16 Bab 16

Seminggu sudah berlalu, Adel terlihat biasa saja dengan ketiadaan Yusuf selama ini. Dia sudah berubah menjadi sosok yan cukup mandiri dan tegar.

Pengalaman hidupnya sudah mengajarkan dia untuk bisa mandiri dan didikan dari seorang ayah yang pensiunan militer mengharuskannya untuk menjadi wanita kuat.

Hati adel sedang merasakan keresahan dan kekalutan yang luar biasa, dia sudah berkali - kali meminta petunjuk dari Tuhannya dan akhirnya jawaban yang Adel inginkan dia dapatkan.

Dalam mimpinya, Adel melihat Yusuf sedang melakukan sesuatu yang sepertinya sangat melelahkan. Wajah tampannya tidak lagi terlihat dan Yusuf juga berubah menjadi sangat dekil. Adel langsung terbangun saat dia melihat darah berceceran, keluar dari tubuh Yusuf.

Nafas Adel kembang kempis, memikirkan dengan apa yang sebenarnya terjadi pada Yusuf. Mimpi yang baru saja Adel dapatkan terlihat seperti benar - benar nyata.

"Apa ini? Kenapa semuanya terlihat sekali nyata? Darah? Kenapa tubuhnya dipenuhi dengan darah? Sebenarnya apa yang terjadi?" Gumam Adel heran.

Merasa hatinya tidak tenang, Adel melihat jam di dinding dan memutuskan untuk mengambil air wudhu, Adel ingin mengadu pada Tuhannya. Dia ingin bercerita kepada Tuhannya tentang apa yang baru saja dia lihat di dalam mimpinya.

Pukul dua dini hari, Adel bersimpuh memohon petunjuk dan pertolongan. Semua yang terjadi pada dirinya bukan terjadi secara kebetulan, seolah - olah semua ini memang dilakukan sebagai isyarat untuk Adel tentang Yusuf.

Air mata Adel tanpa terasa menetes dengan lancangnya, Adel awalnya tidak ingin menangis karena Adel merasa malu jika harus berkeluh kesah kepada Tuhan. Adel merasa dirinya merasa tidak tau diri karena sudah diberi sesuatu yang sangat banyak tetapi Adel hanya datang untuk mengeluh saja.

Adel mengambil ponselnya saat dia telah selesai mengadu, meminta pertolongan agar Tuhan menjawab apa yang menjadi pertanyaannya. Adel melihat kembali isi chat Adel dengan Yusuf, dan masih dengan status yang sama bahkan ada beberapa chat Adel yang sudah melebihi batas dan tidak terkirim.

Adel menghembuskan nafas berat, perasaannya tiba - tiba tidak nyaman. Ada sesuatu yang sudah mengusik hati dan juga pikirannya sehingga hatinya terasa gelisah dan sangat tidak nyaman.

Adel ingin sekali keluar dan menuju rumah Yusuf, tapi berusaha Adel tahan karena jam didinding saat ini berada pada pukul tiga dini hari. Apa yang akan dikatakan oleh Bunda Anita jika Adel tiba - tiba datang selarut ini?

Adel berusaha memejamkan matanya agar besok dia tidak terlambat, mau menunggu adzan subuh tapi masih lama. Dengan usaha yang keras dia tidak bisa memejamkan matanya kembali, Adel merasa semakin khawatir, marah, kesal, kecewa semua menumpuk menjadi satu.

Usahanya gagal dan akhirnya Adel memutuskan untuk kembali membuka buku - buku tebal yang selalu menemaninya di kampus. Adel kembali membaca modul miliknya agar rasa kantuk segera

menyerangnya.

Modul setebal dua ratus halaman lebih tidak berhasil membuat Adel merasakan kantuk, Adel masih tetap terjaga sampai adzan subuh terdengar. Berkali - kali Adel mengucapkan istighfar, agar hatinya bisa merasa tenang dan juga lega.

Menyudahi membaca, Adel memutuskan untuk mengambil air untuk wudhu dan bersiap untuk sholat subuh. Entahlah, sejak pagi tadi Adel merasa sangat lesu dan malas melakukan apa - apa.

