3 BAB 2 - Hancurkan Pohon Besar

Nadia membantu Diah untuk merapikan kamar asramanya, sebenarnya tidak perlu dirapikan lagi karena tiga teman sekamarnya telah membersihkan kamar tersebut sehingga mereka hanya perlu meletakan barang-barangnya saja. Kamar asrama ini tidak terlalu besar maupun kecil, cukup pas untuk empat gadis remaja untuk menempati ruangan ini.

Kamar ini memiliki dua ranjang susun, dan Diah mendapatkan ranjang bagian atas sebelah kanan karena itu satu-satunya yang kosong, sebuah meja besar terletak diantara kedua ranjang dengan masing-masing kursi di setiap sisinya. Ada dua lemari berukuran sedang dan rak sepatu di dekat pintu, tak ketinggalan juga ada kamar mandi di dalam kamar asrama sehingga penghuni bangunan asrama tidak perlu berdesakan jika menggunakannya.

"Sepertinya kamu mendapatkan teman asrama yang cukup baik," komentar Nadia setelah melihat seisi kamar asramanya yang cukup bersih dan rapi.

"Yah siapa yang tau," jawab Diah acuh sambil menutup lemarinya, untungnya masih ada tempat tersisa untuk meletakan pakaiannya.

"Jangan bekercil hati, kamu pasti mendapatkan teman yang lebih baik," ucap Nadia menyemangatinya. "Ayo menemui mas Indra," ajaknya.

Diah menganggukan kepalanya dan berdiri setelah meletakan kopernya di bawah ranjang.

Nadia mengambil peta sekolah yang ia letakan diatas meja besar itu. "Sekolah ini cukup besar sampai memerlukan peta," keluh Nadia. "Jika tidak segera menghafalnya mungkin saja kamu tersesat." Ia menyerahkan peta tersebut pada Diah kemudian membuka pintu dan keluar.

Diah menutup pintunya dengan pelan dan menatap peta di tangannya. "Aku tidak pernah mendengar ada sekolah di pinggir kota seperti ini."

"Ini adalah sekolah swasta yang didirikan belum lama ini, walaupun masih terbilang baru tapi fasilitas dan kualitas guru di sini cukup baik sebanding dengan sekolah negeri lainnya ataupun sekolah swasta bergengsi." Nadia telah melihat informasi sekolah ini dari internet sehingga ia sedikit tahu.

Diah mengangguk mengerti dan mengikuti Nadia menuju koperasi di dekat kantin lantai dua, tempat mereka akan bertemu mas Indra sekaligus mengambil seragam sekolah yang akan ia gunakan besok.

Perjalanan dari gedung asrama perempuan ke gedung utama sekolah tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu 5 menit berjalan kaki dan mereka akan melewati lapangan basket serta taman bunga yang pernah mereka lewati tadi.

Diah menatap sekolah barunya dan sedikit puas dengan penampilannya, di bandingkan sekolahnya dulu sekolah ini sangat bagus namun dia tidak yakin dengan isinya. Pengalamannya dulu mengajarkan agar tidak melihat tampilan luar saja sebelum menilainya.

Mereka akhirnya sampai di lantai dua dan melihat Indra berdiri bersama seorang perempuan dan mengobrol bersama. Mereka menghampirinya dan membuat Indra menghentikan percakapannya kemudian memperkenalkan temannya.

"Perkenalkan dia adalah temanku dan guru bahasa inggris di sekolah ini namanya Anna."

Diah mengulurkan tangannnya dan menjabat tangan Anna untuk memperkenalkan diri.

"Jika perlu bantuan kamu bisa menghubungiku," ucap Anna sambil tersenyum.

Diah mengangguk mengerti dan membalas senyumnya.

"Cepatlah masuk untuk mengambil ukuran seragammu." Indra mengedikan dagunya memberi isyarat pada Nadia agar mengikutinya.

Nadia mengerti isyaratnya dan menuntun Diah menuju koperasi. "Ayo Diah!"

Setelah melihat kepergian mereka, Indra berbalik ke arah Anna dan mengingatkanya. "Tolong ingat ucapanku tadi."

Anna mengangguk mengerti dan memberinya senyum kecil. "Aku tahu."

oOo

Setelah mengambil seragam dan peralatan sekolah, ia segera membawanya ke dalam asrama dengan bantuan Nadia. Sepanjang perjalanan kembali ia melihat siswa-siswi yang telah meninggalkan kelas mereka karena sudah waktunya jam istirahat. Banyak yang pergi menuju kantin atau bermain di lapangan untuk sekedar menghilangkan penat setelah belajar di kelas.

Diah mengeratkan pegangannya pada kotak yang berisi seragam sekolahnya sambil melihat orang-orang berlalu-lalang. Dia tidak yakin apakah keputusannya pindah ke sekolah ini benar atau salah, apakah kejadian seperti dulu akan kembali lagi?

"Tenanglah mereka berbeda dengan sekolahmu dulu, jangan berpikir negatif." Nadia menyadari suasana calon adik iparnya dan memberikan nasehat untuknya.

