108 BAB 24: Kamu Akan Sembuh April

Tidak berapa lama, mereka tiba di sebuah rumah sakit kecil. Jasmina terbelalak ketika mereka sampai.

"Mas, kok dibawa kesini sih? Kerumah sakit beneran donk!", tutur Jasmina.

"Jasmina, di Bali ini fasilitas kesehatan sudah sangat baik dan berstandar internasional. Bahkan rumah sakit sekecil ini, mampu menangani keadaan yang lebih parah dari April. Kamu tenang ya sayang...", tutur Devon sambil memeluk pinggang istrinya. Mereka mengikuti paramedis yang membawa April menuju ruang gawat darurat.

"Disini dulu ya dok, sambil saya infokan ke bagian administrasi. Mereka harus menyiapkan ruang operasi. Ada kartu identitasnya kan? Mbaknya dan mas nanti info ke bagian administrasi ya. Kita butuh identifikasi, dan mungkin perlu beberapa kantung darah", tutur sang paramedis sambil berlalu.

"Operasi? Kenapa harus dioperasi Dev?", tanya Jasmina. Devon menatap pelan istrinya.

"Lukanya cukup dalam Jas, sepertinya memerlukan operasi untuk menyambung nadinya. Dan April cukup syok karena kehilangan banyak darah. Mereka mungkin butuh beberapa kantong.", kata Devon. Jasmina mengangguk. Ia melihat ke sekeliling unit gawat darurat itu. Sukurnya tidak banyak pasien, sehingga April bisa lebih fokus untuk di tangani.

Seorang dokter dari rumah sakit sudah melihat keadaan April. Ia tidak terlihat begitu optimis, namun tetap memasang senyum hormat kepada Devon dan Jasmina. Ia berbicara sebentar dengan Devon tanpa kehadiran Jasmina. Jasmina terus mendampingi dan menggenggam tangan April.

"John...John...where are you (John, kamu dimana)?", tiba-tiba April tersadar. Suaranya sangat lemah, dan matanya hanya terbuka sedikit. Jasmina terperanjat.

"Devon! Sini!", perintah Jasmina. Devon dan sang dokter mendekati April. Sang dokter langsung memasukkan stetoskopnya ke dalam dada April, mencoba memeriksa sesuatu. Ia mengecek nadi yang terdapat di leher April.

"John is here! Come here John", kata Jasmina sambil melotot ke arah Devon. Suaminya itu balas melotot ke arah Jasmina.

"John, you came. I've been looking for you. I misses you...(John, kamu datang. Aku sudah mencarimu. Aku merindukanmu...)", kata April sambil menatap Devon yang sudah duduk dekat sekali dengannya. Devon tidak menjawab apa-apa dan hanya menatap April.

Jasmina kontan melepaskan genggaman tangannya di tangan April dan memukul lengan suaminya itu.

"Say something! (Katakan sesuatu!)", pekiknya tertahan sambil melotot ke arah Devon. Devon akhirnya paham. Jasmina menyodorkan tangan April agar dapat di genggam oleh Devon. Devon memegang tangan April dengan lembut.

"I miss you too April. Now please take a rest, soon the doctor will operate your wound. And in no time, you're going to be fine (Aku juga merindukanmu April. Sekarang silahkan istirahat, sebentar lagi dokter akan mengoperasi lukamu. Dan tidak lama lagi, kamu akan baik-baik saja)", jawab Devon pelan. Ia terus saja mencuri-curi pandang ke arah Jasmina. Istrinya itu masih terlihat begitu kuatir, sedangkan Devon jadi serba salah karena harus berperan sebagai John.

"If I recover, will you be by my side forever? (Kalau aku sembuh, maukah kamu berada di sampingku selamanya?", tanya April lagi. Devon melirik Jasmina.

"Absolutely my dear. We will always be together (tentu saja sayangku. Kita akan selalu bersama-sama)", tutur Devon sambil mengelus-elus tangan April.

"I love you. Do you love me John? (Aku mencintaimu. Apakah kamu mencintaiku John?", tanya April lagi. Devon terdiam dan menatap April sebentar, dan kemudian menatap istrinya. Jasmina segera menendang kaki Devon.

"Bilang aja!", pekiknya kepada Devon.

"Yes yes April, I love you", kata Devon sambil menatap mata April dengan dalam.

