19 Isi hati Yara

Dengan mengendap-endap Yara keluar dari kamar mereka berempat. "Aku pergi bentar," ujar Yara berbisik.

Yara menutup kembali pintu dengan hati-hati. Berjinjit menyusuri ruangan demi ruangan yang terdapat di kediaman mereka.

Selepas dari tantangan yang terbilang gampang karena keahlian yang di atas rata-rata. Kini Yara berhasil pergi dari rumah.

Yara menaiki motor sport kesayangan yang berhasil dibelinya dengan cara bekerja sebagai pembunuh.

Yara mendorong motor tersebut. Merasa sudah cukup aman akan suara knalpot motor yang menggelegar. Yara menaikinya dan melaju ke bukit yang sering ia singgahi ketika gundah.

Di tengah perjalanan, Yara tak sengaja melaju kencang di depan seorang pengendara yang membuat pengendara itu oleng seketika.

"Woy! bawa motor yang benar dong!!!" teriak pengendara itu. Namun Yara tak mendengarnya, malah melaju semakin cepat.

"Ck!!!" Pengendara itu menyejar Yara. Menancap gas tak kalah cepat dari Yara.

☆☆☆☆☆

Kini Yara telah sampai di bukit yang selalu disinggahinya sewaktu gundah. Ia melepas helm lalu mengibas rambut ke kanan kiri.

"Hah! Yara?" ujar pengendara yang sempat mengejar Yara tadi dengan ekspresi terkejud. Penerangan memang hanya berelaskan secerca cahaya bintang. Namun dengan penglihatan yang tajam sebagai anggota gank, dan sudah terlatih untuk melihat secara detail bahkan di tengah minimnya cahaya sekalipun. Orang itu bisa melihat dengan sangat jelas.

Yara berjalan menaiki bukit. Hingga tiba di atas bukit. Ia memejamkan matanya, merasakan semilir angin menembus tulang.

Yara terus memejamkan mata sehingga ia tidak tau menau jika seorang laki-laki tengah mengintip di sebalik pohon.

"Yara ngapain?"

"Argh!!! aaa!!!" teriak Yara menyalurkan semua isi hatinya sehabis merasakan angin yang begitu menghanyutkan.

"Yara lelah ya Tuhan, Yara lelah selama 10 tahun gak pernah rasain kasih sayang orang tua Yara! Yara sakit ya Tuhan!!!" Yara memukul-mukul dadanya mulai bercerita.

Seseorang yang melihat itu semua dari sebalik pohon ikut merasa sakit akan rintihan Yara.

"Ya Tuhan!!! dengarkan Yara!!! Yara pengin bahagia. Yara gak sanggup harus lihat mereka semua hidup dengan kekejaman dunia ini ya Tuhan! apa Yara gak ditakdirkan untuk rasain itu semua?!"

"Yara pengin mati! Ayah pergi ya Tuhan, dan kenapa Ibu harus ikut?! apa mereka gak mau ada Yara di sini?! jadi mereka yang tinggalkan Yara? kenapa ya Tuhan? kenapa bukan Yara saja yang pergi!!!" tangis Yara semakin menggelegar.

"Hiks, Hiks. Ayah!!! Yara di sini Ayah! Yara sudah besar, apa Ayah gak mau liat Yara? Yara gak pernah lagi ngerasain pelukan Ayah!" Tanpa merasakan sakit di tenggorokannya, Yara terus berteriak sekuat tenaga.

"Ibu! Ibu yang sudah lahirkan Yara!!! apa ibu nyesal lahirin Yara? Yara sakit Ibu! Yara mau Ibu!!! ya Tuhan, kau boleh siksa Yara, kau boleh pukul Yara! tapi tolong ... jangan ambil mereka dariku ya Tuhan!!!"

"Yara sudah 10 tahun begini. Yara lelah selalu berjalan tanpa tau arah tujuan! Yara mau ketemu mereka ya Tuhan!!!"

Orang yang sedang bersembunyi menunduk ikut merasakan. Ia tak tau jika masa lalu Yara sekejam ini.

"10 tahun? berarti dia masih berumur 5 tahun sudah kehilangan orang tua?"

"Yara sebenarnya tak mau menjadi pembunuh. Namun Yara tak suka mereka begitu mudah menyakiti orang yang bahkan sangat menyayangi mereka!" Yara meremas rambutnya kuat.

"Ya Tuhan! mengapa kau jahat padaku! aku salah apa ya Tuhan?!" Yara duduk memangku kakinya. Kembali mengingat masa kecilnya.

"Siang Om?" ujar Yara kecil dengan membawa tempat makan berisikan kue donat yang bertabur misiseres warna warni.

