1 1. TEMAN SMP

"Mauza!"

Aku memicingkan mata melihat lelaki berambut keriting meneriaki namaku sambil melambaikan-lambaikan tangannya. Keningku sedikit berkerut. Kuperhatikan wajahnya seperti tak asing bagiku. Tapi aku tak ingat siapa dia. Tak lama kemudian, dia berlari menghampiriku.

"Za, ingat aku nggak?" tanyanya dengan senyum merekah.

Aku menggeleng polos.

"Aku Zaki. Kita dulu satu SMP. Ingat kan?"

Aku menggeleng lagi. Jujur aku memang tidak ingat.

"Masa kamu bisa lupa sama cowok paling famous di sekolahan kita dulu?" katanya berlagak pamer.

"Aku dulu pernah..."

Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, aku sudah berjalan meninggalkannya tanpa kata perpisahan, karena taksi yang kupesan sudah tiba.

Agak tidak sopan memang karena tak menghiraukannya. Tapi aku memang tidak mengingatnya meskipun wajahnya tak asing. Jadi untuk apa aku berbasa-basi dengannya?

"Hati-hati Zaa..." teriaknya melambaikan tangan.

***

Sudah dua tahun aku tak menginjakkan kaki ke rumahku yang sederhana ini. Sudah dua tahun pula aku tak pernah merasakan lezatnya masakan mamaku sendiri. Kali ini aku benar-benar senang bisa pulang ke tanah kelahiranku, di Aceh. Banyak sekali kenangan di sini yang tak bisa kulupakan.

Siang ini, aku sedang menikmati makan siang bersama mama. Mama sengaja membuatkan masakan khas Aceh kesukaanku bernama kuah Pliek U, yaitu gulai yang terbuat dari berbagai campuran sayur-mayur dan ditambah bumbu khas bernama Pliek U atau bisa dikatakan bumbu yang terbuat dari kelapa parut yang telah difermentasi selama tiga hari. Ditemani juga dengan telur asin dan ikan asin. Menu yang sederhana, tetapi lezat untuk disantap.

Orang-orang biasanya suka sekali menyantap kuah Pliek U dengan nasi dan ikan asin. Tetapi aku lebih doyan makan kuah Pliek U ini dengan nasi hangat dan telur asin. Rasanya benar-benar nikmat dan gurih. Apalagi kalau sebelumnya nasinya itu dibungkus pakai daun pisang. Beuh... rasanya dijamin jauh lebih mantap dan harum!

Meskipun mamaku bukan asli Aceh, tapi kuah buatannya tidak kalah saing sama kuah Pliek U yang dibikin oleh penduduk asli. Bahkan, sering kali aku tambuh sangking enaknya.

"Jadi kek mana? Dah siap belom?"

Mama tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang tak kumengerti.

"Siap apa?" Aku balik bertanya.

"Menikahlah! Pake tanya lagi."

Aku rada kaget mendengar jawaban Mama. Baru saja pulang, bukannya menanyakan kabar atau bagaimana aku selama merantau di daerah orang, dia malah menanyakan hal yang membuatku jemu.

"Ish! Apa lu Mama ni! Baru pulang udah ditanyain kek gitu. Kek nggak ada obrolan lain," cercaku dengan logat yang tak bisa dilepas.

"Lah, kan kemarin udah sepakat mau dijodohin sama anaknya teman Mama. Masa kamu nggak mau terus ngebahas tentang ini?"

"Mauza nggak mau dijodohin, Ma."

"Kok nggak mau? Kemarin itu waktu kita bahas tentang perjodohan ini, kamu diam aja. Nggak ada komplain. Kok sekarang malah nggak mau," protes Mama.

"Mauza diam bukan berarti Mauza setuju kan?!" cercaku.

"Jadi kamu maunya gimana? Usia kamu sekarang mau jalan 21 tahun. Kamu kan tau keluarga kita pada nikah muda semua. Masa kamu sendiri yang nikahnya telat."

"Ma, sekarang tu udah nggak jaman lagi yang namanya ngejodoh-jodohin. Mauza bisa cari sendiri."

"Sekarang Mama tanya, apa laki-laki yang kamu cari itu udah ketemu?"

Aku terdiam.

"Belum kan?" picik Mama.

"Jadi ya udah, terima aja sama perjodohan ini. Lagian dia itu anaknya dari temannya Mama. Anak baik kok. Mama juga nggak bakal mungkin ngasih kamu calon yang nggak baik," ujar Mama.

"Bukan masalah itu, Ma. Tapi kalau Mauza nggak cinta mau gimana?"

"Makanya itu Mama tanya kamu udah siap atau belum? Kalau udah, baru deh kalian ta'arufan. Pasti lama-lama kalian bakal saling suka kok."

Aku memilih diam dan melanjutkan acara makan siangku daripada menyahut pembicaraan yang tak aku senangi.

***

"Mauza!"

