung duduk di kursiku sementara pria itu tetap berdiri di tengah bus untuk menjelaskan fungsi dari tiket yang dia pegang. Namun, saat melihat ia keteteran membagi sambil sesekali membantu anak memasangkan tiket yang dibuat menjadi gelang tangan itu, aku pun memutuskan untuk membantunya.

"Sini saya bantuin, Sir ! Sir yang bagian depan saya bagian belakang."

Meski dengan berat hati akhirnya pria itu memberikan separuh tiket kepadaku.Tak terasa sekarang aku sudah tiba di bangku terakhir. Bangku yang paling aku hindari sedari tadi karena di sana terdapat seonggok tubuh bernyawa yang paling tidak ingin aku temui.

"Maaf Pak, Ini karcisnya. Udah tau kan fungsinya ?"

Aku menyodorkan empat buah kertas kepada pria tersebut. Sesekali aku mencuri lirik bocah gembul yang tertidur pulas di pangkuannya. Wajahnya terlihat damai saat tertidur membuatku ingin sekali mencubit gemas pipi gembulnya itu.

"Belum Miss. Gimana dong? Saya tadi sibuk ngurusin anak saya. Bisa tolong dijelasin!" Pria itu tersenyum tanpa beban. Sedangkan aku hanya bisa menatapnya kesal. Posisiku sebagai guru saat ini membuatku harus bisa mengontrol diriku. Dengan sabar aku menjelaskan fungsi dari karcis yang terdiri dari dua warna itu.

"Sudah paham, Pak ?"

"Sudah Miss. Pantes anak saya suka diajarin sama Miss. Jelasinnya detail, saya jadi gampang ngerti." Aku tersenyum kecil untuk menanggapi pria itu. Senyuman sebagai sebuah formalitas belaka sebagai tanda bahwa aku menghargai ucapannya.

"Bagus kalau Bapak sudah mengerti." Jadi aku tidak perlu capek - capek jelasin ulang. Sambungku yang tentunya hanya ku ungkapkan dalam hati saja.

"Saya tinggal kalau gitu ya, Pak ?"

Tanpa menunggu jawabannya aku berniat berbalik arah. Namun, hal itu urung kulakukan karena lenganku tertahan.

"Miss, bisa minta tolong sekali lagi ?" Tanyanya dengan penuh harap.

Aku terdiam kaku dengan bola mata melirik tangannya yang menggenggam lembut lenganku.

"Maaf Miss." Pria itu tersenyum kikuk lalu segera melepaskan tangannya. Terlihat jelas bahwa ia sedang salah tingkah sekarang. Hal tersebut dari rona kemerahan yang terpancar di wajahnya.

"Apa yang bisa saya bantu, Pak ?" Aku tak mampu lagi menebarkan senyuman ramah seperti tadi karena rasa kesal yang mulai menghampiriku.

"Miss bisa tolong bantu pasangin? Randy soalnya lagi tidur di pangkuan saya nih. Tangan saya yang satu juga ketimpa kepalanya. Kasihan kalau dibangunin soalnya semalam dia gak bisa tidur nyenyak karena terlalu bersemangat untuk acara ini." Ucapnya ringan seakan permintaannya itu tak memberikan beban bagiku.

Hufft...

Aku menghela nafas panjang. Berusaha mengingatkan diriku untuk tidak meledak sekarang. Aku tahu pria ini sungguh pintar mencari alasan. Meski Randy sedang tertidur pulas dan tangannya berada di bawah kepala Randy, bukan hal yang sulit untuk menggeser tangan itu.

"Please !" sambungnya lagi dengan wajah memelas ibarat anak kecil yang sedang merengek minta dibelikan mainan oleh orangtuanya.

Dengan terpaksa aku mengambil tiket itu dari telapak tangan pria itu. Memasangkan tiket dalam bentuk gelang itu bergantian di tangan sebelah kirinya sambil terus menggerutu. Ya, tentunya dalam hati.

"Sekalian punya Randy ya Miss !" Aku menatapnya dengan kesal lalu bergeser sedikit untuk memasangkan tiket berbentuk gelang itu di tangan Randy.

"Miss..."

Aku melirik sekilas lalu kembali fokus ke tangan Randy. Namun, aktifitasku terpaksa terhenti karena kinerja otak dan jantungku yang mendadak bermasalah saat pria itu mendekatkan kepalanya ke telingaku lalu berbisik pelan.

"Miss, akan sangat membahagiakan kalau saya diberi kesempatan untuk menyematkan cincin pengikat di jari manis ini." ujarnya setengah berbisik dengan manik birunya yang menyorot lembut ke arahku. Rasanya pria itu seperti menyihirku dengan sebuah mantra melalui mata dan bibirnya hingga membuatku tak sadar bahwa sebuah karet gelang kini melingkar sempurna di jari manisku yang entah darimana diperolehnya.

Jujur apa yang dilakukan oleh pria itu menimbulkan desiran - desiran halus dalam hatiku meski hanya sebentar. Karena setelahnya aku tersadar bahwa aku tidak boleh terlarut dan terjebak dalam gombalan receh pria itu. Aku yakin pria ini termasuk ke dalam playboy kelas kakap yang doyan menjual omongan manisnya kepada gadis - gadis yang haus akan kasih sayang. Hal itu terlihat dari caranya yang terlihat santai dalam melemparkan godaan - godaan terhadapku. Selain itu ada hati yang harus kujaga. Aku bukan wanita singel yang tidak menjalin hubungan dengan pria manapun. Sebagai seorang wanita yang memiliki seorang kekasih sudah selayaknya hanya dialah yang boleh membuat hatiku berdesir hangat.

"Dasar aneh." Aku tersenyum sinis menatap pria yang sedang tersenyum lebar. 

"Suatu saat saya ganti dengan yang asli Miss." seru pria itu lantang ketika aku mulai melangkah menuju tempat dudukku. Hal itu sontak membuat beberapa pasang mata menatapku dan pria itu dengan tatapan penuh tanda tanya.

***

    

avataravatar
Next chapter