1 1. Parhelion

'Di sebuah pesta dansa, Cinderella bertemu dengan pangerannya dan Beast jatuh cinta pada Bella, tapi tidak dengan kita. Di sebuah pesta dansa, waktu kita yang sudah lama membeku kini berlanjut kembali.'

Entah sejak kapan aku mulai membenci keramaian. Mataku merasa silau melihat mencoloknya senyum yang menghiasi bibir orang-orang. Instrumen 'kiss the rain' dari Yiruma mencoba menghiburku. Dia terus berusaha memasuki lubang telinga dan mengendalikan otakku, tapi selalu berhasil kutepis. Ah, bahkan aku pun mulai membenci segala macam suara di bumi ini.

"Paman Seok Jin!"

Seorang anak perempuan melambai di atas gendongan ayahnya. Usianya yang sudah memasuki lima tahun membuat anak perempuan yang akrab disapa Kyeongri tersebut sangat imut. Namun, masih tak cukup jadi alasan bagiku menyukai keramaian ini. Bahkan ketika dua anak lelaki yang tak kalah lucunya ikut datang dan menyapaku, tempat ini masih menyebalkan.

"Kebetulan sekali. Bisakah Paman menjaga Taehoon dan Hyun sebentar? Yoongi dan istrinya sibuk mengurus bayi kembar mereka. Sementara Namjoon menghilang tiba-tiba. Di sini terlalu ramai."

Taehyung, sahabatku, menjelaskan situasi sebelum meninggalkan dua anak lelaki berumur tujuh dan lima tahun. Aku tidak diberi kesempatan untuk menjawab ataupun membalas perkataannya. Keramaian kembali menenggelamkan Taehyung dan Kyeongri. Aku sedikit iri. Kuharap keramaian ikut melenyapkanku juga, namun dua tangan kecil yang menggenggam jari-jariku menahan sehingga kakiku tetap menapaki karpet cokelat.

"Paman, aku ingin mencari Ayah." Hyun mulai memasang wajah sedihnya. Genggaman tangannya makin erat di jari telunjukku. Kuembuskan napasku perlahan. Ada perasaan lelah dan kesal yang menghinggap di dadaku seketika. Sebagian dari diriku terus bertanya-tanya mengapa aku harus menjadi babysitter di sebuah pesta. Sebagiannya lagi berusaha mencari-cari tempat yang tidak dijamah oleh manusia.

Mataku terus berputar-putar mencari tempat yang tenang hingga akhirnya terhenti pada balkon kecil yang sepi. Dengan sigap kubawa kedua anak lelaki tersebut ke gendonganku dan kularikan mereka ke balkon. Susah payah kuterobos keramaian sampai aku berhasil sampai ke tujuan.

"Mana Ayah?" Hyun berputar dan memerhatikan sekelilingnya. Kosong, tapi tenang bagiku. Dia tidak mendapati ayahnya. Tampak jelas wajah kecewa dan sedih yang ditampakkannya.

"Hyun, jangan sedih. Ayahmu akan datang sebentar lagi."

Aku tertawa dalam hati ketika melihat manisnya Taehoon menghibur Hyun. Bahkan si kecil Taehoon itu tahu apa yang harus dia lakukan. Berbeda denganku yang berpikir jika Hyun menangis ayahnya pasti akan menemukannya dengan cepat sehingga aku tidak perlu melakukan apapun.

Kukeluarkan bungkus kotak kecil dari saku celana. Sebatang rokok terlihat saat kubuka ujung atas bungkus kotak tersebut. Kuambil sebatang dan menenggerkannya di bibir sembari satu tanganku mencari korek api di saku. Aku butuh asap agar pikiranku kosong. Aku butuh rehat. Hari ini sangat melelahkan.

Ada benda kecil yang kuyakini merupakan barang yang kucari. Kukeluarkan benda tersebut dari saku, namun kegiatanku itu harus terganggu lantaran seseorang mengambil paksa rokok dari bibirku. Aku berdecak kesal sembari menoleh ke asal gangguan. Seorang wanita tersenyum padaku. Di jari mungilnya rokokku dimain-mainkan.

"Sejak kapan Worldwide Handsome merokok?" canda wanita tersebut.

"Kenapa? Mengecewakanmu?" tanyaku sinis sembari mengambil sebatang rokok lain dari bungkusnya.

Wanita itu jelas tidak menyukaiku atau justru ingin mencari perhatianku. Melihat bagaimana dia merebut kembali rokok kedua yang kukeluarkan, maka berhasillah ia mendapatkan seluruh perhatianku. Kusejajarkan tubuhku dengan tubuh mungilnya. Sekilas dia tampak mirip dengan seseorang, namun segera kutepis pikiranku. Aku ingin berhenti berpikir.

"Apa maumu?" tanyaku mulai kesal.

"Kau tidak mengingatku?"

Aku hanya diam. Tak ingin tahu dan memberikannya kesempatan untuk menjelaskan dirinya.

"Aku Hana. Kim Hana. Kita cukup dekat waktu kecil. Kita selalu main dan melakukan semua hal bersama."

Tiba-tiba saja sekelebat bayangan gadis kecil muncul di kepalaku. Aku ingat. Hana, anak perempuan yang selalu mengikutiku sejak pertama kali masuk sekolah. Dia bahkan sering main di rumah dan makan di meja makanku. Walaupun sangat cengeng, dia sangat manis sehingga Ibu menyukainya. Baiklah, cukup. Sudah kubilang aku tak ingin berpikir atau kegiatan apapun yang menyangkut dengan kerja otak. Jadi cukuplah kuingat tentang Kim Hana.

"Aku ingat. Sekarang bisa kembalikan rokokku atau setidaknya jangan menggangguku? Aku sedang tidak enak badan dan ingin menyendiri."

Hana berdecak mendengar permintaanku. Lalu dia tertawa sembari mematahkan dua batang rokok yang ada di tangannya. Aku tidak kaget sama sekali. Setiap hari memang selalu ada hal-hal yang menguji kesabaranku.

"Kau tahu kalau merokok bisa membunuh manusia?" tanyanya.

"Terus kenapa? Semua manusia akan mati bukan?" balasku.

"Tapi mereka mati dengan cara dan waktu yang berbeda-beda."

"Cara dan waktu matiku itu urusanku jadi jangan campuri!"

"Aku tidak berbicara tentangmu. Aku berbicara tentang mereka." Hana mendekati kedua anak lelaki yang sejak tadi menatap kami dengan kebingungan. "Kau tahu, mereka mendapat lebih banyak dampak kesehatan yang buruk hanya karena ketidakpedulianmu terhadap diri sendiri."

"Huh. Memangnya kau dokter?" ejekku.

Wanita berambut panjang itu tak lagi menggubris. Kini dia sibuk menyerang Taehoon dan Hyun dengan berbagai pertanyaan. Mereka bercanda bersama. Kukeluarkan batang rokok yang lain dari bungkusnya. Kujepit rokok tersebut di kedua bibirku. Hana mengamati gerakanku dengan tatapan sinis. Ah, tiba-tiba saja aku merasa tidak nyaman. Batang rokok di bibirku tak lagi menggiurkan. Kuambil batang rokok tersebut dari bibirku dan kuhancurkan dengan sekali kepalan tangan.

"Kenapa aku harus ke sini?" gumamku sembari memerhatikan gerombolan orang yang bahkan tak merasa sesak harus berdiri beberapa sentimeter dari orang yang lainnya. Mereka justru tertawa dan tampak senang berinteraksi dengan semuanya. Atau mungkin hanya tampaknya saja.

Hampir seluruh orang yang mendatangi pesta ini kukenal. Tentu saja hanya beberapa dari mereka yang mengenalku. Sebagian besarnya kulihat di layar televisi dan internet. Daripada pesta pernikahan, pesta ini lebih mirip acara penghargaan yang pernah kuikuti beberapa tahun yang lalu. Dihadiri sebagian besar artis nasional dan internasional. Wajar saja. Yang menikah hari ini adalah Jeon Jungkook, aktor kesayangan seluruh dunia. Siapapun berlomba-lomba ingin menghadiri pernikahannya bahkan meski hanya berdiri di depan gedung dan mendengar suara riuh saja. Mungkin hanya aku yang berpikir ratusan kali sebelum akhirnya menyerah dan menghadiri pesta ini.

"Ayah!"

Suara teriakan Taehoon dan Hyun membuat perhatianku teralihkan. Entah sejak kapan tiga orang lelaki sudah berdiri di ambang pintu lebar yang menghubungkan ruang pesta dengan balkon. Kedua anak lelaki tersebut berlari menuju ayah mereka masing-masing dan disambut dengan gendongan hangat dari sang ayah.

