1 Sekolah Baru

Aku seorang gadis lugu kata orang. Badanku kecil. Kaca mata tebal sebagai ciri khas. Seorang gadis putri dari tukang cuci keliling. Namaku Fatimah. Kata ibu, nama itu sangat baik aku sandang. Ibu mengidolakan Fatimah Azzahra putra dari Rosulullah Muhammad. Entahlah, apakah aku bisa sehebat Fatimah Azzahra.

Cita-citaku membutuhkan perjuangan. Kalian tahu, aku harus belajar berjam-jam setiap harinya agar dapat meraih nilai sempurna. Ingin masuk ke Jakarta International High School, tentu sebuah kemustahilan bagiku. Tapi aku harus bisa. Hanya di sana, jika ingin nantinya lulus dengan nilai sempurna dan masuk ke universitas hebat dan terkemuka. Kalian tahu, mengapa? Cita-cita akhirku sebenarnya sederhana. Bisa layak hidup di masa depan dan bekerja ditempat yang layak. Tidak muluk-muluk, aku hanya ingin mendirikan loundry untuk ibuku. Supaya dia tidak jadi tukang cuci keliling lagi.

"Fatimah, Umar! Bangun, Nak. Dengar, subuh sudah berkumandang." Aku dan Umar adikku mengulat. Dasar adikku, dia kembali tidur dan aku punya cara untuk membangunkannya. Aku gelitiki saja dia, hingga tawanya meledak karena merasakan geli. Kami sholat berjamaah di masjid yang tertera hanya beberapa meter dari rumah kami.

Ini pagi pertama aku akan masuk ke kelas international tersebut. Hatiku dag-dig-dug der rasanya. Apakah disekolah baru itu aku akan diterima? Aku tidak kenal siapa pun di sini. Aku mengayuh sepedaku dengan sangat kencang agar sampai ke sekolah tepat waktu. Hampir saja, sebuah mobil mewah menyerempetku. Padahal aku sudah di jalur sepeda. Mungkin aku yang kurang hati-hati.

Pintu gerbang sekolah sudah terlihat. Pak satam menjaga sekolah tersebut sudah ada di depan gerbang. "Nak Fatimah, ya?" Pak satpam tersebut mengenaliku.

"Iya, Pak." Aku tersenyum.

"Kamu sekolah di sini? Biayanya 'kan mahal?" tanya Pak Satpam. Satpam tersebut bernama Pak Salim. Dia beberapa kali membantu ibuku mencarikan pelanggan, karena kenal dengan orang-orang kaya.

"Saya dapat bea siswa, Pak. Mari." Aku mengangguk dengan sopan. Aku menuntun sepedaku masuk ke tempat parkir. Aku bingung harus parkir di mana? Semua parkiran hanya ada parkir mobil dan motor. Akhirnya aku parkir di tempat paling ujung mepet tembok. Setelah sepeda berdiri dan kustandarkan, jalan ke lorong untuk mencari kelas. Ini pertama kali, jadi tidak tahu sama sekali ruangan-ruangannya.

"Ini petunjuknya." Aku melihat petunjuk dari papan petunjuk. Setelah itu, berjalan menyusuri lorong lagi. Ruang sepuluh A berada di lantai atas paling ujung. Aku memasuki ruangan setelah menemukan ruanganku. Karena masih sedikit sepi, aku duduk saja di lajur tengah nomer dua. Aku tersenyum kepada beberapa anak, walau mereka tidak membalas senyumanku.

Tidak begitu lama, anak-anak dengan gaya feminim kata orang. Rok di atas lutut dan baju kesempitan datang. Mereka berlima dan menggangguku.

"Diri, Lo! Ini kursi gue!" Teriak salah satu anak. Aku tidak mau ribut. Aku pindah ke kursi sebelah.

"Ait, itu juga tidak bisa. Lo tidak pantas duduk di kelas ini. Lo berdiri saja di depan kayak patung pancoran." Hahahaha ... mereka mentertawakanku. Aku berdiri, tapi di antara kursi.

"Eh, Lo orang udik. Lo 'kan yang parkirin sepeda di tempat parkir mobil gue?" Aku mengerutkan kening.

"Iya, maaf. Akan saya pindahkan." Aku anak baru di sini. Jadi tidak mau membuat masalah. Lebih baik mengalah saja.

"Tidak perlu. Sudah saya pindahkan." Aku tersenyum. Walau jutek, rupanya dia baik.

"Eit, jangan senang dulu. Aku pindahkan di selokan." Mereka mentertawakanku lagi. Aku berjalan akan melihat sepedaku. Tapi gadis itu menjagal langkahku hingga aku terjatuh dan kaca mataku entah kemana. Pandanganku kabur. Aku tidak bisa melihat apapun. Aku meraba-raba tapi tidak mendapatkan kaca mataku. Malah mendapatkan sepatu, dengan samar-samar aku melihat kearah pemilik sepatu itu. Dia membungkuk dan membangunkanku.

