107 BAB 23: Hanya Maut Yang Bisa Memisahkan

"You will never surf again. Ever (Kamu tidak boleh surfing lagi. Selamanya)", tutur Jasmina tenang dengan tampang serius. Devon terdiam menatap wajah sang istri. Tiba-tiba pelayan datang membawakan mereka 2 mangkuk es krim yang terlihat begitu menggemaskan.

"Makan yuk, mumpung masih beku. Kayaknya kalo udah lumer, gak enak nih", kata Devon mengalihkan pembicaraan.

"Besok kita gak jadi surfing Dev. Forget it (lupakan saja)", tutur Jasmina lagi sambil menatap lurus ke arah Devon. Ia sedang berkata serius.

"Jasmina, I'll be fine honey (Aku akan baik-baik saja sayang). Nasib naas mungkin sedang mendera pacarnya mbak April. Tapi yang namanya maut itu, ada dimana saja dan kapan saja Jas. Selama aku koas di rumah sakit, orang-orang bisa berpulang bahkan karena penyakit-penyakit yang ringan, bahkan ketika mereka tidur Jas. Kita semua sudah ada waktunya masing-masing", tutur Devon pelan. Ia tahu istrinya itu sedang tidak tenang.

"Jasmina jangan lupa, aku ini seorang dokter. Bahkan profesi dokter itu juga menantang bahaya loh. Kami bertemu dengan virus, bakteri yang bisa mengkontaminasi kami kapan saja. Tapi kita tetap harus waspada dan taat protokol kesehatan agar selalu sehat", komentar Devon lagi.

"Tapi surfing itu menantang maut Dev!', pekik Jasmina.

"Begitu juga dengan naik pesawat, berkendara di jalan tol, bahkan hanya sekedar berjalan-jalan di pinggir pantai. Tsunami bisa terjadi kapan saja.", balas Devon. Jasmina terdiam. Devon benar, tapi tetap hatinya tidak tenang. Setelah sekian lama berjauh-jauhan dengan Devon, ia tidak ingin berpisah lagi dengannya.

"Aku paham apa yang di lalui mbak April Dev. Dia mungkin terlalu cinta sama John. Kehilangannya pasti ngebuat mbak April terpukul banget. Aku yakin, aku akan ada di posisi itu bila kehilangan kamu Dev. Aku...aku gak mau kehilangan kamu...", mata Jasmina mulai memerah. Tadi saja, istrinya itu tertawa terpingkal-pingkal. Sekarang, moodnya justru begitu sedih.

"Kamu bisa yakin dengan perasaanku Jasmina, aku tidak akan pernah meninggalkan kamu untuk orang lain dan alasan yang tidak logis lainnya. Tapi aku tidak bisa mengatur takdir, itu kuasa Tuhan. Jadi, waktu yang sedang diberikan Tuhan untuk kita, mari kita manfaatkan sebaik-baiknya. Kamu paham kan?", tanya Devon pelan. Ia melihat Jasmina mulai terisak. Percakapan ini begitu menyentuh Jasmina.

Devon berdiri dan berjalan kearah Jasmina dan memeluk istrinya yang masih terduduk itu.

"I love you, and will always will, till deaths do us apart (Aku mencintai kamu, dan akan tetap seperti itu, sampai maut memisahkan kita", bisik Devon kepada istrinya dengan lembut. Jasmina kembali terisak.

"Jangan ngomongin mauttt!', pekiknya. Tubuh Jasmina terguncang. Ia tidak mau membayangkan apapun.

"Eh iya, maksud aku, till the end of time (sampai akhir waktu)", bisik Devon lagi. Ia melepaskan pelukannya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Jasmina yang mulai basah oleh air mata. Ia tersenyum penuh kasih, dan menyeka bulir air mata di wajah istrinya.

"Aku juga pasti akan gila bila kehilangan kamu, sayang. Jadi, jangan pergi kemana-mana yah...yah...ok?", tanya Devon pelan. Jasmina mengangguk-angguk pelan.

Devon kembali berdiri dan berjalan mundur ke arah kursinya, dan duduk manis.

"Yuk makan es krimnya, dan setelah itu kita duduk-duduk di balkon situ ya. Sepertinya masih terlalu siang untuk berjalan-jalan di tepi pantai. Masih panas", tutur Devon sambil menunjuk sebuah balkon dengan pemandangan pantai. Jasmina mengangguk pelan. Ia mencoba menghabiskan es krimnya.