"Hyun pasti cengeng saat bersama Paman Jin kan? Padahal jarang sekali Hyun bisa bersama Paman Jin," kata Namjoon sembari menghapus sisa air mata di kedua pipi putranya yang tembam.

"Bukan jarang," sanggah Yoongi. "Ini bahkan momen yang langkah sekali bisa bertemu Jin. Belakangan ini Jin bahkan lebih sibuk dari Jungkook. Tak ada yang bisa menemuinya."

Aku hanya tertawa seadanya dan menganggap singgungan mereka bak candaan. Toh, ini bukan yang pertama kali. Kalau mereka tetap bersikeras tinggal di balkon dan berbincang-bincang maka aku yang akan mencari alasan untuk pergi. Sama seperti sebelum-sebelumnya.

"Wah... Paman Seok Jin. Siapa wanita cantik di sebelahmu itu?" goda Jimin sembari mendekati Hana yang ternyata masih berdiri di dekatku. Dia tersenyum dan memperkenalkan dirinya dengan ceria.

"Aku Kim Hana, teman masa kecilnya Jin."

"Hanya teman saja? Padahal kalian terlihat cocok untuk lebih dari itu." Kali ini Namjoon ikut menggoda hingga membuatku mendesah napas lelah.

"Oh aku tidak masalah jika harus mempersiapkan dua pesta pernikahan dalam setahun, bukankah begitu?" Jimin terus menggoda kami. Aku hanya diam lantaran agak kesal mendengarnya. Untung saja Hana pandai bersikap. Dia tertawa dan menyanggah semuanya dengan sopan. Kalau saja Hana tidak ada, mungkin kami akan berkelahi lagi.

"Ah~ sayang sekali," seru Namjoon dengan wajah kecewa. "Di antara kami semua hanya Paman Seok Jin yang belum menikah. Rasanya kami belum bisa tenang sebelum melihatnya bergadengan dengan wanita. Selama tujuh tahun kami tidak pernah melihatnya bersama wanita."

"Kami bahkan memanggilnya Paman Seok Jin agar dia sadar umur dan segera menikah, tapi tiap kali dikenalkan dengan wanita secantik apapun dia justru melarikan diri. Kadang kami berpikir dia tidak normal," canda Suga.

Aku memutar bola mataku dan mendesah sekali lagi. Ini bukan pertama kalinya mereka berbicara seperti itu di depanku dan orang lain. Selanjutnya mereka lebih semangat lagi cerita tentang diriku terlebih saat melihat reaksi Hana yang tampak sangat tertarik mendengar cerita mereka. Aku hanya mematung di tempat. Berusaha menutup telinga dari cerita-cerita yang tentu saja tidak benar. Ah, sepertinya malam masih panjang. Cerita tentangku belum menemui ujungnya. Otakku terus memutar tuasnya agar menemukan alasan yang tepat untuk melarikan diri. Tak berhasil.

Angin malam berhembus sejuk sehingga mengosongkan pikiranku. Di balkon ini suara riuh terdengar lebih jauh. Pemandangan taman yang diterangi cahaya lampu remang sangat indah. Saat menengadah, bintang dan bulan tak kalah indahnya. Namun, aku tak senang. Aku ingin pulang.

*****

'Kau seperti silau cahaya mentari yang membangunkanku di pagi hari. Aku kesal. Kau terlalu silau. Mataku sakit. Aku kesal. Kau sangat mengganggu. Aku masih mau tidur.'

"Aku baru kembali bulan lalu untuk mempersiapkan pernikahan Ji Eun, sahabatku. Eh siapa sangka ternyata suami Ji Eun itu Jungkook, sahabat Jin. Akhirnya kami bertemu di pesta secara kebetulan."

"Tidak ada yang kebetulan, Hana. Kalian berdua pasti sudah ditakdirkan untuk bertemu kembali."

Aku tak menggubris percakapan kedua wanita yang sejak sejam lalu tak bisa mengendalikan mulut mereka. Aku masih tak tahu bagaimana cara perempuan bertubuh mungil itu tiba-tiba saja mengganggu pagiku. Dia muncul tanpa peringatan dan kini bercanda bersama Ibuku. Dia dekat sekali dengan Ibu. Aku tidak ingin memedulikannya. Aku hanya ingin menghabiskan sarapanku segera dan kembali ke kamar untuk menyelesaikan lagu yang kubuat.

"Hana, kamu ini sudah usia matang dan cantik. Bukankah harusnya kamu sudah memikirkan untuk menikah? Apa kamu tipe orang yang pilih-pilih?"

Hana tertawa. Wanita itu tidak pernah lepas dari tawa. Sejak pertama melihatnya di pesta hingga sekarang dia selalu tertawa. Entah bagaimana itu mengesalkan.

"Ah, tidak. Aku hanya terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga tidak sempat menemui lelaki manapun," jawabnya.

"Wah cocok dengan Jin. Dia juga kesulitan menemukan pasangan yang tepat. Kalian pasti dipertemukan karena suatu alasan−"

Kuhempaskan sendokku hingga menabrak piring berisi nasi goreng dan membuat suara berisik. Aku tak peduli. Percakapan Ibu sudah kutahu akan berlabuh ke mana. Segera kutinggalkan meja makan dan kembali mengunci diri di kamar. Itulah alasan mengapa hubunganku dan Ibu menjadi renggang belakangan ini.

"Ah Hana kamu pasti kaget, ya? Belakangan ini Jin sedang ada masalah dengan pekerjaannya jadi lebih sensitif."

Aku mendesah dan menghempas tubuhku ke ranjang. Membiarkan keempukannya menelan seluruh tubuhku. Walaupun pintu kamarku sudah kututup dan kukunci, pembicaraan kedua wanita itu masih terdengar di telingaku. Mungkin karena posisi kamarku kurang menguntungkan. Pintu kamarku berada tepat di depan meja makan.

"Tidak apa-apa. Aku paham. Jin sekarang banyak berubah. Dia tidak seramah dan selucu dulu. Atau mungkin dia sudah tumbuh dewasa dan aku yang tidak berubah sama sekali."

Walaupun berusaha keras untuk kutulikan telingaku sendiri, suara kedua wanita itu masih terdengar. Aku menatap headphone yang ada di meja. Letaknya agak jauh dari posisiku sekarang. Tidak. Tubuhku terasa sangat malas hanya untuk bergerak. Akhirnya aku menyerah. Kubiarkan saja posisiku yang terlentang dan suara-suara yang terus merasuki kedua telingaku.

"Ah tidak. memang benar Jin berubah. Dia jadi murung dan tidak seceria dulu. Sejujurnya, sebagai Ibu aku selalu khawatir dengannya. Dia seperti punya masalah yang dipendam selama bertahun-tahun, tetapi tak ada yang bisa diceritakannya padaku. Dia juga menjaga jarak dengan teman-temannya. Dia terlihat sangat sedih dan sendiri."

Aku tersenyum miris. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba saja muncul lantaran membuat Ibu khawatir. Setelah mendengar kekhawatiran Ibu, rasanya mataku memanas. Kata maaf kuulang berkali-kali untuk Ibu yang sudah memasuki usia lanjut. Selama ini aku sudah sangat menyusahkannya.

"Tenang saja, Bu. Aku masih punya beberapa bulan di sini. Aku pasti akan membantu Jin agar sebahagia dulu lagi. Jadi Ibu jangan sedih. Aku janji Jin akan baik-baik saja."

Aku tertawa mengejek mendengar suara Hana dari balik pintu. Tidak. Aku tidak akan baik-baik saja. Diriku sendiri bahkan tidak bisa membantu apalagi wanita itu.

*****

'Aku terus berharap malam tak pernah usai. Dengan begitu kita tak perlu memulai. Aku tak tau apa itu di pesta dansa, di pagi silau, atau di hari ini. Aku hanya berharap malam tak pernah usai. Dengan begitu kita tak perlu memulai.'

"Jin! Kim Seok Jin! Hei!"

Aku menggeliat saat merasakan seseorang menarik kaos yang kupakai.

"Bangun! Atau kita akan terlambat!"

Kututup kepalaku dengan bantal yang berhasil kuraih dengan mata tertutup. Aku tak tahu jam berapa sekarang, tapi apapun itu aku tidak ingin membuka mata dan meladeni suara wanita yang kuyakini itu Hana. Bukannya aku masih mengantuk, tapi sungguh wanita itu terus mengangguku selama beberapa hari ini. Aku hanya ingin menjauh darinya kalaupun harus lewat mimpi.

