webnovel

Melangkah di Jalan yang Salah

Pulang sekolah, Aila dan Ryan memutuskan untuk ke rumah pohon lagi. Gadis itu ingin merehatkan hati dan pikirannya sejenak. Sebenarnya Ryan cukup paham dengan luka-luka yang berada di wajah gadis itu. Hanya saja Ryan tidak ingin memperkeruh keadaan, sahabatnya butuh privasi.

Mereka segera turun dari motor dan berjalan santai menuju rumah pohon itu. Aila tersenyum kecil, sedikit semangat menuju rumah pohon itu. Ah, bayangkan bagaimana dia tidak semangat jika di rumah pohon ini bisa membuatnya berbagai masalah. Tapi kalau di rumah? Haha, menyesakkan dada saja rasanya.

Aila naik ke tangga yang terbuat dari papan itu di bantu oleh Ryan. Saat tiba di atas, keduanya bingung kenapa pintu rumah pohon itu terbuka. Tidak ada yang tau tentang rumah pohon ini. Dan yang memegang kuncinya hanya Aila, Ryan, dan ... Ayka?

Ryan segera masuk ke dalam dan melihat bahwa di sana Ayka tampak sedang menatap beberapa gambar hasil tangan keduanya.

"Lo ngapain ke sini?" tanya Ryan to the point.

Ayka yang mendengar itu segera berbalik dan tersenyum. Seolah bukan dirinya yang dihina habis-habisan oleh Ryan semalam, meskipun Aila tak tahu apa-apa.

"Ya, gue kangen tempat ini. So what's wrong with visiting right? Ada yang salah?" kekehnya dengan senyum yang terpatri.

Aila segera memalingkan wajahnya. Sejujurnya, tidak ada rasa benci di hatinya pada saudara kembarnya itu. Hanya saja rasa iri yang sudah mendarah daging membuatnya sulit menerima sang kakak.

"Ck. Dah, lo balik sana. Ganggu banget jadi cewek," ketus Ryan dengan wajah tidak enak.

"Gue nggak mau. Gue baru nyampe juga. Ah yes, I don't bother you at all. So, biarin gue di sini," balas Ayka tetap ingin tinggal.

Aila sedikit bingung mengapa Ryan begitu ketus pada gadis berwajah sana itu dengannya, padahal semalam mereka begitu dekat. Apakah ada sesuatu yang tak diketahui olehnya? Aila jadi ingin bertanya, tetapi Ryan tampak sedang murka.

"Lo bisa ke sini lain kali. Waktu lo masih banyak kan? Lo nggak mati besok kan?" sindir Ryan dengan pedas.

Apakah Ayka sakit hati? Tentu tidak. Wajahnya masih saja tersenyum.

"Waktu gue cuma, eum ... mingguan. Tapi bersihnya paling 2 mingguan sih. Half a week away, yes I study for the next semester. So, waktu gue tipis," balas Ayka yang masih mempertahankan senyum manisnya. "Gue cuma habisin waktu musim dingin gue di sini, setengah bulan aja."

Ryan memalingkan wajahnya menatap ke arah Aila yang hanya diam saja. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir mungilnya.

"Lo mau kita pulang aja?"

Gegas Aila menatap wajah Ryan yang juga menatapnya. Kemudian beralih ke Ayka yang sudah tampak sedikit kaget.

"Hey, I'm not bothering you guys. Jangan gitu lah. Gue udah baik-baik mau ke sini, tapi kalian malah ngerasa keganggu," kata Ayka sedikit sebal.

"Lo ganggu. Gue udah bilang, gue nggak mau liat muka lo lagi. Bagi gue lo itu sumber masalah sama rasa sakitnya Ai. Gue harap lo ngerti, cewek pinter harusnya ngerti ucapan gue barusan, 'kan?" cibir Ryan dengan nada merendahkan Ayka.

"Yan. Gue sama Mika itu nggak ada bedanya. Lo kenap--"

"Jelas beda! you and him are different! Don't be the same because you will never be the same!" murka Ryan dengan wajah datar. Emosinya kali ini terpancing.

Aila planga-plongo mendengar pembicaraan mereka. Sedikit tidak paham apa artinya. Ah, Aila paling bodoh di antara mereka bertiga. Bahasa Inggris jauh lebih susah dipelajari ketimbang biologi?

"Yan! Gue tau gue beda sama Mika! Tapi salah gue sama lo apa sih ha?! Emangnya lo pikir dia doang yang terluka di sini?! Lo sadar nggak, ucapan Lo barusan bikin gue terluka juga!" pekik Ayka dengan suara setengah berteriak.

"Salah lo banyak Ayka! Coba lo nggak berusaha sesempurna yang di pikiran Om sama Tante, mungkin kalian bakalan hidup tenang! Cewek gak jelas!" maki Ryan.

Aila menatap mereka berdua, dia akui, memang dia menyukai Ryan membelanya, tapi kalo membela dengan menjatuhkan orang tuanya ... gadis itu tidak akan menyukainya.

