webnovel

Bab 2 Apa Aku Sehalus Angin?

Bagas POV

Jasmina, teman dan tetanggaku tersayang. Tumbuh bersama, ia pribadi yang sangat riang dan bersahaja. Salah satu teman terbaikku. Entah kenapa suatu hari ia enggan lagi bermain bersama, walau tidak banyak permainan yang bisa kami mainkan bersama karena tubuh gemuknya itu. Tapi Jasmina memiliki pribadi yang sangat menyenangkan. Ibunya yang seorang pemilik toko kue, selalu membagikan cemilan untukku dan tetangga-tetangga. Ayahnya yang dokter spesialis anak, selalu siap membantu para tetangga dengan konsultasi gratisnya. Keluarga yang sangat menyenangkan.

Jasmina tiba-tiba menjadi anak yang pendiam dan mulai menjauhiku. Entah kenapa. Apa karena ia memiliki teman lain, atau ada pengaruh ketika Ibunya meninggal sewaktu kami duduk di kelas 5, dan mereka menutup toko kue milik mereka. Ketika SMP kami meneruskan di sekolah yang berbeda, semakin jarang kami bertemu. Sesekali aku melihatnya sedang berjalan di dekat rumah, dan setiap itu juga penampilannya selalu berubah. Ntah rambutnya yang pendek, suatu hari panjang, berwarna pirang, wajah penuh jerawat, wajah penuh bekas jerawat yang pecah, wajah mulus, wajah jerawatan lagi dan seterusnya. Seakan-akan setiap waktu ia sedang mencari jati diri dalam dan luarnya, mana yang paling ia inginkan.

Ketika akhirnya kami satu SMA lagi, perempuan ini seakan berpura-pura tidak pernah mengenalku. Bila kami bertatap, ia akan memberikan anggukan pelan, senyum setipis kertas dan mengalihkan pandangan ke arah lain dengan cepat. Seperti kami tidka pernah satu sekolah dan tinggal dalam kompleks yang sama secara helooooooo 15 tahun mungkin??? Sombong banget yak! Apa sih masalahmu sayang?

Saat ini ia sedang berdiri di depanku, menyerahkan formulir yang sama dengan yang kupegang saat ini. Tubuhnya yang tinggi besar sungguh menghalang pandangan, sehingga yang bisa terlihat hanya rambut halus yang diikat sekenanya, jauh dari kesan rapi. Dengan sumringah dia mengepalkan kedua tangannya naik dan turun menatap kak Tyas sambil berkata "Fighting". Kekanakan, tapi pemandangan yang mau tidak mau membuatku tersenyum haru. Ia seakan-akan dalam proses ulat menjadi kepompong. Ia mencoba bermetamorfosis, akan sehebat apa dia?

"Hey, apakah kamu masih suka jadi celengan?", tanyaku. Aku bisa melihat lehernya menegang, tapi tak kunjung mau menolehku. Masi sombong ya?

Ia berbalik pelan dan anggun dan berjalan tenang melewatiku, seakan-akan aku tiada. Apa aku tak terlihat? Apa aku sehalus angin?

Next chapter