"Hei kau akan menyesal kalau tidak bangun sekarang! Jika kita terlambat maka kau akan tidur di pinggir jalan! Kau sudah diusir selama dua bulan oleh Ibumu!"

Mataku terbelalak tiba-tiba. Aku tidak tahu wanita itu hanya bercanda atau tidak, tapi tubuhku refleks bangkit. Kulihat Hana yang tertawa di sampingku sembari memukulkan bantal guling ke kepalaku. Mataku teralihkan oleh dua koper besar yang biasa kupakai bepergian. Tak jauh dari sana, di ambang pintu, Ibu berdiri sembari mengangguk dengan wajah yang serius.

"Cepatlah pergi sebelum ketinggalan bus," kata Ibu yang masih belum kumengerti.

"Ke mana?"

"Pulau Jeju." Kali ini Hana yang menjawab dengan ceria.

"Untuk apa aku ke sana? Aku tidak mau," jawabku sembari bergerak mengambil bantal yang berhamburan akibat ulah Hana dan bersiap-siap untuk berbaring kembali.

"Ibu sudah mengusirmu selama dua bulan. Selama itu terserah kamu mau ke mana. Tapi Hana mengajakmu ke Pulau Jeju. Bukankah lebih baik kamu ikut dia daripada harus tidur di sauna selama dua bulan?"

Tubuhku kembali tegak. Lupakan bantal yang tadi kuraih. Kutatap wajah Ibu dan sungguh keseriusan yang menyeramkan terpampang di sana. Aku masih belum mengerti. Berkali-kali kucoba untuk mengingat kesalahan apa yang kulakukan hingga Ibu setega itu, tapi justru yang kuingat semua hal yang kulakukan memang tak ada yang baik selama ini.

"Baiklah sekarang pilihanmu. Kau sudah paham situasinya kan? Aku akan pergi lima menit lagi. Kalau selama itu kau tidak keluar maka aku akan pergi sendiri."

Hana melangkah keluar dan meninggalkanku sendirian dengan ekspresi yang masih bingung. Ibu mengikuti langkah wanita berambut cokelat tersebut dengan mantap. Ditariknya pula dua koper besarku keluar hingga kini tinggallah aku sendiri yang seketika meledak.

"Apa ini?!" teriakku sembari bergerak cepat ke kamar mandi untuk bersiap-siap. Entah bagaimana pagiku bisa sekacau ini.

*****

'Apa yang harus kulakukan saat kau mulai menghancurkan sangkarku? Kini tak ada tempat untuk sembunyi.'

"Wah udaranya sejuk sekali~"

Aku mendengus kesal. Sejak tadi wanita itu seperti anak remaja. Dia terus mengoceh tentang berbagai hal, mengagungkan setiap bangunan dan tumbuhan yang kami lewati, memotret apapun yang sebagian besarnya wajahku sembari tertawa riang. Aku menyerah. Sejak pagi tadi tak ada ketenangan yang tersisa untukku. Syukurlah kami sudah sampai di tempat tujuan. Aku akan cepat-cepat memilih kamar dan mengunci diri di dalam sana.

Mataku menjelajahi tempat yang sangat asing. Sebenarnya saat pertama kali melihat tempat ini, lima menit yang lalu, aku sudah jatuh cinta. Hampir saja aku menobatkannya sebagai tempat kesukaanku dengan tumbuhan-tumbuhan yang menari tenang, suara ombak yang tak jauh dari sini, dan angin sejuk yang bergerak hati-hati agar tak menimbulkan suara. Namun, kehadiran Hana membuatku berpikir bahwa setenang dan seindah apapun tempat itu, aku tak akan pernah bisa senang jika Hana ada di sana.

"Ini adalah penginapan tradisional yang dikelola oleh sepasang suami istri yang sudah tua. Aku selalu ke sini untuk mencari inspirasi menulis. Mungkin saja kau juga akan mendapat inspirasi lagu di sini."

Hana terus mengoceh sembari menarik koper memasuki rumah besar dengan model tradisional korea. Aku hanya mengikuti langkah kecilnya. Dalam hati aku ragu. Bagaimana mungkin aku bisa mendapat inspirasi jika terus bersama wanita cerewet ini?

"Wah Hana. Sudah lama sekali kamu baru ke sini lagi." Seorang wanita tua seusia Ibuku yang kutebak sebagai pemilik penginapan ini menyambut kami dengan senyuman saat memasuki penginapan. "Oh siapa itu? Temanmu? Dia tampan."

"Iya, walaupun dia lumayan tampan," jawab Hana. "Tapi lihat saja wajahnya yang tak pernah senyum dan tatapan tajamnya membuat dia tampak berumur 40 tahunan. Orang-orang akan berpikir dia Pamanku."

"Kau juga tidak cantik dan kekanakan. Sudahlah. Katakan saja yang mana kamarku," seruku kesal.

Wanita itu tertawa lagi. Dia lalu mengantarku menuju sebuah pintu geser yang terbuat dari kayu. Tanpa basa basi segera kubawa kedua koperku memasuki kamar tersebut dan menutupnya kembali. Baru saja aku ingin mengunci pintu, tiba-tiba aku disadarkan oleh hal yang menghabiskan kesabaranku. Kubuka kembali pintu tersebut dan kulihat Hana masih berdiri di depan pintu sembari menahan tawa.

"Kenapa pintu ini tidak bisa dikunci?!" bentakku kesal.

Akhirnya tawa Hana pecah. "Maaf. Kamar di penginapan ini memang tidak memiliki kunci agar membangun suasana kekeluargaan soalnya kami tidak melayani tamu yang hanya ingin mengunci dirinya di kamar dan melewatkan keindahan Pulau Jeju."

Aku berdecak kesal. Kututup kembali pintu dengan kasar. Tawa wanita itu bahkan masih terdengar jelas sampai ke telingaku. Pintu kayu ini terlalu tipis dan tidak bisa dikunci. Mungkin masih lebih baik aku tinggal di sauna selama dua bulan daripada di sini.

*****

'Kita bukan anak-anak. Tugas kita bukan untuk berharap ibu peri akan mengabulkan keinginan kita. Kita orang dewasa. Tugas kita bertahan hidup. Bekerja keras. Mengusaikan seluruh impian.'

"Ayo Jin! Larilah! Lari!"

Aku mendesah lelah. Kugerakkan kaki jenjangku dengan malas. Kuperbesar langkahku agar dapat mencapai wanita yang berlari-lari bak anak kecil. Sepertinya dia lupa bahwa usianya sudah masuk kepala tiga. Tapi, kalaupun kudapatkan dia, apa yang bisa kulakukan? Tak ada yang bisa menghentikannya.

"Ayo cepat! Kenapa lamban sekali? Kau sudah mulai tua, ya?"

Aku berdecak kesal. "Sangat sulit untuk berjalan di pasir pantai seperti ini, tahu."

Dia tertawa. Larinya semakin cepat dan melompat-lompat. Mirip anak katak yang baru dikeluarkan dari kurungannya sejak lahir.

"Bagaimana? Kau sudah mendapat inspirasi? Bukankah pantai ini benar-benar indah? Lihat, lautnya indah. Pantainya indah. Langitnya biru indah. Kau bisa mendapat inspirasi dengan semua keindahan ini bukan?" Dia berbalik. Berjalan mundur sembari menatapku masih dengan tersenyum. "Ah, aku juga indah."

Aku tercengang. Wanita itu hanya tersenyum makin lebar. Rambut panjangnya yang agak bergelombang berlarian ke sana ke mari dibawa angin. Candaannya tidak lucu. Kucoba memasang wajah sedatar mungkin dengan harapan dia akan malu atas pujian terhadap dirinya sendiri. Tapi aku lupa. Dia Hana. Dia masih tersenyum tak menyerah.

"Akh sudahlah! Aku mau pulang!" Rengekku.

"Ke sauna?" Candanya sembari berlari ke arahku.

"Bukan. Ke penginapan. Lagipula aku lapar," Jawabku ketus.

Langkahku berbalik arah menuju penginapan, tapi tiba-tiba baju kaos yang kukenakan ditarik dari belakang. Kuputar kedua bola mataku dan berbalik dengan memasang tatapan apa-lagi-maumu?

"Apa kau pernah mendengar Phantom Sun? Atau perlion? Parlon? Apa ya?" Tanyanya yang sama bingungnya denganku.