"That's good. Now I can leave. I'm glad leaving knowing that you love me. You never told me that you love me before. Thank you John, I love you... (Itu bagus. Aku bisa pergi sekarang. Aku lega pergi setelah mengetahui bahwa kau mencintaiku. Kau tidak pernah mengatakannya sebelumnya. Terima kasih John, Aku mencintaimu)", tutur lemah April sambil mencoba untuk tersenyum dengan bibir birunya.

Jasmina dan Devon kontan terperanjat dan menatap wajah April lekat-lekat. Ia masih saja mencoba untuk tersenyum, namun matanya mulai meredup.

"April....April...bangun mbak...", kata Jasmina pelan sambil menggoyang-goyangkan lengan April. Tapi wanita itu tidak beraksi sama sekali. Sang dokter rumah sakit langsung mengecek tanda-tanda vital April. Ia kemudian melihat pergelangan tangannya.

"Pasien bernama April Kinanti berpulang pada pukul 16:47 waktu Indonesia tengah", begitu kata sang dokter. Ia segera memanggil beberapa suster untuk mendekat.

"April...April...Devon, April kenapa? Kan dia sudah di tangani... Kok bisa begini Dev?", tanya Jasmina histeris. Devon yang sudah menduga ini akan terjadi, langsung menghambur memeluk sang istri yang mulai terisak histeris.

"Devon...Devon... kenapa April jadi begini. Beberapa jam yang lalu dia masih ngobrol sama kita Dev! Kamu bilang maut itu rahasia Tuhan! Kenapa April jadi begini?", tanya Jasmina sambil terus terguncang. Kenapa ada orang yang ingin mengakhiri hidupnya sendiri seperti ini?

-------------------

Waktu telah menunjukkan pukul 7 malam, Jasmina dan Devon sudah berada kembali di kamar hotel mereka. Jasmina masih menggunakan jubah mandi yang terbuat dari bahan handuk milik hotel, karena piyama-piyama yang tadi ia beli masih di cuci oleh pihak hotel. Ia sedang duduk persis di samping pintu kaca balkon, sambil melihat pemandangan Bali di malam hari yang tenah hujan rintik-tintik.

Suara rintikan hujan, berpadu dengan suara rintik dari pancuran yang terdapat di kamar mandi. Suaminya sedang mandi, setelah berjam-jam ia menghabiskan waktu untuk menenangkan Jasmina.

Setelah membantu mengurus proses administrasi untuk April di rumah sakit, mereka beruntung bisa menemukan salah seorang sanak saudara di HP milik April. Mereka langsung mengambil alih proses pemakaman April, sehingga Jasmina dan Devon dapat kembali ke hotel dengan dijemput oleh sang supir.

Devon keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah dan hanya mengenakan celana pendek. Aroma sabun masukilin langsung menyeruak di hidung Jasmina, bertabrakan dengan harum aroma nasi goreng yang baru saja di antarkan oleh pelayan hotel. Tapi tentu saja nasi goreng itu tidak tersentuh oleh Jasmina. Devon mendekati istrinya itu. Ia mencium pucuk kepala Jasmina, terasa olehnya rambut itu masih lembab karena ia juga baru saja keramas.

"Mau aku pesenin yang lain? Mereka juga punya pizza", kata Devon. Jasmina hanya mengangkat kedua bahunya. Entahlah, dia benar-benar tidak bisa makan sekarang. Bagaimana seseorang bisa makan setelah kejadian yang traumatis seperti itu?

"Kamu harus makan Jasmina, untuk bisa bahagian, juga butuh energy loh", kata Devon bercanda sambil kembali mencium pucuk kepala istrinya. Jasmina menatap suaminya.

Devon mengambil salah satu kaus paling nyaman yang ada di dalam kopernya. Ia memakai kaos itu dan berjalan ke arah meja makan dan menyambar sepiring nasi goreng itu. Ia menyuapkan satu sendok ke mulut sang istri. Jasmina menyambutnya.

"Nah, ngomong donk dari tadi kalo kamu Cuma pengen disuapin suami", jawab Devon lembut. Jasmina hanya menatapnya dengan hambar, tapi terus menerima suapan demi suapan sang suami. Mereka makan secara bergantian, sampai sepiring nasi goreng itu habis. Devon menyambar dua buah milkshake coklat dan menyodorkan salah satunya kepada Jasmina.