Aku menoleh ke arah gadis berkulit hitam manis yang memanggilku barusan. Gadis berkerudung abu-abu itu tampak berjalan mendekatiku. Senyumku pun mengembang melihat sosoknya yang sudah lama tak kulihat. Dia Intan, teman SMP-ku. Aku tidak menyangka bisa bertemu dengannya di kedai milik Pak Samsu. Kedai tongkronganku dulu semasa SMP.

"Udah lama kita nggak bersua. Kek mana kabarnya?" Intan bertanya padaku.

Aku menyahut. "Alhamdulillah, sehat-sehat aja. Kamu sendiri gimana?"

"Alhamdulillah. Aku juga sehat-sehat aja," jawab Intan dengan senyum manisnya, memamerkan lesung pipitnya yang dalam itu.

"Kamu makin cantik ya, Za." Intan memujiku, membuatku sedikit tersipu.

"Dih, kamu mah bisa aja. Kamu lebih cantik tau, In."

Dia sedikit kaget, kemudian tertawa. "Sekarang logat kamu udah kek orang sana ya, Za. Gue jadi speechless dengarnya. Hahahah," ucapnya sedikit menirukan logat orang Jakarta sambil menepuk pelan lenganku.

Aku hanya ikutan tertawa.

"Oh ya, kapan nyampenya?" tanya Intan.

"Tadi pagi. Jam sebelas," jawabku singkat, padat, dan jelas.

"Oohh..." Dia bermanggut paham.

"Sendirian aja?" tanyanya lagi.

Aku sedikit melipat dahi. "Ya emang sendiri. Kan aku ngerantau sendiri di sana."

"Engga, maksudnya kamu sekarang ke sini perginya cuma sendirian aja?" ulangnya memperjelas sembari menunjuk bawah, bermaksud mengatakan tempat yang sedang kita singgahi ini.

"Ooh... Iya. Cuma sendiri," sahutku yang tadinya gagal paham.

Intan duduk di kursi panjang depan kedai Pak Samsu. Aku-pun ikut duduk di depannya, di kursi panjang satunya lagi.

"Za, berhubung kamu lagi di Aceh, kek mana kalau kita ajak reunian sama anak kelas kita dulu?" usul Intan.

"Emang mereka mau?" tanyaku.

"Ya maulah! Nggak mungkinlah orang ni nggak mau jumpa sama primadona di sekolah kita dulu."

Aku tertawa renyah. "Primadona apaan!"

"Aku ingat kali waktu SMP dulu, kamu dikejar banyak anak laki. Tapi nggak ada satupun yang kamu terima," katanya mulai mengingat-ingat masa lalu.

Aku tersimpul simpul. Lucu juga membayangkan kenangan masa lalu. Saat aku mencoba mengingat-ingat kenangan itu, terlintas sosok seseorang di pikiranku. Aku tersentak, kemudian cepat-cepat menanyakan kabar sosok itu ke Intan.

"Oh ya, In." Kepalanya langsung tertoleh ke arahku. "Kamu tau Dina sekarang tinggal di mana? Masih di rumahnya yang lama kah?" tanyaku.

"Umm... Setahuku dia sekarang udah tinggal di Padang. Ikut suaminya," ujar Intan.

"Suami?" Alis sebelahku terangkat.

Intan mengangguk. "Iya. Kamu nggak tau Dina udah nikah? Dia udah punya anak malah, dan sekarang lagi ngandung anak kedua," ungkapnya.

Aku hampir terperangah mendengar kabar itu yang sudah tak up to date lagi. Ya, kuakui aku orangnya memang sedikit kudet untuk masalah beginian.

"Dia nikah sama teman SMA-nya," lanjut Intan.

Mendengar ucapan Intan barusan, mataku refleks menatap Intan dengan serius.

"Apa nama suaminya itu Fahri?" tanyaku, berharap dugaanku benar.

Intan tampak berpikir. "Hmm... Nggak tau," jawab Intan. "Kamu tau dari mana kalau nama suaminya Fahri?"

Bola mataku bergeser, berpaling darinya. "Nggak," jawabku kagok sembari menggeleng.

Intan mengerutkan dahinya. Dia menatapku heran. Aku hanya membalasnya dengan cengiran kaku.

"Kamu punya nomor WA-nya Dina nggak?" tanyaku lagi.

Aku sungguh penasaran dengan kabarnya Dina. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan pada Dina.

"Punya. Kamu udah lost contact ya sama Dina?" tanya Intan.

"Ho'oh. Soalnya dulu HP-ku pernah dicopet orang. Jadi ya aku nggak punya nomor-nomor anak sekolah kita dulu lagi."

"Pantes WA kamu nggak pernah aktif. Emang kamu nggak ada coba hubungi dia gitu di Instagramnya?"

"Aku nggak tau nama IG-nya. Waktu itu aku pernah nyoba nyari, tapi nggak ketemu."

"Oh, iya sih. Soalnya username-nya bukan nama dia," kata Intan yang baru sadar bahwa akun Instagram milik Dina tidak memakai nama asli.

Intan mengeluarkan ponsel dari kantong piyamanya. Kemudian dia sodorkan padaku. "Aku minta nomor kamu biar bisa kirim kontaknya Dina."