--------------------------

Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore, hari sudah tidak terlalu terik. Ada beberapa gumpalan awan besar yang seperti memayungi area tempat Jasmina dan Devon berdiri. Sekeluar dari restoran, mereka memasuki beberapa toko cinderamata dan gerai minuman dingin. Dengan masing-masing memegang gelas plastic berisi teh susu dengan bobba, mereka menyusuri pinggir pantai sambil menyeruput minuman itu.

"Kamu lihat Jasmina, dengan waktu yang sangat sedikit yang kita miliki, apakah worthed bila dalam pernikahan kita terlalu banyak aura negatif?", tanya Devon. Jasmina tidak paham apa yang dikatakan suaminya itu. Ia menyerngitkan dahinya.

"Maksudku adalah, ada banyak hal-hal kecil dan sepele yang seharusnya tidak perlu kita permasalahkan, malah kita permasalahkan. Kita besar-besarkan. Akhirnya kita berantem, dan butuh effort untuk baikan. Setelah baikan kita memang makin cinta. Tapi, tidakkah menurutmu itu terlalu membuang emosi, energi dan waktu?", tanya Devon lagi. Jasmina mulai paham.

"Misalnya nih, ada pesan dari perempuan yang gak jelas masuk ke HP aku. Mungkin itu cuma salah kirim, mungkin itu cuma salah paham, atau mungkin itu cuma fitnah dan sabotase gak jelas. Ketika kamu curiga dan berasumsi yang tidak-tidak, masalah itu akan menjadi besar dan mungkin kita akan berantem berhari-hari."

" AKu maungkin akan berusaha untuk meyakinkan kamu kalau aku setia, padahal aku memang begitu. Alih-alih begitu, kamu bisa bertanya, aku bisa menjelaskan, dan dengan kepercayaan kamu sama aku, masalah itu bisa selesai hanya dalam beberapa menit. Kita akan punya lebih banyak waktu untuk nonton tivi berdua, makan malam romantis, atau eheemm...kegiatan romantis lainnya", kata Devon sambil mengangkat-angkat alisnya ke arah Jasmina. Kontan saja istrinya itu mencubit perut Devon.

"AWWWW sakit Jassss", pekik Devon pura-pura sengsara.

"Aku paham sih. Jadi misalnya nih, aku akan banyak lembut untuk menyiapkan event-event di kantor. Aku gak mungkin bermain gila dan tidak setia. Pasti semua untuk pekerjaan. Mungkin kamu akan kesal karena aku menghabiskan waktu terlalu lama di kantor. Tapi karena kepercayaan kamu sama aku, dan support kamu agar aku bisa sukses dalam pekerjaan, kamu akan berusaha untuk lebih pengertian. Begitu kan?", tanya Jasmina. Devon mengangguk-angguk pelan.

"Ya begitu sih memang. Tapi kamu juga jangan sampe nginep berhari-hari donk di kantor. Bagi waktu donk supaya bisa ngelonin aku. Yah yah yaahhh", pinta Devon manja sambil menyeruput minuman coklat dinginnya.

"Nah tu kaaannn, belom apa-apa udah posesif dehhh", ejek Jasmina. Devon tertawa.

"Hihihi. Nah jadi mulai sekarang, kita akan berusaha untuk mengungkapkan isi hati kita masing-masing ya Jas, tapi jangan pake ngegas. Kayak aku tadi, kalo aku agak keberatan dengan kamu yang menghabiskan waktu terlalu lama di kantor, aku bakal ngomong baik-baik, gak ngegas. Nah kamu juga nerimanya dengan legowo, jangan malah acuh, dan berusaha untuk mendengarkan dan mencari solusi.

"Hemmm aku setuju. Kita kurangi rasa curiga, rasa egois berlebihan, posesif gak beralasan, dan kalo ada masalah, kita bicarakan baik-baik dan pecahkan bersama-sama. Sisanya, kita pake buat ayang-ayangan. Gitu kan?", tanya Jasmina sambil mengacungkan minumannya ke arah Devon, sehingga sedotan plastik itu hampir saja mencolok mata suaminya.

"Nah pinter istriku. Nah jadi, untuk masalah Helena, aku akan butuh bantuan kamu Jas. Aku makasih banget kamu udah ngerti dan percaya sama aku. Tapi tetap saja, aku butuh pekerjaan untuk kita...", tutur Devon serius. Mereka menghentikan jalan santai mereka, dan berteduh di salah satu pohon yang cukup rindang.