"Konon kandungan coklat itu mengandung zat yang bernama Theobromine, Itu semacam sebuah senyawa yang bekerja bareng ama kafein. Efeknya bisa seperti orang yang mengkonsumsi kanabis atau ganja, jadi dia membentuk perasaan bahagia...", jelas Devon namun di potong oleh Jasmina.

"Aku bukannya tidak bahagia Dev…", kata Jasmina yang langsung mengendarkan pandangannya kembali ke arah balkon sambil menyesap milkshake coklatnya.

"Aku tau sayang. Dan kamu tau gak, ternyata di dalam coklat juga, terdapat senyawa yang bernama Phenylethylalanine. Banyak orang menyebutnya obat cinta, karena mampu menciptakan perasaan yang mirip ketika seseorang sedang jatuh cinta Jas. Karena dia memproduksi endorfin, sebuah molekul yang membuat perasaan kita menjadi baik... mungkin kamu sedang butuh banget ini", jelas Devon lagi.

Namun Jasmina tidak bergeming, tapi terus saja menyedot milkshake itu sampai habis. Devon kemudian duduk persis di samping Jasmina dan memeluk istrinya dari belakang.

"Ada yang mau kamu tanyain?", Devon membisiki istrinya. Ia yakin sebenarnya ada begitu banyak hal berkecamuk di kepala sang istri. Jasmina mengalihkan pandangannya dari arah balkon. Ia berbalik dan menatap Devon. Suaminya itu tersenyum jenaka ke arahnya.

"How do you survive Dev? I mean, how you doctors survive from this? (Bagaimana kamu bertahan Dev? Maksudku, bagaimana kalian para dokter-dokter bertahan dari ini?", tanya Jasmina. Devon menyeruput milkshakenya dengan pelan. Ia paham yang di lalui Jasmina hari ini. Ia mengangguk-angguk pelan.

"Selalu ada yang pertama, dan itu tidak pernah mudah. Tidak untuk yang pertama, dan tidak untuk selanjutnya Jas…Kamu bisa bayangkan, cita-citaku pengen jadi dokter anak. Aku rasa aku tidak akan sanggup bila melihat makhluk-makhluk kecil itu berpulang…", jawab Devon.

"Ini salah kita Devon. Coba kalau saja tadi kamu mengakui kalau kamu itu John. Pasti dia tadi gak begitu!", kata Jasmina. Akhirnya uneg-unegnya keluar.

"Jasmina…", jawab Devon lembut.

"Bener kan? Coba aja kalo tadi kita ngomong baik-baik sama dia, coba aja kalau tadi dia gak diusir sama pihak restoran. Dia gak mungkin akan mulai mabuk lagi dan mulai menyakiti diri dia sendiri Dev!", bentak Jasmina. Kali ini air matanya sudah mulai keluar.

"Jasmina, kita gak bisa mengatur kondisi orang lain. Apalagi kita baru ketemu April hari ini. Mana kita tahu bagaimana kondisi mentalnya selama ini.", tutur Devon pelan. Ia tahu, tidak perlu mendebat istrinya sekarang.

"Tapi kan kamu dokter! Harusnya kamu lebih peka!", pekik Jasmina tertahan. Ia mengangkat kedua kakinya ke atas sofa, dan memeluk lututnya sehingga tangisnya tersembunyi. Devon kembali memeluknya.

"Jasmina… ada banyak hal di luar sana yang diluar kontrol kita sayang. Kamu mungkin syok karena ini pertama kalinya untuk kamu. AKu juga pernah ada di posisi ini. Jujur, walau aku udah pernah melaluinya berkali-kali selama aku koas, tetap apa yang terjadi hari ini, bikin aku syok. Sama seperti aku, banyak dokter diluar sana sering menyalahkan dirinya sendiri. Andaikan ini, andaikan itu. Tapi kami hanya bisa mengusahakan yang terbaik untuk para pasien, dan sisanya terserah Tuhan", jelas Devon lagi.

"Tapi tadi kita baru aja ngobrol sama April, dia terlihat sehat-sehat aja…", tutur Jasmina , yang sekarang menjadi lebih lemah.

"Bukan berarti ia terlihat sehat di luar, tapi sehat di dalam. Banyak orang-orang yang terlihat baik-baik saja, namun cukup terluka di bagian dalam. Bahkan ada yang cukup sakit, hingga mentalnya terganggu dan membutuhkan bantuan. Mereka kira mereka akan baik-baik saja, hanya karena masyarakat merasa ia tidak perlu lebay. Padahal, mereka membutuhkan bantuan profesioanal Jas, bukan sekedar teman curhat", jelas Devon lagi sambil membalikkan tubuh Jasmina. Ia memeluk erat istrinya.