Aku meraihnya. Segera kutekan tombol-tombol angka di ponselnya itu. Kusimpan nomorku di ponselnya lalu kuberikan kembali ponsel itu ke si pemilik.

Intan meraihnya lalu dia sibuk mencari kontak Dina. Tak lama, ponselku bergetar, membuatku tersentak kaget karena geli.

"Udah aku kirim nomornya," lapor Intan.

"Eh, iya. Makasih banyak, In." Aku mengambil ponselku lalu kulihat bar notifikasi di ponselku itu. Ada sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Siapa lagi kalau bukan nomor Intan?

"Aku duluan ya, Za," pamit Intan menepuk pundakku lalu bergegas pergi.

"Sip!" pungkasku mengacungkan jempol, lalu kembali ke rumah.

**

Sampai di rumah, kulihat banyak sandal dan sepatu di teras rumahku. Sepertinya lagi ada tamu, pikirku saat itu. Pantas saja mama menyuruhku membeli kue di kedai Pak Samsu.

Aku pun terpaksa masuk lewat pintu belakang. Kulihat mamaku di dapur sedang berbincang-bincang bersama seorang wanita berambut pendek, yang kira-kira sebaya dengan mamaku.

"Nih Ma, kuenya." Aku meletakkan kantung plastik bersisi kue di atas meja dapur.

Mamaku menengok. Begitu juga dengan wanita yang sedang bersamanya itu.

"Ehh, ini ya anak kamu yang mau dijodohin sama anakku?"

Deg! Aku refleks menatap wanita itu. Tak kusadari, aku malah tersentak kaget ketika melihat wajahnya. Rupanya tak asing bagiku. Wajahnya seperti sosok yang kukenal. Tetapi, aku langsung menepis pikiranku itu jauh-jauh. Mungkin saja hanya mirip dengan orang yang kuduga.

"Iya," jawab Mamaku.

"Mauza, salim dulu," tegur Mama.

Aku tersadar, dan langsung menyalami wanita itu. Wanita itu tersenyum padaku.

"Cepet ganti baju yang lebih rapi sekarang," perintah mamaku berbisik tajam.

Aku mengangguk saja lalu terbirit-birit ke kamar untuk mengganti pakaian. Kututup pintu rapat-rapat lalu bersandar di belakangnya. Dadaku entah mengapa jadi berdebar tak karuan seperti orang yang baru saja terkena efek samping kelebihan dosis.

"Nggak... Nggak.. Nggak! Jangan sampe, Mauza! Jangan sampe itu diaaa...!!" jeritku dengan suara tertahan.

"Kenapa mereka datang tiba-tiba sih!?"

"Nggak mungkin itu mamanya Rian. Nggak mungkin!" gumamku gelisah. Aku menggigit kuku dengan perasaan cemas. Takut jika apa yang aku duga itu benar.

Tok..Tok..Tok...

Pintuku diketuk pelan. Aku berbalik.

"Cepetan ganti baju sekarang!" suara mamaku terdengar dari balik pintu. Mau tidak mau aku terpaksa mengganti baju dan menemui mereka.

**

Tak perlu waktu lama untuk berganti pakaian, aku keluar dari kamar, mencari mamaku. Kuintip sedikit ruang tamu. Teman mamaku itu melihatku lalu memberitahu mamaku. Mama menoleh ke arahku, lalu berjalan menghampiri.

"Ayuk!" ajak Mama menggandengku.

Aku dituntun ke ruang tamu dengan wajah menunduk karena malu.

"Kenalin, ini dia anakku. Mauza." Mama memperkenalkanku pada mereka semua. Aku dapat melihat ada empat pasang kaki, itu artinya ada empat orang yang bertandang kemari.

Mama menyikutku, memberi kode untuk menyalami mereka semua. Aku pun mengangkat kepala secara perlahan. Kulihat ada tangan yang mengulur di depanku, menunggu sambutan tanganku. Dengan tangan yang sedikit bergetar, aku menjabat tangannya.

"Rian."

DEG!

Suara itu... Suara yang kukenal. Nama itu... Nama yang kuduga-kuduga. Sontak, aku memberanikan diri mengangkat pandangan lebih cepat dan menatap si pemilik jemari lentik itu.

Manik mata kami pun bertemu. Aku sangat terkejut melihat sosok laki-laki yang ada di hadapanku saat ini. Benar dugaanku! Dia adalah Rian! Kulihat senyum yang terukir di wajahnya itu tiba-tiba memudar. Tanganku jadi bergetar hebat, dan sekonyong-konyong aku melepaskannya. Aku mendadak ciut. Tak berani menatapnya lebih lama. Segera kutundukkan kembali kepalaku, kusembunyikan wajahku yang sudah padam ini dengan rambut yang sengaja kubiarkan terurai.

Kenapa kamu hadir di saat aku mulai melupakanmu?

.

.

.

.

.

.

.

.

.

To Be Continue...

JANGAN LUPA VOTE! ^^

avataravatar