"Tidak. Kita pulang saja."

Sekali lagi, tangan mungilnya menarik kaosku. Sesuai maunya, aku hanya diam mendengarkan.

"Saat itu terjadi, kau akan melihat ada lebih dari satu matahari." Dia menunjuk matahari di atas kami. Seketika aku sadar betapa panasnya berjalan di pinggir pantai siang-siang seperti ini. "Saat itu terjadi, semua sangat indah sehingga kau tidak akan melihat ke arah lain. Aku benar-benar ingin melihatnya."

Untuk pertama kali, kulihat ekspresi lain dari Hana. Dia tidak tertawa seperti biasa. Dia memandang jauh ke arah langit cerah. Agak heran bagaimana silaunya mentari tak menyakiti mata bulatnya.

Entah mengapa kugunakan kedua telapak tanganku untuk menghalangi sinar mentari yang bersentuhan langsung dengan wajah bulat Hana. Tatapan jauh yang bak membawanya menuju negeri antah-berantah pun hilang. Dia kembali menatapku dan tersenyum.

"Apa yang kau inginkan?"

"Huh?" Aku menatapnya kebingungan.

"Sama sepertiku. Kau juga punya keinginan, kan?"

Angin laut berhembus, menerbangkan pakaian dan rambut kami. Namun, sungguh bukan hanya itu. Angin pun menerbangkan kata-kata di hati dan pikiranku. Menerbangkan keinginanku. Semakin kucoba untuk menggambarkan keinginanku, semakin jauh ia pergi.

*****

'Musim semi dimulai dari musim gugur. Pohon harus kehilangan banyak daun dan bunga agar tumbuh daun dan bunga lain yang lebih indah.'

"Kau tidak suka soju ? Bukankah orang-orang depresi sepertimu suka minum minuman keras?"

Tangan mungil wanita itu menuangkan sebotol soju ke gelas kecil. Dia lalu meneguknya hingga habis. Itu adalah gelas ketujuhnya. Untuk wanita bertubuh kecil sepertinya, dia tampak kuat minum. Satu hal yang tak kusangka.

"Orang depresi sepertiku?" Tanyaku ketus. Sedikit merasa tersinggung.

Dia tertawa. Tubuhnya masih tegak. Kesadarannya masih sangat utuh. Wajahnya bahkan belum memerah. "Kau tidak sadar? Wajahmu itu seperti menunjukkan bahwa kaulah orang paling menderita di dunia ini. Kau seperti menanggung seluruh dosa manusia. Semua yang dikatakan orang-orang tentang worldwide handsome itu omong kosong. Pasti itu juga alasan kau tidak jadi model lagi."

Kuangkat sebelah alisku. "Siapa bilang? Aku sendiri yang menolak ajakan orang-orang untuk menjadi model!"

"Kenapa?" Wanita itu kembali menuangkan soju ke gelas kedelapannya. Sementara aku baru berada di gelas kedua.

"Model itu sama seperti boyband. Tidak akan bertahan lama. Saat tua kau akan digantikan oleh yang muda. Tidak akan ada gadis-gadis yang mau meneriaki lelaki keriput."

"Apa itu alasan kau tampak sangat depresi?"

"Iya. Aku sangat menyedihkan, kan? Itu yang mau kau tau, kan? Apa kau bisa melakukan sesuatu untuk itu? Kau tidak bisa mengubah sistem masyarakat!"

Kuambil botol soju yang ada di atas meja kemudian meneguknya langsung hingga hampir habis. Beberapa berhasil lolos keluar dari mulut dan membasahi bajuku. Seketika kepalaku terasa sangat sakit lantaran soju. Tapi tak mengapa. Sakit kepala membuat pikiranku kosong seketika. Aku suka.

Seorang wanita tua datang membawakan makanan yang baru selesai dimasak. "Jangan minum terus. Makanlah juga. Kau terlihat sangat kurus." Wanita tua itu merupakan pemilik penginapan. Dia mengelus kepala Hana dengan sayang. Kalau dipikir-pikir setelah dua minggu lebih kami menginap di sini, Hana diperlakukan bak tuan putri oleh pasangan pemilik penginapan ini. Mereka terlihat sangat dekat. Mungkin lebih seperti orang tua dan anak. Ya, Hana memang tipe orang yang mudah bergaul dengan orang lain.

Pemilik penginapan kembali memasuki ruangan lain yang tidak kutahu ruang apa itu. Mungkin kamarnya? Dapur? Atau ruang keluarga yang sama seperti yang kami tempati sekarang? Walaupun sudah dua minggu aku tinggal di sini, ruang yang kudatangi hanya kamarku, toilet, kamar Hana, ruang keluarga yang terbuka ini, dan taman. Aku tak begitu tertarik untuk mencari tahu tentang ruang lainnya.

Kini hanya tersisa kami berdua bersama angin malam. Penginapan ini sangat sepi. Sejak kami menginap, tak ada tamu lain. Hanya kami berempat di sini. Walaupun terdengar aneh mengingat penginapan ini sangat bagus dan berada di zona strategis, aku tak begitu peduli. Semakin sepi semakin baik.

"Hei, bukannya kita sudah sangat dekat selama lebih dari dua minggu ini?"

Aku tertawa sinis mendengar pertanyaan Hana. Memang selama dua minggu lebih kami selalu bersama. Hana tidak pernah membiarkanku sendirian. Setiap pagi dia membawaku lari mengelilingi pantai. Kami juga berbelanja di pasar. Kami mengunjungi semua tempat yang ada di pulau ini. Bertemu dengan puluhan orang asing yang disapa oleh Hana. Daripada dekat, lebih tepatnya dia melakukan pemaksaan. Aku lebih suka jika dia tak ada. Saat-saat tenangku selama di pulau ini adalah saat malam ketika dia sudah tidur dan saat sore ketika dia mengerjakan pekerjaannya di laptop dan aku mengerjakan laguku.

"Selama lebih dari dua minggu ini aku merasa sangat dekat denganmu. Mungkin karena kita teman masa kecil. Walaupun kau sudah sangat berbeda. Dulu kau sangat ramah dan bersahabat. Kau berteman dengan siapapun. Kau suka membuat candaan lucu. Kau peduli sama semua orang. Karena itu aku mengikutimu ke mana-mana. Tapi, bukannya marah kau justru menjadikanku sahabatmu. Kau cerita dan lakukan semua hal denganku."

Kembali kutuangkan botol soju ke gelasku yang sudah kosong. Kepalaku masih sakit, tapi kesadaranku masih utuh. Mendengar cerita Hana tidak berhasil membuatku nostalgia. Hanya wanita itu yang tampak sangat senang membahas masa lalu.

"Hei, aku punya ide! Ayo ceritakan hal paling menyedihkan dalam hidup kita masing-masing. Cerita yang paling menyedihkan akan menjadi pemenangnya. Yang menang boleh meminta apapun kepada yang kalah. Bagaimana?"

Aku kembali tertawa sinis. Lagi-lagi dia memunculkan ide yang unik. Aku tak bisa menebak isi pikirannya dan aku pun tak pernah mencoba menebaknya karena akan sia-sia. Apapun itu, tak ada yang bisa menghentikannya.

"Kau yang pertama. Cobalah ceritakan cerita menyedihkanmu."

Mulutku bungkam. Apa yang akan kucerita? Kalaupun aku merasa tertekan tentang suatu hal, tapi aku tak ingin menceritakannya pada siapapun.

"Kalau kau tak punya cerita maka kau akan dianggap kalah. Aku akan menyuruhmu mengelilingi pantai dengan telanjang."

Bulu kudukku bergedik ngeri. Aku lupa siapa wanita di depanku. Dia lebih gila dan menyeramkan dari orang-orang yang pernah kutemui. Dia akan melakukan apapun.

Kutuangkan kembali soju dan kuteguk cepat, berharap segelas soju tersebut mampu mengeluarkan seluruh kata-kataku. Tapi satu gelas tak cukup. Kutuangkan kembali soju. Entah gelas keberapa, tubuhku mulai bereaksi. Panas, tubuhku tak lagi tegak, dan seluruh kata-kataku keluar dengan mudahnya.

"Kau tau belasan tahun yang lalu aku pernah ikut sebuah boyband yang populer, kan?"

Hana mengangguk. Dia menatapku saksama.