"Pergi hus pergi!" ujar seorang Pria dewasa dengan mendorong tubuh kecil Yara agar segera menjauh dari tempatnya.

Yara kecil dengan terpaksa harus gagal lagi. Hari semakin sore tetapi dagangan Yara masih tersisa banyak.

Yara melihat iba dagangannya. Yara mengambil sebuah donat lalu dimakannya dengan terus berjalan menyusuri trotoar.

"Kue buatan Nenek enak kok. Kenapa mereka tak mau membelinya? bahkan melihat saja tidak mau." Yara kecil menghela nafas gusar, sepertinya kali ini ia akan pulang dengan hanya membawa uang 10 ribu saja.

Yara terkekeh kecil mengingat itu semua. "Sungguh menyayat hati." Yara menyungging senyum.

"Alam! dengarkan Yara! Yara berikan seluruh tubuh Yara tetapi bahagiakan mereka. Buat Nala menjadi terbuka, Anila yang menjadi periang seperti Arunika. Yara berikan seluruh jiwa Yara tapi tolong buat mereka bahagia! tak apa Yara harus berkorban demi kebahagian mereka, bukankah jika mereka bahagia kita juga bahagia?"

"Yara sangat menyayangi mereka ya Tuhan. Mereka yang diam-diam selalu ada untuk Yara. Mereka yang buat Yara selalu bisa bangkit dan tetap bertahan sampai detik ini. Namun sekerang telah berbeda. Yara nyerah!" Yara melangkah sedikit demi sedikit. Melihat ke bawah.

"Bukit ini memang tidak cukup tinggi. Namun batu besar di bawah sudah cukup untuk menghilangkan nyawaku."

"Ada kata terakhir?" Akibat pikiran Yara telah kosong. Ia sampai tak sadar jika itu perkataan dari manusia, bukan dari imajinasi.

"Bahagiakan sahabatku. Nala yang tanpa dia tau aku masih melihatnya saat menyelimutiku sewaktu tidur. Nila yang pernah mematahkan tangan orang saat dengan lancang memegangku." Sosok yang dibelakang Yara meringis kecil mendengarnya.

"Mereka yang selalu bisikin 'tetap bertahan untuk kita semua'. Tolong bahagiakan mereka. Tubuhku sudah tak kuat, Tuhan." ujar Yara kembali melangkah. Sisa selangkah lagi Yara akan merenggang nyawa. Namun itu semua sirna kerena seseorang menarik dan mendekapnya.

Yara berusaha mendongak tetapi orang itu menahan kepalanya. "Gue tau ini sakit, tapi bunuh diri itu bukan pilihan! ingat dan kunci dalam otak lo!" Yara seperti mengenal suara ini. Namun siapa? apa Bang Zafa?

Dengan sekali dorongan. Yara bisa terlepas dari dekapan orang itu.

Deg?!

"Buma?"

"kenapa?" heran Buma menaikan sebelah alis.

"Lo kok bisa di sini?" bentak Yara. "Kirain Bang Zafa," gumam Yara

"Tadi lo hampir buat gue jatuh di jalan. Jadi gue ngejar," ujar Buma enteng sembari mengantongi tangannya.

Tanpa rasa bersalah. Yara pergi melewati Buma begitu saja dengan pikiran yang berkecamuk.

"Gue di sini!" ujar Buma tepat saat Yara sejajar dengannya. Yara tak memperdulikan itu semua. Kembali ke tempat di mana motornya berada lalu pergi entah ke mana.

"Huft, gak sia-sia gue ngikutin dan dengar semua derita lo. Gue akan buat lo ngerasain semua, Yar." Buma memandang kepergian Yara dengan angin yang senantiasa menerpa tubuh atletisnya.

Lama berdiam sendirian. Buma mulai merasa kedinginan dan memutuskan untuk pulang.

"Gak jadi deh gue pulang ke rumah, balik markas ulang aja." Buma memang tadinya ingin pulang ke rumah sehabis dari markas, tetapi itu semua teralihkan dengan sosok Yara yang hampir membuatnya jatuh.

"Dia memang benar. Bunuh diri bukan pilihan, semoga mereka gak tau selama ini gue curahin semua di bukit." Yara memandang bukit yang tadi ia singgahi.

"Makasih udah lewatin semua bersama, dari sosok anak kecil yang membantu seorang Nenek berdagang donat dan sekarang menjadi pemilik tokoh kue terkenal." Yara tersenyum tulus tetapi hampa.

"Makasih juga udah diam-diam sayang sama gue."

avataravatar
Next chapter