"Gue cuma pengen jadi kebanggaan orang tua gue! Salah?! Itu salah?! Lo jangan egois Yan! Jangan karena Mika lo jadi hilang arah kayak gini!" teriak Ayka mengeluarkan emosinya.

Ryan menghela nafas. Niatnya untuk membela Aila kenapa jadi seperti ini.

"Iya gue hilang arah! Hilang arah demi seorang Ai! Karena gue sayang sama dia, beda sama lo yang terus ngerasa disaingi sama saudara kembar lo sendiri! Sampe berniat ngejatunin dia lewat prestasi dan paksaan!"

Ayka terkekeh pelan, menertawakan kalimat Ryan. "Salah gue jatuhin lewat prestasi? Salah? Gue jatuhin lewat diri sendiri, bukan lewat orang lain. Emang dasar Ai sendiri lah, dia yang goblok."

Seketika, jantung Aila mencelos. Lalu apa artinya kalimat semalam? Ini artinya Ayka tidak memanggilnya dengan sebutan Mika lagi? Makanya memanggil dengan sebutan Ai seperti yang lain?

"Iya Ka, aku yang bodoh. Tapi bukan berarti lo ngerasa paling tinggi. Inget, di atas langit masih ada langit."

***

Ai menyantap makan siangnya dengan santai. Siang ini, rumah sepi. Ayah dan neneknya sedang pergi keluar berbelanja keperluan Ayka selama di sini. Sedangkan Bundanya sedang di ruang keluarga menonton televisi. Sedari kemarin setelah saling memaki, Ayka tak mau mengajaknya bicara.

Ngomong-ngomong, Ayka memang sepenting itu. Bahkan segala kebutuhannya dipenuhi oleh nenek tanpa kecuali. Aila sendiri tidak pernah merasakan kasih sayang sang nenek. Karena bagi mereka Aila sangat pembangkang. Berbeda dengan Ayka yang sangat penurut.

Selesai makan siang, Aila mengangkat piringnya ke wastafel dan mencucinya. Rumahnya tidak menyediakan asisten rumah tangga. Sang bunda yang menghandle semuanya.

Aila merasa sedikit pusing saat ini. Pikirannya dipenuhi oleh Ayka dan Ryan. Namun, sudahlah dia yakin segalanya akan membaik. Begitu selesai mencuci piring, Aila melangkah ke arah kamarnya. Menonton tutorial cara menggambar bangunan bertingkat secara manual mungkin seru juga untuk mengisi kegiatan sorenya ini.

Asal orang tuanya tidak tahu. Atau menggambar juga boleh. Ngomong-ngomong, besok adalah hari terakhir sekolah sekaligus penerimaan raport semester genap. Jadi, untuk sisa hari ini Aila hanya ingin menghabiskan waktu di kamar saja.

Karena terlalu sibuk menghabiskan waktu sendirian, Aila lupa waktu. Jika saja tak ada pesan masuk maka dia tak sadar sekarang jam berapa.

Ryan :

[Keluar dong Ai. Gue di taman rumah lo nih.]

Aila membaca pesan singkat Ryan. Ini sudah menunjukan tengah malam, hari hampir berganti. Tidak biasanya Ryan seperti itu. Namun, walaupun begitu Aila tetap melangkah keluar. Mungkin hanya di taman saja tidak masalah bukan.

Aila segera keluar dengan baju tidur hitam miliknya. Anehnya, rumahnya ini tampak gelap gulita. Tidak seperti biasanya. Ah, dia tidak peduli dengan itu. Kakinya berhenti di taman samping rumah. Taman ini di hias dengan lampu redup dan kursi panjang. Tak lupa ayunan juga ada.

Gadis manis itu melihat Ryan duduk di ayunan . Mau tak mau akhirnya Ai menghampirinya. Namun, baru akan naik di ayunan itu, matanya menangkap sebuah kue dengan lilin bertuliskan angka 17 di atas kuenya. Aila jadi teringat, hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke 17. Ah, dia bahkan sampe lupa dengan hari kelahirannya.

"Happy Bhirtday, Ai. Panjang umur, semoga cita-cita yang kamu inginkan tercapai. Happy new sweet seventeen Ai," ujar Ryan dengan lirih.

Aila terkekeh, tapi air matanya terus berjalan keluar dari rongga matanya. "Makasih banyak ...," lirih Ai pelan.

Ryan mengangguk dan menyuruh Aila meniup lilinnya. Begitu tertiup, Ryan tersenyum puas kala usahanya datang kemari tak sia-sia.

"Ini buat kamu."

Seketika Aila merasa nyaman dengan aku-kamu nya Ryan.

"Makasih banyak, Yan," tutur Aila, lagi.

Aila yang hendak mengatakan sesuatu terkejut kala Ryan mendekat dan membisikkan sesuatu. "Boleh kecup keningmu, Ai?"

-Bersambung ....

Next chapter