"Tapi sudah berakhir beberapa tahun lalu. Anggota dari boyband tersebut mulai membangun karir mereka masing-masing. Ada yang jadi aktor, produser, koreografer. Tak lama setelah grup kami selesai, mereka membangun karir yang baik. Menikah dan memiliki keluarga kecil yang bahagia. Hanya aku yang tidak berhasil. Semua albumku gagal. Karir modelku berakhir lantaran umurku sudah terhitung tua. Dunia entertainment tidak lagi menerimaku"

"Kalau begitu kau cukup memulai di bidang lain, kan? Tapi bukannya kau sedang membuat lagu?"

Aku tertawa miris mendengar pertanyaan Hana. "Di usiaku ini? Hampir masuk 36 tahun? Apa yang bisa kumulai? Semua sudah terlambat. Sejujurnya membuat lagu pun berat bagiku. Aku hanya melakukannya karena tak ada lagi yang bisa kulakukan."

Hening. Hanya suara soju yang meluncur ke gelas kecil Hana yang terdengar. Wanita itu meneguk kembali gelas sojunya. Kulihat wajahnya sudah memerah. Tubuhnya sempoyongan. Sepertinya dia sudah mabuk. Tak heran melihat sudah berapa banyak soju masuk ke tubuh mungilnya.

"Terlambat? Memangnya perbuatan kita dibatasi dengan umur kita? Kita hanya boleh mendaftar di perguruan tinggi di umur 19 tahun? Kita hanya boleh menikah di umur 28 tahun? Kita hanya boleh melamar kerja di umur 22 tahun? Omong kosong!"

Hana melempar gelasnya ke atas meja. Untung saja gelas tersebut tidak pecah. Namun, suara yang ditimbulkan sangat keras sehingga membuatku terkejut. Aku takut kami akan membangunkan orang-orang di jam 12 malam.

"Sudahlah. Kau sudah mabuk. Kita masuk saja." Aku berpindah ke sebelahnya dan berusaha mengangkat tubuhnya, tapi dia mendorongku. Entah bagaimana tubuh kecilnya punya kekuatan sebesar itu.

"Aku tepat waktu." Dia kembali bercerita, tapi kali ini dengan nada suara yang rendah hingga terkesan sedih. "Aku mendaftar perguruan tinggi di usia 19 tahun. Melamar kerja di usia 22 tahun. Di usia 24 tahun aku bahkan menjadi general manajer perusahaan besar dan membuat semua orang iri. Di usia 25 tahun aku jatuh cinta dan menikah."

Aku terkejut. Satu hal yang tidak kutahu darinya. Rupanya Hana sudah menikah. Selanjutnya, suara tangis Hana membuatku lebih terkejut lagi. Kuangkat wajahnya yang tertunduk dan dia sungguh menangis. Wajahnya tampak sangat menderita dan air matanya mengalir. Dia menepis tanganku dan kembali melanjutkan ceritanya.

"Tapi hanya satu tahun. Lalu semuanya berakhir. Aku membuang karirku agar bisa fokus menjadi istri yang baik. Tapi, lelaki brengsek itu... Dia selingkuh dan aku memaafkannya. Dia selingkuh lagi dan aku memaafkannya. Dia selingkuh lagi dan aku memaafkannya. Hingga di usia 27 tahun, lelaki brengsek dan wanita simpanannya itu mendatangiku. Dia bilang kalau aku menganggu hubungan mereka." Hana tertawa. Tawa paling menyakitkan yang pernah kudengar darinya. "Dia menyuruhku menyerah. Dia bahkan tidak minta maaf. Orang tuanya yang datang dan minta maaf mewakili putranya. Mereka bilang putranya akan punya anak dan aku harus memaklumi. Tapi aku bahkan tidak marah. Aku tidak dekat dengan orang tuaku dan justru lebih dekat dengan mertuaku karena itu aku tidak bisa marah. Aku justru memahami mereka.

"Di usia 28 tahun aku resmi bercerai. Aku membangun karir baru dan menjadi penulis lepas hingga kini. Tentu saja tulisanku gagal. Keluargaku tidak menerimaku. Aku kehilangan semuanya. Aku melakukan semuanya tepat waktu, tapi aku berakhir lebih cepat dari yang lainnya. Umur itu omong kosong! Semuanya omong kosong!"

Hana berteriak histeris. Suaranya mengalun bersama air mata yang terus membasahi kedua pipinya. Kubawa dia ke pelukanku dan kutenangkan. Tak berhasil. Tangisnya bertambah keras. Hatiku merasa sakit mendengar seluruh ceritanya. Dia sudah melalui banyak hal, tapi dia justru tersenyum sangat lebar.

*****

'Saat waktu membeku, aku jadi berpikir jernih. Tentang hal-hal yang sungguh kuinginkan. Tentang kesempatan yang tak ingin kulewatkan. Tentang perasaan yang kini kurasakan.'

"Aku menang kan?"

Wanita itu tersenyum menyambut pagiku. Senyumnya masih ceria seperti sebelum-sebelumnya. Awalnya aku ragu dia mengingat kejadian semalam. Kalaupun dia ingat, kupikir dia tidak akan membahasnya dan bersikap sok tegar. Ternyata aku salah. Kini dia dengan bangganya mengatakan bahwa ceritanya paling menyedihkan dan dia yang menang. Tiba-tiba saja aku merasa bodoh telah mengkhawatirkannya. Mungkin saja ceritanya semalam itu hanyalah kebohongan.

"Kalau begitu kau harus mengabulkan permintaanku."

"Baiklah. Apa permintaanmu?" Tanyaku sembari melakukan perenggangan ringan sebelum lari pagi. Suka tidak suka, olahraga pagi sudah menjadi rutinitasku sejak tinggal di sini.

Aku masih tidak mengerti apa yang ada di pikirannya. Dia mendekatiku. Meraih tangan kiriku dan melepaskan satu-satunya jam tangan yang ikut bersamaku ke pulau ini. Lalu dengan sekuat tenaga dipukulkan jam tersebut ke dinding rumah. Hancur. Kacanya berserakan kecil hingga tak bisa kukumpulkan. Jarum jamnya bahkan jatuh, terlepas dari tempatnya. Wanita gila itu memakaikan kembali jam ke tanganku. Dia tersenyum dan aku tercengang menatapnya.

"Mulai sekarang aku sudah menghentikan waktumu," katanya. "Kau akan melihat siang berganti jadi malam, tapi itu hanyalah tipuan. Matahari mencoba menipumu bahwa kau sudah kehilangan satu atau dua hari. Percaya saja padaku. Aku sudah menghentikan waktumu. Aku yang tahu kapan waktumu kembali berputar."

"Apa maksudmu? Kau menghancurkan jamku?!" Bentakku kesal mendengar omong kosongnya yang tidak pernah kumengerti.

"Kau tidak tahu berapa lama waktumu berhenti," lanjutnya, tak peduli dengan kekesalanku. "Mungkin selamanya kau akan berusia 35 tahun. Maka dari itu, lakukanlah hal-hal yang kau mau. Tidurlah sepuas hatimu, makan sebanyak apapun yang kau mau, atau melamun selama yang kau mau. Jangan pikirkan apapun. Kau hanya melakukan hal-hal yang kau mau selama waktumu berhenti."

"Omong kosong apa itu?"

Kakiku mulai berlari. Hana mengejarku di belakang sembari menggerutu kesal. Dia terus mendesakku untuk mengatakan keinginanku. Sebisa mungkin aku menulikan telinga. Ini bukan yang pertama kalinya wanita itu menggangguku dengan omong kosongnya.

"Ini hari ke-17 kita di sini. Kalau waktu berhenti maka tidak peduli seberapa banyak malam yang dilalui, selamanya akan terhitung hari ke-17. Kau tidak akan bisa pulang. Mungkin kita akan selamanya tinggal di pulau ini."

Kakiku terhenti. Aku menoleh ke belakang dan mendapati Hana yang berdiri beberapa meter dariku. Dia menatapku dengan tatapan menantang.

"Aku tidak peduli. Yang Ibu tahu aku hanya dua bulan di sini," balasku.

"Kau mungkin tidak tahu. Saat aku bilang pada Ibumu aku ingin membawamu ke suatu tempat, Ibumu bilang aku boleh membawamu selamanya. Kau tidak bisa pulang tanpaku."

Aku kalah. Kuacak rambutku kasar. Aku lupa bahwa tak ada yang bisa menghentikan wanita gila itu. Tiba-tiba saja aku merindukan kehidupan lamaku. Sekarang ini, aku merasa seperti seekor burung yang terjebak dalam sangkar. Setiap hari yang kulakukan hanyalah mengikuti perkataan majikanku yang kejam. Aku sadar orang tuaku sering marah lantaran pekerjaan dan hal-hal yang kulakukan setiap hari tidak jelas. Hanya tidur dan mengarang lagu. Bahkan hasilnya tidak terasa selama dua tahun ini. Tapi bukankah Ibu sangat kejam padaku? Dia boleh mengusirku, tapi haruskah dia mengirimku ke wanita gila ini?