"Tadi dia tersenyum sebelum pergi…",

"Ya Jasmina, berkat kita, berkat kamu dan aku, dia mendapatkan penutupan yang sempurna. Ia meyakini kalau John mencintainya sampai akhir. Biarkanlah sekarang mereka tenang berdua. Karena itu, kita-kita yang ditinggalkannya, harus iklas dan percaya, kalau mereka sekarang sudah bahagia. Ok?", pinta Devon.

Jasmina mengangguk-angguk. Ia kembali menyerupit sisa-sisa milkshake di gelas. Devon pun berdiri, namun sambil mencoba menghabiskan milkshake coklat itu. Setelah ia mematikan TV yang sepertinya sedari tadi tidak ada yang menonton, ia menoleh kembali ke arah Jasmina.

"Sekarang aku tau kenapa banyak orang yang sayang dan menganggap kamu menyenangkan", kata Devon, yang sepertinya siap-siap menggombal. Jasmina mendongakkan wajahnya, seakan-akan ingin berkata, apaaa…kenapaaaa…memangnya ada apaaaa…

"Karena kamu suka makan coklat! Kamu akhirnya hidup seperti Bob Marley, selalu hepi dan menyebarkan aura ke coklat-coklatan eh maksudnya kehepi-hepian kamu kemana-mana. Benar kan?", tanya Devon asal sambil memberikan gesture tembakan dengan jarinya ke arah Jasmina. Istrinya itu tidak tahan untuk tersenyum geli. Bisa aja nih suaminya.

Devon akhirnya membereskan sisa-sisa makanan mereka dan 2 gelas milkshake yang sudah kosong.

"Devon, aku ada pengakuan dosa…", tutur Jasmina pelan. Devon menatap wajah istrinya. Bingo! Ini dia…

"Aku…aku…sebenarnya aku sempet marah banget sama kamu, karena di hari kita berangkat ke Bali, aku menerima 4 foto aneh. Aku gak tau siapa yang ngirim, tapi isinya bener-bener bikin aku pengen nyekek kamu. Maksudkuuuu siapa yang gak murka, coba?", kata Jasmina sambil menyodorkan HP miliknya. Devon menyambar HP itu dan berpura-pura terkejut.

"Astagaaa…. Ini kan… ini kan…foto-foto aku. Sumpah ini bener foto asli, tapi diambil dari sudut yang aneh Jas, seakan-akan aku…"

"Ya aku tau Dev, aku yakin ini foto diambil karena pengen fitnah kamu. Aku sekarang sadar…",potong Jasmina.

"Sukurlah kalo kamu ngerti. Sumpah Jas, aku gak seperti yang foto ini coba yakinkan sama kamu…

"Ada satu lagi Dev…hemmm…aku kemaren bongkar HP kamu. Aku liat chat-chat kamu sama Helena…", tutur Jasmina sambil memasang muka kuatir. Kuatir donk Jasmina kalau-kalau Devon keberatan karena ia melihat-lihat HP miliknya.

"Hahahahah ya ampun Jas, gitu aja kok minta maaf sih. Nih nihhh HP aku sekarang milik kamu juga. Silahkan di bongkar, silahkan di cek satu persatu. Passwordnya ulang tahun kamu kok", balas Devon sambil mengambil HP miliknya di dekat TV dan menyodorkannya ke arah Jasmina. Tapi istrinya itu tidak tertarik.

"Devon, aku sekarang ngerti posisi kamu. Aku sekarang paham, kenapa kamu bisa sedekat itu dengan Helena. Karena ia adalah seorang pasien kan? Ia adalah April bagi kamu. Benar kan?", tanya Jasmina lagi. Devon mengangguk dengan mantap.

"Aku jadi paham, yang kamu lakukan sama Helena, gak lebih karena kamu kuatir kesehatan mentalnya kembali drop. Kamu ngerasa, dengan mengantarkannya ke panggung wisuda, kesehatan mentalnya bisa terkoreksi. Kalian merasa perkuliahannya yang menekannya adalah sumber masalahnya. Begitu kan?", tanya Jasmina lagi. Devon mengangguk-angguk pelan.