"Mungkin kamu akan menemukan sesuatu yang langka disini."

Diah tidak paham apa yang di maksud Nadia, ia memiringkan kepalanya dan menatapnya bingung.

"Kau akan mengerti." Nadia hanya memberinya senyum dan menarik tangannya.

oOo

Setelah meletakan semua barang-barangnya di kamar asrama, Diah berjalan menuju tempat parkir untuk mengirim kakaknya dan Nadia pergi.

"Jika ada perlu apa-apa jangan lupa telpon aku ok." Indra mengangkat tangan kanannya dan menepuk pelan kepala Diah.

Diah hanya memutar matanya menghadapi sikap berlebihan. "Aku bukan anak-anak lagi."

"Tapi masih di bawah umur," ejek Indra.

"Aku sudah 18 tahun," balas Diah.

"Kamu yakin?" Indra dengan kurang ajar menatap Diah dari atas ke bawah dan meragukannya.

"..."

"Jika aku tidak melihatmu tumbuh sejak kecil, aku pasti mengira kamu masih SMP."

"..."

"Sungguh bagaimana bisa kamu sependek ini padahal dikeluarga kita cukup tinggi."

"..."

"Apakah saat mengandungmu ibu meminum susu yang salah?"

Diah menyingsihkan lengan bajunya dan mendekati Indra penuh amarah, walaupun dia kakaknya sediri, dia tidak peduli! Diah sangat ingin menghajarnya hingga babak belur!

"Berhentilah mengejek adikmu jika tidak dia akan merengek pulang ke rumah," Nadia mencoba menghentikan Diah karena dia tidak ingin memiliki pasangan kencan dengan wajah babak belur.

Diah mendengus kesal dan memberi kakaknya jari tengah. "Kalian pasangan yang cocok." Dengan jengkel dia meninggalkan mereka berdua tanpa menoleh ke belakang.

"Jangan lupa sering-sering hubungi orang rumah," seru Indra dengan keras.

"BODO AMAT!!!"

OOo

Malam hari.

Pemuda itu langsung membelokan stir sepedanya dan memasuki gerbang besar yang telah di buka oleh satpam yang sudah mengenalinya, ia menyapanya dengan senyum kecil dan di balas dengan anggukan oleh satpam tersebut. Dia tidak rendah diri menggunakan sepeda biasa saat memasuki rumah megah dengan taman air mancur yang berada di tengah dan patung putri duyung di sisinya.

Tak banyak berubah dari rumah ini sejak terakhir kali dia datang ke sini. Terdapat gazebo di dekat kolam ikan di sisi kanan rumah tersebut dan taman bunga di sebelah kiri. Pilar-pilar besar menompang bangunan rumah dan cat berwarna hijau melapisi dinding tersebut bersama tanaman merambat yang menjalar di dinding.

Sekali lihat terlihat jelas pemilik rumah sangat menyukai tanaman dan bunga karena banyak di tanami di sekitar rumah. Terlihat megah namun elegan yang menyatu dengan alam dan memanjakan mata.

Pemuda itu memarkirkan sepedanya di dekat tangga dan segera memasuki rumah tersebut, ia memecet bel di sisi kanan pintu dan menunggu pemilik rumah membukakannya.

Ting~~~ Tong~~~

Tak berselang lama pintu akhirnya terbuka dan terlihatlah wanita paruh baya yang terlihat berumur 40an namun masih menjaga kecantikannya, tidak ada rambut putih dirambutnya dan hanya terlihat keriput kecil di sudut matanya yang menandakan usianya.

Wanita paruh baya itu tersenyum melihat pemuda di depannya. "Rifan akhirnya kamu mengunjungi tante juga."

"Selamat malam tante Tika," Pemuda bernama Rifan itu tersenyum dengan ramah. "Maaf datang malam-malam dan menganggu tante."

"Tidak tidak." Tante Tika mengibaskan tangannya pelan dan membuka pintu lebar. "Ayo masuk terlalu dingin di luar."

Rifan tidak sungkan dan segera memasuki rumah Tante Tika, ia mengedarkan pandangannya untuk melihat sosok yang ingin ia temui.

"Om mu ada di ruang kerjanya." Tante Tika paham maksud pandangannya dan segera memberitahukan lokasi suaminya berada. "Temui dia dan Tante akan memasak dulu."

Tante Tika meninggalkan Rifan dan berjalan menuju dapur, dia telah meninggalkan masakannya dan tidak bisa terlalu lama menemani Rifan. Lagipula ia sudah terbiasa datang ke sini dan dia membiarkannya bebas menjelajahi rumahnya.

Rifan mengangguk dan mengucapkan terima kasih, ia tidak ingin menganggu kegiatan memasak Tante Tika dan naik ke lantai dua, tempat ruang kerja om nya berada. Ia cukup familiar dengan rumah ini dan tidak sulit menemukan tujuannya, tak jauh dari tangga menuju kanan lalu belok ke lorong kiri.