"Terima kasih, Mas. Aku sedang mencari kaca mataku yang terjatuh." Dia memakaikan kaca mataku. Aku menganga. Dia seorang lelaki dan sangat tampan. Wajahnya putih dengan garis yang tegas. Kedua alisnya tebal menandakan seorang lelaki yang gagah. Matanya sangat tajam. Bola matanya semu biru? "Dia bukan orang Indonesia?" batiku berkata.

"Mas? Hai, temen-temen. Dia panggil Brian mas? Lo kate Brian tukan somay?" Wanita yang bajunya sangat ketat itu mendorongku.

"Cukup, Melly. Kau memang benar-benar, ya? Setiap ada anak baru, kamu kerjain. Lebih baik isi otak lo dengan rumus kimia, dari pada dengan kejahatan dan kesirikan. Jangan ladenin orang syarap macam Melly. Mari duduk. Di debelahku saja." Dia menggandengku. Kami duduk bersebelahan.

"Semalam mimpi apa aku, dia begitu tampan dan mempesona. Dadaku terasa berdebar kencang. Mungkin aku sakit? Kepalaku terasa panas digandeng dia seperti ini." Hatiku berkata dan bersabda tak tentu arah. Dia menggandengku dan kami duduk di bangku paling belakang.

Aku meletakkan tasku di laci. Dia berada di samping kiriku, sedang aku samping kanan dia tepat di bawah jendela. Ekor mataku meliriknya, dari sudaut manapun, dia sangat tampan. Aku tidak tahu lagi berapa kali hatiku menjerit menyuarakan namanya, Brian, Brian dan Brian.

"Jangan melirik, nanti juling lho. Kalau mau memandangku, menghadap kemari saja." Brian memegang pipiku dan membuatku menoleh ke arahnya. Aku tidak bisa menatap matanya yang tajam. Aku hanya menunduk dan dia menggodaku dengan menelusupkan wajahnya ke bawah dan memandangku dari bawah. Ah, aku sampai kikuk menceritakannya saking senengnya. Apa kalian tahu, saat ini jantungku rasanya mau meledak.

"Selamat pagi, Anak-anak." Seorang guru laki-laki datang. Posturnya tinggi tegap, dengan kemeja putih yang rapi. Rambutnya lurus di sisir ke belakang. Rambutnya klimis dan aroma wangi seketika menyeruak di dalam ruangan itu.

Setelah berdoa, maka guru tersebut mengabsen. "Ada yang belum saya panggil?" tanya guru tersebut. Aku mengacungkan tanganku. Guru tersebut tersenyum.

"Ah, iya. Fatimah, kemarilah." Aku tidak tahu jika guru tersebut sudah mengenalku.

"Kamu di panggil. Hati-hati!" Brian memberikan jalan kepadaku. Aku berdiri dan tersenyum padanya. Kulihat, Melly in the gank memutar bola matanya malas. Biarkan saja, orang-orang itu tidak penting bagiku. Aku hanya ingin sekolah di sini. Aku berjalan akan maju ke depan. Akan tetapi, belum sampai di depan, satu orang menjagal langkahku hingga aku terjatuh dan kaca mataku retak. Aku belum tahu kondisinya, tapi terdengar bunyi benturan seperti benda yang retak. Brian berlari menolongku demikian juga dengan guru itu.

"Hati-hati, Fatimah." Brian membangunkanku, sedangkan duru itu mengambilkan kaca mataku. Guru itu memberikan kaca mataku, aku memakai kaca mata yang retak. Bayangan bisa kuterima tapi terpotong-potong. Untung yang satu belum retak. Brian menuntunku sampai ke depan untuk memastikan aku selamat sampai di depan.

"Terima kasih, Brian." Dia mengangguk dan tersenyum. Dia berdiri di sampingku.

"Brian makin tampan," batinku meronta. Tapi segera kukibaskan wajahku untuk menanggalkan dia dari pikiranku.

"Fatimah, perkenalkan dirimu agar teman-temanmu mengenalmu."

"Assalamualaikum, nama saya Fatimah Azzahra. Biasa dipanggil Fatimah." Hanya itu yang aku bisa beri tahu pada mereka. Bukan apa-apa, jika aku memberi tahu siapa aku, mereka akan semakin membullyku.

"Teman-teman, Fatimah ini sangat pintar. Dia siswa akselerasi dari SMA Negeri. Dia mendapatkan bea siswa hingga jenjang universitas yang dia mau, karena memenangkan kontes robotik bersama tim nasional. Semoga kalian bisa berteman sama dia." Brian disampingku terlihat menganga. Dia memandangku sangat dalam. Aku hanya menunduk saja. Tap[i masih bisa kulihat raut kagum dari wajahnya, melalui ekor mataku.

avataravatar