"Kalian sahabat-sahabat yang hebat. Aku bangga sama kamu Dev…", tutur Jasmina sambil memeluk leher suaminya dengan posesif. Devon kaget dengan perlakuan sang istri yang tiba-tiba berubah.

"Mulai sekarang, aku akan lebih perhatian dan pengertian lagi sama kamu. Baik itu Helena, baik itu suster-suster nakal atau pasien, aku tidak akan cepat berasumsi yang aneh-aneh. Aku akan tunggu penjelasan kamu", kata Jasmina lagi. Devon menatap istrinya dengan penuh kasih.

"Makasih yah sayang. Nah, sekarang, mana HP kamu. Aku mau inspeksi HP kamu sekarang, agar tidak dusta dan rahasia di antara kita", pinta Devon dengan gesture tangan meminta dengan tangannya. Jasmina hanya menatap Devon dengan lurus sambil tersenyum tipis.

"Manaaaa…mana HP kamu. Sini aku mau liat-liat", kata Devon lagi sambil meminta HP milik Jasmina yang saat sudah dipeluk erat oleh Jasmina. Istrinya itu belum mengecek apakah di HP miliknya ada hal-hal yang perlu ia kuatirkan. Apa ia sudah menghapus pesan-pesan mencurigakan dari Miko, atau hasil pencariannya tentang keluarga Helena. Tentu saja ia tidak mau Devon mengetahuinya.

Jasmina menggeleng-geleng sambil tersenyum nakal. Devon begitu gemas melihatnya, sehingga ia mencubit pipi Jasmina.

"Kan kaaan kaaannnn main rahasia-rahasiaan ama suami?", tanya Devon sambil melotot dan pura-pura ngambek. Jasmina tertawa dan dengan refleks memeluk leher suaminya itu lagi. Sepertinya ia sedang berusaha untuk mengambil hati suaminya, agar tidak perlu ada inspeksi dadakan.

Jasmina mencium bibir Devon dengan cepat, dan ia langsung kabur meninggalkan Devon yang terpaku. Itu… itu… itu ciuman pertama sejak entah kapan. Jasmina langsung menyambar telfon hotel, dan menghubungi pihak laundry. Ia ingin menanyakan nasib piyama yang baru ia beli. Apakah mereka sudah selesai mencuci dan mengeringkannya?

Devon yang sebaliknya sekarang menatap balkon yang masih terus basah oleh hujan di Bali. Ini definisi terbaik dari "dunia milik berdua". Ia, berdua saja dengan wanita yang ia cintai. Tanpa ada salah paham, tanpa ada curiga, tanpa ada rahasia. Hanya mereka berdua setransparan gelas kaca, berusaha untuk saling meningkatkan cinta diantara mereka berdua. Tidak perlu sebenarnya mereka pakai aksi bongkar-bongkar HP segala

"Jasmina, sebenarnya ada loh selain coklat yang bisa membuat kita lebih bahagia loh", tutur Devon sambil berdiri mendekati Jasmina.

"Oh ya, makanan apa itu?", tanya Jasmina.

"Ia melepaskan oksitosin yang akan memicu pusat kebahagiaan di otak, dan menurunkan perasaan cemas dan stress. Ia juga membantu tubuh membakar lebih banyak kalori, menurunkan tekanan darah, sampai bikin kita awet muda loh", jelas Devon sambil terus berjalan merapat ke arah Jasmina.

"Wow keren banget. Sejenis vitamin?", tanya Jasmina sambil mengibas-ngibaskan rambut lembabnya. Ia terlihat agak seksi seperti itu. Devon menelan ludahnya melihat sang istri yang terlihat begitu cantik. Selalu cantik, tapi kali ini, ada hormon-hormon yang bertebaran di sekeliling mereka, seperti mencoba menarik mereka satu sama lain.

"Ia bisa menurunkan kadar hormone kortisol, sehingga bisa menurunkan stress dan kecemasan pada seseorang. Ia juga bisa menghasilkan hormon prolaktin, sehingga seseorang bisa mudah tidur pada malam hari", kata Devon yang saat ini sudah begitu dekat dengan Jasmina. Istrinya itu sekarang terdiam. Ia kira-kira bisa menebak produk apa yang sedang dibicarakan oleh Devon.

"Dan ia tidak butuh piyama…" kata Devon lagi sambil menarik tali jubah mandi Jasmina, memasukkan kedua tangan kekarnya itu ke dalam jubah, dan menciumnya bibir istrinya itu dengan posesif.

avataravatar
Next chapter