7 BAB 7

Seminggu berlalu, hari yang ditunggu Yusuf akan segera tiba. Selama ini hubungan Adel dengan Yusuf tergolong cukup baik. Mereka menjalani hari-hari mereka seperti biasa, yang berbeda hanya Yusuf yang saat ini sering menjemput Adel saat berangkat kuliah.

Tiin... Tiinnn.... Tiinnnn...

Suara klakson mobil Yusuf terdengar dari dalam rumah yang di tempati Adel, rumah sang kakak. Adel sudah kembali tinggal di rumah sang kakak setelah dua hari tinggal di rumah orang tuanya.

"Ayo berangkat!" Ajak Adel saat dia sudah duduk manis di atas kursi kemudi dan memasang sabuk pengaman.

"Assalamualaikum!"

"He.. he.. he.. Waalaikum salam. Ma'af, jadi lupa ucap salam." Inilah yang membuat Adel semakin menyukai Yusuf, pria itu selain tampan dia juga selalu mengingatkan Adel tentang hal-hal kecil seperti mengucapkan salam yang sering Adel lupa.

"Kamu semakin cantik dengan hijab yang menghiasi kepala kamu."

Pujian yang selalu membuat Adel tersipu malu. Bukan hanya Yusuf yang memujinya cantik, Risa juga melongo saat pertama kali melihat Adel menutup tubuhnya dengan hijab.

"Sudah, jangan buat aku semakin lupa diri dengan semua pujian kamu."

Yusuf tersenyum, pria itu memang selalu berusaha untuk membuat hati Adel merasa bahagia.

"Kita jadi ke rumah Bunda ku 'kan?" Tanya Yusuf ingin memastikan rencana mereka.

Adel meminta waktu satu minggu untuk menjawab lamaran Yusuf, dan hari ini adalah hari yang sudah ditunggu oleh Yusuf.

Adel meremas tangannya gemetar, semua yang sudah dia persiapkan tiba-tiba hilang. Keberanian yang awalnya terpancar tiba-tiba meredup.

"Ada apa?"

"Aku, aku takut, Kak."

"Takut? Kenapa takut? Ada aku nanti di sana, kamu kan tidak sendirian." Adel mengangguk dan mencoba mengambil nafas dalam-dalam untuk menetralisir gugupnya.

"Siap ya? Bissmillah dulu." Adel mengikuti saran Yusuf, mencoba untuk biasa saja.

***

Mobil Yusuf memasuki sebuah rumah yang sangat asri. Banyak pepohonan dan bunga yang menghiasi halaman rumah dan taman di sana terlihat sangat terawat.

"Banyak bunga nya." Adel terpukau dengan pemandangan yang terhampar di depan matanya.

"Iya, bunda senang berkebun. Semua tanaman yang ada disini ditanam sendiri oleh bunda."

"Wow, bunda benar-benar hebat bisa mempercantik halaman yang cukup luas ini."

Yusuf tersenyum melihat Adel sudah sedikit rileks.

Yusuf dan Adel berjalan menuju pintu, mereka berdua beriringan dengan Yusuf yang disibukkan dengan bawaan Adel untuk orang tua Yusuf.

"Kamu sebenarnya tidak perlu membawa semua ini." Yusuf mengangkat semua barang yang ada di tangannya keatas.

"Ini pertama kali aku kesini, sedikit tidak sopan jika datang kesini dengan tangan kosong." Yusuf mengusap kepala Adel yang tertutup hijab dengan lembut.

"Ayo! Bunda sudah menunggu kita."

"Assalamualaikum, Bunda." Sapa Adel saat melihat sosok yang ingin dia temui berada di ruang tengah.

"Waalaikum salam, Sayang. Akhirnya bunda bisa bertemu dengan kamu lagi. Bagaimana kabar kamu?"

"Alhamdulillah baik, Bun. Bunda sendiri bagaimana?"

"Bun, biarkan Adel duduk dulu. Jangan ditanyai macam-macam dulu,"

"Astaghfirullah, ma'afkan bunda ya Sayang. Bunda terlalu bersemangat saat mendengar kamu mau datang ke sini. Ayo kita duduk di dalam saja!" Ajak Anisa yang membawa Adel masuk ke dalam ruang tengah.

Langkah Adel terhenti saat mendengar dering telepon milik Yusuf. "Ma'af Bun, Yusuf angkat panggilan ini dulu. Kalian lanjutkan ngobrolnya."

Yusuf meninggalkan Adel dan Anisa di ruang keluarga, masih dengan Adel yang heran kenapa Yusuf harus mengangkat panggilan dengan menjauh?

"Bagaimana hari kamu Sayang?" tanya Anisa saat mereka sudah sampai di ruang keluarga.

"Baik Bun, Bunda sendirian di rumah?"

"Ya begitulah, kalau Yusuf sudah bekerja dia lama tidak pulang jadi bunda dan ayah hanya tinggal berdua dengan ditemani mbok Iyem, asisten rumah tangga disini." Adel menganggukkan kepalanya mengerti.

"Bagaimana kamu sudah menerima lamaran Yusuf?" Adel tersipu malu saat mendengar pertanyaan Anisa, pasalnya dia belum kembali menjawab permintaan Yusuf kepadanya.

"Kenapa? Adel belum menjawab?" Adel menggeleng pelan.

"Jangan lama-lama ya Sayang, Yusuf harus segera kembali bekerja sebentar lagi, cuti nya tidak panjang."