Aku terus menggerutu dalam hati. Aku bahkan tidak bisa marah di depannya mengingat itu akan sia-sia. Dia tidak akan peduli.

"Kenapa kau lakukan ini padaku?!" Teriakku kesal.

Dia tertawa. Dia tertawa dengan penuh kemenangan.

*****

'Kita semua adalah ibu peri untuk diri kita masing-masing. Bukan dengan sihir, keinginan kita terwujud lewat usaha. Tapi sering kali kita tidak sadar siapa kita sehingga yang kita lakukan hanyalah menunggu ibu peri datang.'

"Ayo katakan keinginanmu!"

Aku berdecak dan menatapnya sinis. "Kenapa kau bersikap seperti ibu peri? Ah tidak! Kau seperti ibu peri yang jahat. Kau mengabulkan keinginan orang lain dengan memaksa."

Tangan mungil wanita itu bertenaga. Dia memukul perutku dan membuatku mengaduh. Tiba-tiba saja bukan hanya mulut dan sikap memaksanya yang menyebalkan. Tangannya pun ikut menyebalkan.

"Baiklah. Aku ingin bermain piano," jawabku.

Dia mengerjapkan matanya beberapa kali dan menatapku saksama. "Kau serius? Bukannya tiap hari kau selalu main piano?"

"Itu di rumahku. Semenjak kita di sini aku tidak pernah menyentuh piano lagi dan aku merindukannya."

Hana tersenyum. "Baiklah. Aku tahu tempat yang cocok untukmu." Wanita berambut kucir kuda itu menarikku menuju suatu tempat. Kami bahkan masih menggunakan pakaian olahraga dan belum menyelesaikan rutinitas lari kami. Tapi aku tak bisa menghentikannya. Dia seperti badai yang melakukan apapun yang dia mau.

Setelah berjalan setengah jam, kami sampai. Kuamati sekitarku yang tampak asing. Aku merasa yakin sudah mengelilingi pantai pulau ini, tapi aku baru melihat sebuah bangunan berdiri tegak di dekat pantai. Bangunan tersebut sangat besar namun sederhana. Bangunannya agak terbuka dan penuh aksesoris laut. Seakan-akan bangunan ini merupakan bagian dari laut. Ada tulisan 'Beach Cafe 24 jam' di papan kecil depan bangunan tersebut.

"Cafe ini baru buka kemarin jadi masih belum banyak yang tahu. Di sini ada piano. Kau bisa memainkannya sepuasmu," kata Hana menjawab keasinganku terhadap tempat ini.

Seperti yang dikatakan Hana, hanya ada beberapa pelanggan dan dua orang pelayan di sini. Sangat tenang hingga suara ombak terdengar jelas. Sebuah piano besar menjadi sentral di tengah cafe. Kudekati piano tersebut dan menekan salah satu tutsnya. Keluar suara lembut yang kurindukan selama dua minggu ini.

Piano bak menarikku makin dekat dengannya. Kurapatkan tubuhku di kursi kecil yang merupakan pasangan sang piano. Jariku dengan mudah bergerak naik turun di atas tuts dan menciptakan nada yang indah: Nocturn. Suara ombak dan piano saling menyatu. Keheningan membawa kedua suara tersebut menyentuh hati siapapun yang mendengarnya. Satu per satu perasaanku lepas.

*****

'Tak peduli betapa menyakitkannya matahari itu terbakar, dia tetap bersinar. Cerah. Lebih cerah dari sebelumnya.'

"Apa keinginan Anda hari ini, Yang Mulia?"

Hana melakukan penghormatan sama seperti yang dilakukan oleh pelayan kepada rajanya. Aku tertawa melihat tingkah konyolnya.

"Hmm... Haruskah aku jadi raja di suatu negara?" Tanyaku, iseng.

"Tentu saja, Yang Mulia. Anda bisa menjadi Raja Pulau Jeju. Hidup Yang Mulia Raja~"

Tawaku makin menjadi. Sudah dua minggu kami melakukan hal konyol ini. Ah, mungkin lebih tepatnya 15 kali malam berlalu? Karena waktu sudah berhenti bagiku, tak ada lagi hitungan hari hanya pagi, siang, dan malam.

Hana mengabulkan semua yang kumau. Sekarang aku benar-benar yakin bahwa dia itu gila. Dia tidak mengeluh ataupun menolak sama sekali. Saat kuminta untuk tidak menggangguku selama sehari, dia sungguh tak berbicara padaku seharian. Namun, akhirnya aku merasa aneh tanpa kecerewetannya. Saat kuminta agar aku terbang, dia mengambil terjun payung dan benar-benar menerbangkanku. Saat kuminta sebuah lagu, dia berhasil membuat satu lagu dalam sehari. Tentu saja lagu itu sangat jelek hingga membuat telingaku sakit. Tetapi, terlepas dari semua itu, aku menikmatinya. Untuk pertama kali, aku menikmati kekonyolan yang dibuatnya.

"Hari ini aku hanya ingin main piano di cafe seharian."

"Siap laksanakan!"

Hana tersenyum ceria seperti biasa. Tiba-tiba saja terlintas di kepalaku ingatan tentang malam itu. Hana yang menangis berteriak histeris dan Hana yang tersenyum ceria dengan tingkah konyolnya. Yang mana Hana yang sebenarnya?

*****

Wanita itu bermain kejar-kejaran dengan ombak. Dia tertawa dan berlari saat ombak ingin menangkap kaki serta ujung dress putihnya. Tak ada yang dapat menghentikan Hana, tidak juga angin malam yang dibawa bersama ombak-ombak. Aku menatapnya dengan tenang di salah satu meja cafe. Pasti tak ada yang akan percaya kalau kukatakan wanita yang sedang asik bermain itu telah memasuki kepala tiga. Selain wajahnya yang tampak segar, tubuhnya pun kecil, tingkahnya bak anak-anak. Dia menipu semua orang. Aku tertawa kecil menyadari hal tersebut.

"Apa tidak masalah kalau Anda selalu mengikuti Kak Hana ke mana-mana?"

Aku menoleh ke sumber suara. Ternyata itu seorang pelayan yang datang bersama pesanan yang kuminta.

"Apa maksudmu masalah?"

"Maksudku Kak Hana sudah menikah, jadi orang-orang pasti akan salah paham kalau kalian bersama tiap hari."

Tawaku lepas begitu saja mendengar kekhawatiran gadis pelayan di hadapanku. "Hana sudah cerai beberapa tahun yang lalu. Dia wanita lajang sekarang. Jadi jangan khawatir."

"Benarkah? Tapi kenapa Kak Hana masih tinggal bersama mertuanya?"

"Mertua?" Kali ini aku yang kebingungan. Lebih bingung dari gadis pelayan di hadapanku.

"Iya. Kak Hana menikah dengan tetanggaku sepuluh tahun lalu. Walaupun waktu itu aku masih kecil, tapi aku sangat mengingat Kak Hana. Dia sempat tinggal di pulau ini selama setahun. Dia tinggal bersama mertua dan suaminya. Sekarang dia masih tinggal di tempat yang sama jadi aku tidak percaya bahwa dia sudah cerai. Maksudku, kenapa kau harus tinggal di rumah mertuamu saat kau sudah cerai dengan suamimu?"

*****

'Seandainya seseorang menjelaskan padaku alasan amarahku memuncak malam itu. Alasan hatiku bergetar khawatir. Alasan perasaanku sakit hanya dengan melihatmu. Mungkin dengan begitu aku tidak kehilangan.'

"Yang kalian lakukan bukan permintaan maaf! Kalian hanya ingin berbuat baik pada Hana agar kalian merasa lebih baik! Pada akhirnya itu hanya untuk diri kalian sendiri! Kalian harusnya lari saat melihat wanita ini karena KALIAN SEKELUARGA SUDAH MENYAKITINYA!"