"Devon, aku akan berusaha mengerti tentang keadaan kamu. Aku yakin suatu hari nanti, kamu akan menjadi dokter yang hebat. Untuk menjadi hebat, butuh sebuah perjuangan. Fisik, waktu dan finansial. Devon, biarkan aku menjadi bagian dari perjuangan kamu sekarang. Selama ini aku hanya bisa memberi kamu semangat dari jauh. Biarkan kali ini aku benar-benar mendukung kamu... membuat kamu menjadi hebat. Dan aku yakin, selama itu pun, kamu akan membuatku menjadi lebih hebat lagi. Kita akan saling mendukung", balas Jasmina.

"Untuk menjadi hebat, itu perlu uang Jas", tutur Devon.

"Kita akan cari solusinya. Bersama-sama. Jangan remehkan otakku ya sayang, kita akan cari, bagaimana cara untuk menyelesaikan urusan dengan keluarga Helena. Aku yakin bila kita selalu berterus terang dan mencari solusi bersama, kita bisa menghadapi apa saja. Kamu setuju kan?", tanya Jasmina sambil menggengam salah satu tangan Devon dengan posesif. Suaminya itu menatap Jasmina dengan penuh kasih.

"Penantianku tidak sia-sia. Aku benar-benar bersama dengan wanita paling hebat di dunia...aku selalu tahu bahwa aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu Jasmina. Begitu tekadku ketika kita berada di Bali beberapa tahun yang lalu...", jujurnya dengan muka agak tersipu. Jasmina menyikut perut Devon.

"Jadi kenapa gak jujur waktu itu? Gengsi?", tanya Jasmina sambil mengerucutkan bibirnya.

"Kamu waktu itu masih terkontaminasi Miko ama Bagas. Aku gak yakin ada cukup tempat untuk aku di hati kamu. Huhhhh", jawab Devon sambil berpura-pura ngambek. Jasmina kontan terkekeh-kekeh sambil memeluk asal suaminya itu.

Ia tidak pernah menyangka ia dan Devon bisa berada di posisi ini. Ternyata jujur-jujuran itu cukup menyenangkan juga ya. Jasmina merasa begitu lega, begitu juga Devon. Mereka sedang menikmati sebuah "naik kelas" dalam hubungan mereka. Mereka tidak hanya menjadi dewasa secara pribadi, tapi juga dalam hubungan.

Tiba-tiba...

"TOLONGGG! SIAPA SAJA TOLONG!", teriak salah seorang pengunjung sambil menunjuk seseorang yang tengah pingsan di tengah-tengah pasir. Devon dan Jasmina yang berjarak sekitar 10 meter dari tempat kejadian, mencoba berjalan perlahan ke arah orang yang berteriak itu.

"ADA DOKTER DISINI? TOLONG! PANGGILIN AMBULAN! ADA MBAK YANG PINGSAN!", teriaknya lagi. Jasmina melotot ke arah Devon, dan menggoyang-goyangkan tangan suaminya itu.

"Dev, tolongin dia!' pekik Jasmina. Kontan mereka berdua lari ke arah orang yang pingsan itu. Ketika mereka sampai di tempat kejadian, Devon dan Jasmina menyadari bahwa orang yang pingsan itu adalah April! Wanita yang beberapa jam yang lalu mengganggu mereka di restoran. Ia sedang terkulai lemas dengan genangan darah di dekat tangan kirinya.

"MBAK APRIL!", teriak Jasmina panik. Ia jatuh berlutut di pasir dan mencoba menggoyang-goyangkan badan wanita itu. Devon memeriksa nadi April di pergelangan tangan yang tidak terluka, dan memeriksa nadi di lehernya. Ia menguak mata April yang tertutup untuk melihat sepucat apa dia dan apakah pupilnya melebar. Ia melihat April sudah begitu lemah.

"Masih ada denyut, tapi lemah. SIAPA SAJA! TOLONG TELFON AMBULAN!", teriak Devon. Jasmina dengan sigap mengeluarkan tisu basah yang mengandung alkohol dari tasnya dan memberikannya kepada Devon. Suaminya itu mengambil 2 lembar tisu itu dan menyeka luka di pergelangan tangan kiri April dan menekan nadi itu dengan kuat. Devon mengangkat tangan April yang terluka sehingga tingginya melebihi jantungnya. Ia berharap dengan begitu, bisa mengurangi pendarahan yang lebih hebat.

"Bagaimana dia Dev?", tanya Jasmina kuatir. Devon mencoba tersenyum tenang.