Ia mengentuk pintu dengan sopan dan mendengar jawaban dari dalam yang mengizinkannya masuk.

Ia membuka pintu dan melihat pria paruh baya tengah duduk dengan tumpukan dokumen di atas meja dan laptop yang di biarkan menyala, ia mengenakan kimono tidur berwarna biru yang di kenakan longgar dan memperlihatkan dada dan perutnya. Pakaiannya terlihat santai daripada pakaian formal yang biasanya dia kenakan saat bekerja yang terasa mencekik baginya.

Pria paruh baya itu menyingkirkan dokumen di depan wajahnya dan tersenyum melihat siapa yang datang. "Oh kamu datang."

Rifan mengangguk dan berjalan mendekatinya, ia duduk dikursi sebrang mejanya dan membuka ponsel untuk melakukan sesuatu. Setelah selesai dia meletakan ponselnya di atas meja dan menatap pria paruh baya itu dengan wajah serius.

"Om Ben aku mengirimkan uang tambahan untuk investasi," kata Rifan sambil menompang kepalanya dengan tangan kanannya dan mengetuk meja pelan.

Om Ben mengeluarkan ponselnya dan melihat pemberitahuan yang baru saja masuk. "Kau mendapatkan uang lebih banyak daripada bulan lalu."

Rifan hanya berdehem sebagai balasan.

"Lalu akan kau investasikan ke mana?" tanya Om Ben sambil menyeruput kopinya pelan.

"Perusahaan keamanan jaringan lokal," jawab Rifan serius.

Om Ben mengernyitkan dahinya dan menatap Rifan tidak yakin. "Terlalu beresiko."

Rifan menghela nafas karena menyadarinya, memang beresiko berinvestasi pada perusahaan keamanan jaringan sebab teknologi di negara ini belum semaju negara lain dan masih mengandalkan perusahaan asing untuk produk teknologi canggih. Tapi ini juga peluang besar untuk menguasai pasar lokal.

"Om kamu juga menyadarinya jika aku berinvestasi dengan perusahaan asing harga yang harus aku bayar cukup mahal dan tidak terlalu berpengaruh, itu tidak sepadan dan hanya menyia-nyiakan sumber daya. Lebih baik aku berinvestasi pada perusahaan lokal kemudian mengembangkannya."

"Langkah ini terlihat beresiko tapi cukup menanamkan akar pada negara ini."

Om Ben menghela nafas dan menyenderkan tubuhnya ke kursi. "Perkataan mu masuk akal."

"Jika ingin menghancurkan pohon besar kita harus memotongnya dengan perlahan." Rifan mengambil gunting didekatnya dan menatap bunga yang berada di dalam vas. "Sedikit demi sedikit untuk memotong kekuatan mereka." Ia menggunting daun bunga satu persatu.

"Kemudian langsung hancurkan dengan satu langkah," Rifan memotong tangkai bunga dan membiarkannya jatuh. "Dan singkirkan akarnya agar tidak menimbulkan masalah ke depan."

Rifan meletakan gutingnya dan mengambil kelopak bunga kemudian menggenggamnya hingga hancur tak diperdulikan duri kecil yang melukai telapak tangannya.

Om Ben merenung sejak kemudian menyetujuinya, memang untuk menghancurkan pohon yang sudah mengakar di negara ini perlu membayar dengan harga yang mahal. Dan perusahaan keluarganya tidak bisa menanganinya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain.

"Om percaya dengan penilaianmu." Ia sangat yakin dengan penilaian pemuda di depannya, walaupun terlihat muda caranya menangani bisnis cukup lihai seperti rubah tua di dunia bisnis, intuisinya cukup tepat dan dia bisa menggunakan peluang kecil untuk menghasilkan hal besar tanpa harus membayar harga mahal.

Terkadang dia merasa rendah dihadapan pemuda ini walaupun memiliki banyak pengalaman di dunia bisnis, dengan kemampuannya yang luar biasa tidak sulit untuk mengembangkan keamanan jaringan di negara ini.

Om Ben menyeringai dalam hati dan mengejek pohon besar itu yang telah membuang benih sebagus ini, jika mereka tidak terlalu buta dan membuangnya maka pemuda ini dapat membawa mereka ke masa kejayaan bahkan perusahaan asing harus berpikir dua kali untuk melawannya.

Sayangnya mereka menghancurkan batu di kaki sendiri dan menjadikan pemuda ini sebagai musuh. Keputusannya untuk bergabung dengan pemuda ini dan melawan mereka adalah keputusan yang benar dan dia tidak akan menyesalinya.

"Ngomong-ngomong kau ingin berinvestasi di perusahaan mana?" tanya Om Ben penasaran.

Rifan mengambil ponselnya dan menunjukan sesuatu pada Om Ben. "Aku akan membeli saham dari perusahaan ini."

-TBC

(Menghancurkan batu di kaki sendiri = Membawa bencana bagi diri sendiri)

avataravatar
Next chapter