Kutarik Hana keluar dari penginapan setelah melontarkan amarah besar. Pasangan pemilik penginapan menundukkan kepala mereka dan tak mampu mengucapkan apapun. Wanita tua itu tampaknya menangis sedangkan suaminya merasa sangat bersalah, tapi aku tidak peduli. Setelah menghamburkan seluruh isi rumah, kutampar pasangan suami istri itu dengan kata-kata pedas. Kuteriakkan semua kekesalanku yang kuyakini tak mampu dibahasakan Hana. Setelah itu, kukemas barang-barang kami. Aku tak peduli jalanan sudah sepi dan rumah-rumah sudah tertutup. Tak ada tranportasi sama sekali. Walau begitu, aku tak sudi harus lama-lama di penginapan itu lagi. Pemilik penginapan bahkan tak punya wajah untuk mengangkat kepalanya ketika kami keluar dari sana.

Akhirnya kami tak bisa ke mana-mana tanpa transportasi. Kami berakhir di Beach Cafe yang buka 24 jam. Cafe itu sangat sepi. Mungkin lantaran waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Hanya ada seorang lelaki yang memakai headphone dan sibuk dengan laptopnya serta beberapa pelayan yang membersihkan sisa makanan pelanggan yang baru saja pergi.

Hana terus menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya. Aku tahu dia menangis. Di sepanjang perjalanan suara tangisannya terdengar jelas. Dia tak mengatakan apapun bahkan ketika aku menghamburkan barang-barang di penginapan.

"Kenapa kau menangis? Karena kau sudah anggap mereka seperti orang tuamu? Karena mereka lebih mau menampungmu beberapa hari daripada keluargamu sendiri? Harusnya kau sadar bahwa mereka hanya menggunakanmu agar perasaan bersalah mereka hilang. Kalau mereka benar-benar minta maaf, harusnya mereka mengubur diri mereka sendiri!" ocehku kesal.

"Kau kejam," bisik Hana dari balik telapak tangannya.

"Kejam? Mereka yang kejam. Memangnya ketika kau lihat mereka kau tidak ingat lelaki brengsek itu? Lelaki itu bahkan tidak pernah minta maaf padamu hingga sekarang. Apa itu tidak berat bagimu?"

Akhirnya Hana keluar dari balik telapak tangannya. Kedua matanya merah dan bengkak. Hampir seluruh wajahnya basah lantaran air mata. "Berat," jawabnya pelan. "Sangat berat. Maka dari itu aku ingin melupakan semuanya. Aku ingin bersikap seakan-akan tak ada yang terjadi. Karena berat. Berat sekali."

Tangis Hana kembali pecah, namun kini dia tidak menangis sembunyi-sembunyi lagi. Dia menangis dengan jelas di depan mataku. Kurengkuh dia ke pelukanku dan tangisnya makin keras. Tiap detik aku merasa sangat sakit hanya karena mendengar suara tangis dan napas beratnya.

*****

Saat waktu kembali berjalan, saat itu aku sudah jauh kehilangan.

Saat aku terbangun di pagi harinya, Hana sudah tidak ada. Kopernya pun ikut menghilang begitu saja. Hanya jam tangan kudapat di meja yang kutempati tidur semalam. Jam itu bukan milikku. Itu adalah jam baru yang detik dan jarum lainnya berfungsi. Di bawah jam ada selembar kertas yang berisi tulisan tangan seseorang.

Waktumu sudah kembali berjalan. Aku sudah mencairkannya. Maaf karena aku mengingkari perkataanku. Aku tidak bisa lebih lama lagi di sini. Maaf karena pada akhirnya kau yang harus menghiburku.

Aku yakin itu dari Hana dan wanita itu pergi begitu saja. Segera kuambil ponselku dan menghubunginya, namun nomornya tidak tersambung. Berkali-kali aku menghubunginya hanya untuk mendengar suara operator. Kucari dia ke berbagai tempat di pulau ini seharian, namun tak ada. Akhirnya aku kembali pulang ke rumah dengan perasaan kosong yang aneh.

"Seok Jin? Bagaimana liburanmu, sayang?"

Ibu menyambutku hangat. Dia bahkan membantu membawa koperku masuk ke dalam rumah. Melihat reaksinya, Hana pasti sudah menghubungi Ibu sebelumnya.

"Sayang sekali, ya, Hana harus kembali ke Paris karena pekerjaannya."

Aku tersentak kaget mendengar perkataan Ibu. "Paris? Dia ke Paris? Kapan?"

"Oh kamu tidak tahu? Kemarin Hana menghubungiku kalau dia akan berangkat ke Paris karena ada urusan pekerjaan karena itu liburan kalian selesai dengan cepat. Mungkin dia sudah berangkat tadi malam. Bukannya kalian bersama-sama? Kenapa justru Ibu yang lebih tahu?"

Pikiranku kosong seketika saat mendengar perkataan Ibu. Aku bahkan tak lagi mendengar perkataan Ibu selanjutnya. 'Wanita itu sudah pergi.' Hanya itu kalimat yang terus terputar-putar di kepalaku.

Entah berapa lama aku melamun, kurasakan tangan Ibu yang menggoyang-goyangkan lenganku kencang. Aku mulai tersadar. Suara Ibu dan tempatku berpijak mulai tertangkap kembali oleh inderaku.

"Kamu kenapa sih? Lelah? Oh iya tadi Ibu sedang mencari-cari video masa kanak-kanakmu dan Hana. Ayo kita nonton bersama sekaligus nostalgia."

Ibu menarikku duduk di sofa depan TV. Aku yang rasanya sudah kehabisan tenaga entah bagaimana, hanya mengikut bak sapi yang dicucuk hidungnya. Kulihat Ibu mengambil remot dan memainkan kembali video yang sempat ter-pause. Di video tersebut terlihat aku yang berumur delapan tahun sedang bermain pasir pantai bersama Hana kecil. Kami membuat istana pasir lalu Ibu mendekat dengan membawa kamera yang merekam kami.

"Kalian sedang buat apa?" tanya Ibu di video.

"Kami akan buat istana tempat Seok Jin Oppa dan Hana tinggal," jawab Hana kecil.

"Istana kalian? Bagaimana dengan Ibu?"

"Saat aku dan Seok Jin Oppa menikah, kami hanya tinggal berdua. Aku akan buatkan istana lain untuk ibu saja, ya?"

Suara tawa Ibu terdengar dari video lantaran jawaban polos Hana. Seok Jin kecil yang tadinya sibuk membuat istana pasir, berhenti bermain dan mendorong Hana kecil hingga jatuh di pasir. "Aku tidak ingin menikah denganmu," seru Seok Jin kecil.

Ibu mendekati Hana kecil dengan khawatir, tapi Hana kecil justru tersenyum lucu. Akhirnya Ibu memaksa Seok Jin kecil untuk minta maaf.

"Ah~ Ibu jadi ingat Hana," kata Ibu yang membawaku kembali ke dunia nyata. Aku sangat serius menonton video tadi sehingga lupa bahwa masih ada Ibu yang duduk di sampingku. "Hana itu selalu mengikutimu ke mana-mana. Dia selalu bilang ingin menikah denganmu. Dia bahkan memanggilmu Oppa walaupun kalian seumuran. Dulu kamu selalu risih karena sikapnya yang menurut Ibu lucu. Tapi akhirnya kalian mulai akur di bangku sekolah. Sayang Hana harus pindah ke sekolah lain waktu masuk SMA. Kamu bahkan tidak mau makan beberapa hari karena sedih. Pasti kamu senang sekarang bisa bertemu dengannya lagi."

Cerita Ibu mengantarku terbang jauh ke masa lalu. Tiba-tiba saja ingatanku tentang Hana jadi semakin jelas. Semua tingkah konyol, lucu, menyebalkan, semuanya kuingat.

"Walaupun waktu itu kalian masih kecil, tapi bagi Hana kamu pasti cinta pertamanya."

Seketika air mataku meluncur mendengar perkataan Ibu. Aku tidak bisa menerima fakta itu mengingat akhirnya Hana harus menikahi lelaki brengsek dan mengalami hidup yang menyedihkan. Kalau saja aku yang menikah dengan Hana, aku tak mungkin menyakitinya. Aku tak akan mengkhianatinya. Ibuku sangat menyayanginya jadi dia akan baik-baik saja. Aku tidak akan menyuruhnya melepaskan karirnya. Aku tidak akan... Aku tidak.

"Huwaaaa!!!"

Teriakan histerisku keluar bersama tetes demi tetes air mataku. Rasanya dadaku sakit sekali. Hanya mengingat senyumnya rasanya sakit sekali. Ibu kebingungan melihatku. Dia berusaha memeluk dan menenangkanku yang tak tahu apapun. Tetapi, rasa sakitku tak kunjung reda. Justru semakin sakit saat aku menyadari satu keinginan besarku saat ini.