"Tadi saya lihat mbaknya jalan-jalan di pantai sambil minum alkohol dari botol. Trus tiba-tiba duduk disini nih, di deket batu ini. Saya kira si mbaknya cuma mau lesehan sambil sandaran. Trus tiba-tiba dia mukul botolnya ke batu. KAGET SAYA! Saya takut si mbaknya orang gila yang mau nyakitin orang-orang yang lewat. Saya sempet mau manggil lifeguard. Tapi trus si mbaknya uda tenang sih. Jadi saya diem aja. Cuma sempet kuatir itu puing-puing botol kan pasti berserakan dimana-mana. Bagaimana kalau terinjak pengunjung. Jadi saya awasin terus. Ehhh gak taunya setelah beberapa belas menit, mbaknya pingsan. Pas saya datengin, sudah banyak darah!", jelas pengunjung itu.

"Ia kayaknya uda kehilangan banyak darah. Mari kita berdoa untuk yang terbaik", jawab Devon tenang. Tapi sebenarnya ia sangat kuatir. Tangannya sedikit bergetar sambil terus menekan luka April.

"Ambulan akan segera datang! Ambulan akan segera datang!", seru salah satu pengunjung pantai. Saat ini, terjadi kerumunan yang mengelilingi tubuh April.

"Mas, mbak, tolong kasih jarak ya. Kasihan mbaknya kekurangan oksigen kalau di kerumunin begini", pinta Jasmina sambil memohn kepada orang-orang yang hanya melihat tapi tidak membantu. Saat ini Devon dan Jasmina sedang berdoa begitu kencang agar ambulan segera datang. Devon melihat ke arah jalanan, detik demi detik menantikan mereka datang.

"Bubarrr bubarr! Pertugas paramedis mau lewat!", seru salah satu pengunjung yang mengusir para pengunjung. Tidak lama, 2 orang paramedis datang berlari setelah memarkirkan ambulan putihnya di dekat tempat kejadian. Mereka membawa sebuah tandu yang cukup canggih.

"Lapor, nama pasien April, kemungkinan besar masih dalam pengaruh alkohol. Terjadi sayatan akibat pecahan botol, diduga percobaan menyakiti diri sendiri. Sayatan cukup dalam dan mengenai nadi penting.", kata Devon sambil terus menekan pergelangan tangan April dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Masnya dokter?", tanya sang paramedis sambil membuka tas peralatannya. Devon mengangguk mantap. Ya. Dia adalah seorang dokter yang sudah mengambil sumpahnya.

"Keadaan vital?", tanya sang paramedis sambil mengalungkan stetoskop di lehernya.

"Nadi cukup lemah, pupil sudah melebar, pasien kehilangan cukup banyak darah dan sudah mulai kehilangan kesadaran", jelas Devon lagi seakan-akan ia sedang melapor kepada seorang dokter senior. Paramedis mengangguk-angguk. Segera ia menyiapkan perban steril, gunting dan cairan antiseptik yang dibutuhkan. Dengan bantuan Devon, mereka membalut luka April.

"Ia harus segera di bawa kerumah sakit. Yang terdekat berjarak 5 kilo dari sini, dan mampu mengoperasi pasien. Dimana keluarganya?", tanya sang paramedis.

"SAYA!", teriak Jasmina. Sang paramedis dan Devon menatap Jasmina dengan lekat.

"Saya keluarganya mas! Bawa kami ikut kerumah sakit!" pinta Jasmina. Sang paramedis mengangguk.

"AYo kalau begitu", ajak sang paramedis. Dengan bantuan Devon, kedua paramedis itu mengangkat tubuh April ke tandu dan menggotongnya ke dalam ambulans. Jasmina dan Devon duduk disamping April yang masih belum menyadarkan diri. Paramedis sudah memasukkan cairan infus ke dalam nadi April.

"Saudara saya gak apa-apa kan mas?", tanya Jasmina ketika ambulans itu sudah melaju dengan begitu kencang. Bunyi sirene memekakkan berhasil menyingkirkan kendaraan-kendaraan yang berada di depan mereka.

Sang paramedis terdiam, begitu juga dengan Devon.

"Mbaknya tenang aja, semoga pasien selamat. Rumah sakitnya gak jauh kok.", tutur sang paramedis berusaha menenangkan Jasmina. Istri Devon itu langsung menggenggam tangan April, seakan-akan ia adalah orang terpenting dalam hidupnya.

"Mbak April, yang kuat ya...kita akan segera sampai di rumah sakit. Mbak akan segera sembuh...", tutur Jasmina.

avataravatar
Next chapter