"Bekerja? Memang pekerjaan kak Yusuf apa Bun?"

"Apa Yusuf belum memberi tua kamu pekerjaannya apa?" Adel menggelengkan kepalanya lemah,

"Mungkin Yusuf ingin membuat kejutan untuk kamu Sayang. Percayalah dia akan menceritakan semuanya kepadamu." Anisa menepuk tangan Adel yang ada di dalam genggamannya dengan pelan, dengan senyuman hangat yang menyertainya membuat hati Adel terasa menghangat.

"Apa yang sedang kalian bicarakan? Kelihatan seru sekali," Yusuf yang sudah selesai dengan teleponnya ikut duduk bersama dua wanita kesayangannya.

"Tentang pekerjaan kamu, kamu belum memberitahu Adel soal pekerjaan yang kamu pilih?" Yusuf kaget mendengar apa yang ditanyakan Anisa, mata Yusuf menangkap keingintahuan yang besar dari Adel tentang pekerjaannya.

"Belum Bun, nanti tunggu waktu yang tepat saja. Nanti pasti aku beritahu Adel."

***

Adel dan Yusuf menikmati suasana sore di gazebo halaman belakang rumah Yusuf.

"Del, bagaimana dengan jawaban kamu? Sudah ada?"

"Jawaban?"

"Iya, tentang pinanganku tempo hari."

"Ehm, Adel terima Kak."

"Benarkah?" Adel mengangguk malu, pipinya bersemu merah dan tidak berani melihat ke arah Yusuf.

"Bolehkah aku meminta sesuatu?" tanya Yusuf sambil memegang tangan Adel.

"Apa itu?"

"Bisakah kamu memanggilku Abang? Aku ingin sekali di panggil dengan sebutan itu, karena keluarga besar ku berasal dari Palembang."

"Hanya itu?" Yusuf mengangguk,

"Boleh, tidak masalah. Abang juga enak di dengar kok,"

"Dan aku akan memanggilmu dengan sebutan Adik? Apa masih oke?" Senyuman Adel merekah, bukan hal aneh yang diminta Yusuf kepadanya, hanya saja Adel merasa ada yang sedang disembunyikan Yusuf kepadanya.

"Bolehkah aku memasangkan cincin ini sekarang?" Yusuf menunjukkan cincin yang pernah dia bawa saat meminang Adel di rumahnya. Adel menjulurkan tangan sebelah kiri dan Yusuf memasangkan cincin itu di jari manisnya, cantik.

"Rumah selalu sepi seperti ini ya Kak?" Tanya Adel sambil melihat kanan-kiri yang masih terlihat asri karena tanaman yang memenuhi halaman luas ini.

"Makanya Bunda memintaku untuk segera menikah, agar lekas punya cucu. Kenapa kamu kembali memanggil kakak?"

"Ma'af Abang, belum terbiasa."

"Begitu dong, Abang lebih enak di dengar." Yusuf mengusap kepala Adel yang berbungkus jilbab dengan lembut.

"Tapi kalau menikah saat ini Adel boleh menolak? Adel ingin menyelesaikan kuliah ini tanpa terbebani sebuah ikatan pernikahan." Jawaban Adel sedikit membuat Yusuf kecewa, tapi saat melihat di wajah Adel yang tersirat ketakutan membuat Yusuf ingin segera memiliknya sebagai istri.

"Kita bicarakan nanti ya, itu sepertinya ayah sudah datang. Kita masuk ya?"

"Bang, Adel malu." Adel yang baru pertama kali ini bertemu dengan Ayah Yusuf selain di kampus membuatnya sedikit merasa sungkan.

"Tenang saja, ayah tidak segarang saat di kampus. Abang berani jamin!"

Yusuf menggandeng tangan Adel yang sedikit takut bertemu dengan Prof. Burhan.

"Hai, Yah! Bagaimana hari ayah?"

"Sangat menakjubkan! Ini Adel ya?" Sapa Burhan kepada Adel yang masih bersembunyi di belakang tubuh Yusuf.

"Iya, ini Adel yang kemarin Yusuf pinang kepada kedua orang tuanya."

"Jadi? Bagaimana hasilnya?" Wajah Burhan penuh harap, begitu pula dengan Anisa yang baru saja tiba.

Yusuf mengangkat tangan Adel yang baru saja dia selipkan cincin, wajah Anisa dan Burhan tampak bahagia, penantian mereka untuk mendapatkan menantu akhirnya telah usai.

"Alhamdulillah...." Seru mereka berdua bersamaan.

"Jadi kapan pernikahannya akan dilakukan?"

"Ehm, kami masih perlu membahasnya lagi Bun, jadi jangan tanya dulu." Yusuf memasang tameng agar keluarganya tidak mendesak Adel untuk segera menikah. Yusuf tau apa yang sedang ada didalam isi kepala cantik sang tunangan. Tunangan? Boleh kan Yusuf menganggap mereka sudah bertunangan? Cincin sebagai tanda pengikat sudah melingkar di jari manis Adel, bukankah itu yang dinamakan tunangan?

"Baiklah kalau begitu, kita tunggu kabar bahagia dari kalian saja. Semoga cepat terlaksana semua yang diniatkan untuk kebaikan."

"Amin." Semua mengaminkan apa yang diucapkan pak Burhan. Melihat wajah lelah ayahnya membuat Yusuf kadang merasa khawatir, haruskah dia menunda pernikahan mereka sedikit lebih lama?

avataravatar
Next chapter