Semua yang dikatakan oleh Rania di kantin tadi terus membayangi pikiran Adel. Sebenarnya Adel tidak ingin memikirkan apa yang dikatakan oleh Rania tapi, semua kata - kata Rania kembali merasuki kepalanya disaat dia sendiri seperti ini.

"Apakah yang dikatakan Rania tadi benar? Aku hanya seorang wanita yang mengharapkan seseorang yang tidak mungkin bisa aku raih?" Batin Adel bertanya.

Dari dalam diri Adel selalu menyalahkan dirinya sendiri. Dulu kakaknya, Dimas. Pria pertama yang sangat Adel sayangi selain ayahnya pergi meninggalkan dia sendirian, karena tugas negara yang mengharuskannya untuk pergi dan kali ini pria yang berstatus sebagai tunangannya pergi dan Adel tidak tahu dia pergi kemana dan sedang melakukan apa?

"Apakah aku memang tidak pantas disayangi? Apa aku semenjijikkan itu sehingga mereka meninggalkan aku disini sendiri?" Keluh Adel usai dia menghadap kepada Tuhan.

Satu - satunya tempat yang Adel tuju kalau dia sedang merasa resah dan kalut seperti ini. Hanya pencipta dan pemberi hidup.

"Aku harus bisa! Dulu aku bisa tanpa sosok pria dan kenapa sekarang aku menjadi lemah seperti ini?" Gerutu Adel kembali terdengar.

Air matanya kembali menetes membasahi wajah cantiknya, memikirkan Yusuf yang pergi tanpa

memberinya penjelasan.

Tanda tanya besar sedang memenuhi kepala Adel karena kedua orang tua Yusuf juga tidak berani mengatakan apa yang sedang dilakukan oleh anak laki - laki mereka.

Adel merasa dirinya dijadikan sebagai mainan, lama - kelamaan dia memikirkan alasan apa yang bisa membuat Yusuf pergi. Seandainya Adel membuat masalah, masalah seperti apa yang sudah membuat Yusuf pergi tanpa kata dan juga alasan yang jelas.

Memutuskan untuk memikirkan kembali pertunangannya dengan Yusuf, mungkin Adel bisa mengembalikan cincin yang sedang dia pakai di jari manisnya. Adel tidak ingin dijadikan sebagai bahan mainan, hatinya bukan tempat untuk bermain dan Adel tidak akan diam jika sampai hal itu terjadi.

"Lebih baik aku mengembalikan cincin ini, sepertinya cincin ini sudah tidak pantas berada di jari manis ku lagi," Ucap Adel sambil menarik hingga lepas cincin yang melingkar pada jari manisnya.

"Cincin ini terlalu bagus untuk melingkari jari manis ku, mungkin akan ada jari dari wanita lain yang lebih cocok memakai cincin ini." Adel memasukkan kembali cincin yang ada di tangannya untuk dimasukkan kedalam kotak perhiasan, bawaan dari cincin pertunangannya.

Adel meletakkan kotak cincin itu ke dalam laci, dia berencana untuk mengembalikan cincin itu nanti, saat dia sudah senggang dari tugas kuliah. Tanpa persetujuan orang tuanya, Adel akan tetap mengembalikan cincin itu. Pertunangan mereka tanpa dasar, dan bodohnya lagi saat itu Adel langsung menerima lamaran itu tanpa berpikir panjang.

Adel menghembuskan nafasnya kasar, apa yang terjadi dalam hidupnya akhir - akhir ini terlihat seperti permainan. Permainan yang bisa menang dan juga bisa kalah, Adel merasakan itu semua. Seperti berjudi, dia hanya sedang menunggu akan menang atau kalah.

Rasa kantuk mulai menyerang Adel, matanya terasa sangat berat tapi saat ini sudah hampir pukul enam pagi. Adel tahu kalau dia harus segera bersiap untuk pergi ke kampus tetapi dia memilih untuk kembali tidur, matanya terasa sangat berat sekali untuk dibuka.

"Bolos sekali tidak akan membuat beasiswaku dicabut kan? Aku tidak kuat lagi dan kantuk ini tiba disaat yang tidak tepat, lebih baik aku tidur dan bolos untuk hari ini. Tubuh dan pikiranku membutuhkan istirahat."

avataravatar
Next chapter