Aku tidak akan membiarkanmu pergi.

*****

Kapan kau kembali? Tidak ada hal menyenangkan yang bisa kulakukan tanpamu.

Aku kembali memainkan ponselku sebentar sembari menunggu. Namun, yang kulakukan hanyalah membuka satu pesan yang kukirimkan ke Hana empat bulan yang lalu. Wanita itu memang tidak membalasnya, tapi dia membacanya dan itu cukup untuk membuatku tersenyum tipis. Setidaknya dia tahu perasaanku. Kukirim pesan lain untuknya dengan harapan dia akan membalasnya kali ini.

"Hai Paman Jin~"

Aku menoleh dan mendapati Ho Seok yang baru saja datang bersama rombongan lainnya. Aku agak kaget karena yang kutahu hanya Ho Seok yang mengajakku ketemu hari ini, tapi Taehyung, Namjoon, Yoongi, dan Jimin serta Hyun juga datang.

"Kenapa kalian tiba-tiba datang ramai-ramai seperti ingin menghajarku? Aku jadi agak takut," candaku.

Tiba-tiba saja Jungkook muncul dari belakang mereka dengan membawa kue ulang tahun. Lagu ulang tahun mengalun. Cafe yang tadinya hanya ada aku dan pelayan kini seketika mengubah suasana menjadi ramai.

"Apa ini? Kayak anak kecil saja," ucapku setelah meniup lilin di atas kue ulang tahun.

"Supaya Paman selalu ingat bahwa umurmu sudah 36 tahun dan kami semua menunggu undangan," jawab Ho Seok.

"Ah, ayolah. Umur itu bukan tolak ukur untuk kita melakukan sesuatu," sanggahku.

"Oh iya?" Tiba-tiba Jungkook mengambil sebagian krim kue dan mengoleskannya di wajahku. Tidak menunggu waktu lama hingga kami semua mengacaukan pesta dengan bermain krim kue bak anak kecil.

"Ah sudah hentikan kita seperti anak-anak saja," kata Suga setelah seluruh kue dan krimnya hancur dan bertengger di kulit wajah serta pakaian kami.

"Aku mau minta maaf pada kalian." Akhirnya aku punya keberanian untuk mengungkapkan perasaanku selama ini kepada sahabat-sahabatku. "Jujur aku iri dengan karir kalian semua. Aku merasa hanya aku yang gagal karena itu aku tidak nyaman di dekat kalian. Aku selalu merusak suasana saat kita bersama."

Ho Seok tersenyum. "Waktu bisnisku jatuh aku juga berpikiran sama denganmu. Aku merasa minder dan tidak punya tempat. Tapi saat melihat kalian masih tersenyum dan menyemangatiku aku merasa semua kekhawatiranku sia-sia."

"Lagipula bukannya Paman Jin sudah mulai lebih sukses dari kami, ya?" goda Jimin.

"Iya. Album baru Paman benar-benar meledak," tambah Taehyung. "Parhelion kan? Baru seminggu, tapi hampir seluruh dunia sudah mendengarkannya."

"Liriknya juga sangat dalam," kata Namjoon. "Salah satu lagunya itu menceritakan lelaki yang kehilangan cinta pertamanya. Saat cinta pertamanya pergi, dia baru sadar bahwa lelaki itu juga cinta pertama sang wanita. Pada akhirnya hanya penyesalan yang ada karena mereka tidak berani mengungkapkan padahal mereka saling menyukai."

Aku hanya tersenyum menanggapi reaksi berlebihan dari sahabatku.

"Ngomong-ngomong Parhelion itu apa?" tanya Yoongi.

Aku menerawang sejenak. "Parhelion itu adalah saat aku bertemu dengannya. Nanti."

*****

Saat itu terjadi, semua sangat indah sehingga kau tidak akan melihat ke arah lain.

Sudah berkali-kali aku mengulang lagu yang kubuat empat bulan yang lalu. Pianoku bak tak mengizinkan jari-jariku untuk memainkan lagu lain. Aku sangat menyukainya. Bukan karena lirik lagu atau nada ballad-nya yang dipuji-puji bayak orang. Aku hanya suka karena lagu ini terinspirasi saat mengingat senyumnya. Senyumnya lima bulan yang lalu ataupun senyumnya dua puluh dua tahun yang lalu.

"Kau begitu bangganya, ya, dengan lagumu sendiri hingga memainkannya berkali-kali?"

Tanganku berhenti. Dengan cepat aku bangkit dan menoleh ke asal suara. Senyum yang sangat kurindukan menyambutku. Binar mata yang ceria memaku pandanganku. Tubuh mungil yang kuinginkan berwujud di hadapanku. Seketika dunia sekitarku runtuh dan hanya menyisakan dirinya di hadapanku. Seketika kurasa aku akan membeku hanya dengan menatapnya saja. Menatap cantik, indah, dan besarnya rinduku menjemput.

"Apa kau melihatnya? Phantom sun yang kau cari?" tanyaku.

Wanita itu mengangguk sembari tersenyum cerah. "Iya. Aku melihatnya sekarang."

Tidak menunggu waktu lama hingga kubawa tubuh mungil wanita itu ke pelukanku. Kuhirup wangi rambutnya berkali-kali untuk menuntaskan seluruh rinduku.

Kulepaskan pelukan kami dan kutatap kedua bola matanya dalam. "Kau harus bersiap-siap karena aku tidak akan melepaskanmu. Kalau perlu aku akan mengikatmu di tubuhku."

Dia tersenyum indah dan mengangguk anggun. "Aku tahu."

*****

EPILOG

Tiga hari lalu di Paris

"Aku pulang."

Hana memasuki rumahnya dengan berlari-lari kecil. Dia menyeka sisa-sisa salju yang bertengger di bahu dan kepalanya. Seorang wanita tua yang masih segar bugar mendatanginya dan berdiri tersenyum di hadapannya.

"Ibu..."

Sudah lima bulan sejak Hana tinggal bersama Ibunya. Lima bulan lalu, ketika Hana berada di Pulau Jeju, dia mendapat telepon yang mengatakan bahwa Ibunya ada di rumahnya, di Paris. Hana segera ke sana dan meninggalkan Seok Jin. Dia pun merasa hubungannya dengan Seok Jin tidak lagi baik. Hana hanya membawakan masalah bagi lelaki itu.

Akhirnya sang ibu membuka hatinya. Hana menangis gembira saat ibunya mendekap erat dirinya. Rupanya selama ini sang ibu menyuruh orang untuk memata-matanya putri simata wayangnya dan sejak Hana ke Korea, mata-mata ibunya berpikir Hana hilang. Tentulah sang ibu sangat khawatir dan mencarinya ke mana-mana. Dari situlah Hana tahu bahwa ibunya tak pernah berpaling darinya. Keluarganya tetap ada untuknya.

"Hana, kau tahu kenapa Ibu tidak menyukai mantan suamimu dulu?"

Hana yang sedang menyeruput cokelat panasnya terdiam sejenak lalu menggeleng. Ada sedikit rasa bersalah di hatinya. Seandainya saja sejak dulu dia mendengarkan perkataan ibunya.

"Karena kau menikahi suamimu dengan terburu-buru. Kau menikah dengannya untuk melupakan seseorang. Kau juga mempertahankan pernikahanmu untuk membuktikan padanya kalau kau bahagia walaupun tidak begitu kan?"

Seketika Hana terbang menuju ingatannya dua belas tahun yang lalu. Dia ingat panggilannya yang ditolak dan membuatnya menangis setiap saat. Foto orang yang dirindukannya terpajang di mana-mana, tapi tak pernah bisa dia temui langsung. Lalu ingatan puncaknya saat orang tersebut berlalu begitu saja dan tidak menjawab sapaannya.

Bunyi ponsel di meja kembali membawanya menuju masa sekarang. Dia meletakkan gelas cokelat panasnya dan mengambil ponsel tersebut. Sebuah pesan dari Seok Jin.

'Bukannya kau ibu periku? Kembalilah dan kabulkan keinginanku. Kau adalah keinginan terbesarku.'

"Kenapa kau harus mencari orang lain untuk melupakannya?" tanya sang ibu. "Jangan lupakan dia. Ingat dia walaupun berat. Hadapi dia walaupun berat. Cinta memang tidak mudah."

Air mata Hana berjatuhan. Dia beranjak memeluk ibunya yang duduk di sofa yang tak jauh darinya.

"Aku akan menemuinya, Bu."

SELESAI

avataravatar