20 Jarak

Gue baru tau, kalau ternyata rindu sama gengsi itu saudaraan. Karena orang kalau lagi rindu suka gengsi bilang.

-Jomblo yang ngarep dikangenin-

©

Tiga hari sudah Tria habiskan di Sumba, refreshing tanpa Gean yang memintanya hal-hal aneh.

Tanpa Fans Gean yang menanyakan kegiatan Gean apa saja, dan tentu saja tidak ada sbux gratis.

Namun pesan Gean tetap saja masuk ke ponsel Tria, posisi Gean memang penting di perusahaan. Direktur sales and Marketing, menjadi tonggak utama. Penjualan adalah sumber utama pundi-pundi perusahaan. Tanpa penjualan perusahaan bisa gulung tikar. Sehingga keberadaan Tria mendukung pekerjaan Gean juga sangat penting.

"Kenapa lama banget jawab telponnya?" suara Gean di sebrang sana masih saja terdengar menyebalkan untuk Tria. Menyesal rasanya mengangkat telpon Gean, dua belas kali panggilan tak terjawab semuanya dari Gean. Dan ini baru pukul tujuh pagi.

"Ini masih jam tujuh pagi, Pak." Tria mengucek matanya, mengintip keluar jendela dimana Matahari sudah bersinar tanpa malu-malu menerobos kamarnya. "Jam kerja kan jam delapan, ini saya belum bangun."

"Terus kalau kamu belum bangun siapa yang jawab telpon saya sekarang?"

"Emm... " Tria menguap tanpa menutup mulutnya. Ia bisa membayangkan jika Gean mungkin akan bergidik jijik di sana.

"Di sana jam tujuh, di sini masih jam enam Tria. Lebih pagi dimana? Kamu nggak belajar Geografi ya?" masih saja bertanya hal yang tak perlu, sebenarnya apa tujuan Gean menelpon Tria sepagi ini.

"Waktu pelajaran Geografi saya tidur," Tria bangun dari ranjangnya, mengapit ponselnya di antara telinga dan bahu. Membuka gorden tipis yang menutupi jendela di arah selatan. Sejauh mata memandang warna hijau mendominasi, pohon rindang dan udara bersih memang bagus untuk kesehatan.

"Bapak mau ngapain telpon saya?"

"Kamu ingat hari ini saya ada meeting dengan komisaris," jelas Gean, dari suaranya Tria bisa menebak jika bosnya ini sedang kebingungan. Pantas saja jam enam pagi dia sudah uring-uringan tidak jelas.

"Iya, kan sudah disiapkan semuanya sebelum saya cuti waktu itu. Apa yang harus Pak Gean presentasikan terkait sales performance."

"Bukan itu masalahnya."

"Lalu?"

"Saya nggak mau pake jas, kira-kira kemeja apa yang harus saya pakai. Dasinya warna apa juga bagusnya?"

Udara yang masuk ke dalam paru-paru Tria pagi ini cukup jernih, sehingga pikiran Tria juga sedikit jernih saat menghadapi pertanyaan Gean yang cukup sepele ini. "Pake warna coklat muda, yang waktu itu Pak Gean pakai saat ada kunjungan Gubernur Jawa Barat perihal CSR itu."

"Dasinya?"

"Yang motif daun mapple coklat hitam itu," ingatan Tria soal pakaian Gean cukup jeli.

"Saya keren pakai itu?" pertanyaan yang useless sebenarnya, menurut Tria Gean itu emang udah ganteng dari lahir. Ya pakai baju apa aja nggak akan mengurangi ketampanannya.

"Keren," Tria tertawa, mengingat dulu bagaimana tahun pertama bekerja dengan Gean, pria itu selalu salah tingkah bahkan gerogi ketika harus menghadapi beberapa orang yang dia hormati. Gean takut salah, ia malu jika dirinya harus terlihat bodoh di depan orang yang ia jadikan panutan. Apalagi jajaran komusaris adalah mereka-mereka yang memang sudah mumpuni pengalamannya di bidang masing-masing.

"Kok kamu ketawa?"

"Saya nggak ketawa." elak Tria, ia berusaha merapatkan bibirnya. Mengenyahkan kilatan bayangan masa lalu yang malu-malu muncul di pikirannya.

"Saya nggak bisa lihat wajah kamu, tapi saya bisa denger tawa kamu." Gean memang tidak pernah mau kalah.

"Ya udah iya saya ketawa, terus kenapa kalau saya ketawa. Nggak boleh?" ejek Tria. Biarkan saja Gean kesal di ujung sana, lagian rese banget pagi-pagi sudah menelpon Tria hanya karena masalah pakaian. "Saya boleh tutup telponnya nggak?"

"Temenin saya sarapan!"

Hah? Otak Tria sedikit loading, temenin sarapan? Gean di Jakarta dan Tria di Sumba. Gimana cara Tria nemenin Gean?

Ketika Tria dan otaknya berpikir, panggilan suara Gean sudah terputus. Belum hilang kebingungan Tria, kini nama Mr Hurry Up muncul. Namun bukan panggilan suara, tapi video call.

Rambut Tria masih berantakan, piyama tidurnya itu daster. Daster lengan pendek yang ujung lengannya sudah sedikit sobek, sekarang Gean mau video call?

Ini namanya menjatuhkan harga dirinya, memudahkan jalan Gean yang memang selalu mengejek penampilannya.

Tria sengaja tak menjawab Video Call Gean, beberapa saat kemudian muncul pesan yang membuat Tria tak punya pilihan selain mengangkat video call Gean.

Mr Hurry Up : Insentif kamu bulan depan enaknya saya alihkan keman ya?

Gean tak membuat panggilan video lagi, membuat Tria harap-harap cemas dengan insentifnya. Sambil berjalan mundar-mandir tak jelas akhirnya muncul keberanian Tria untuk melakukan panggilan video. Biarlah, demi keselamatan insentifnya.

Gean langsung menjawab panggilan video Tria. Di dalam apartemen Gean duduk di ruang makan minimalis miliknya dengan ponsel yang sudah menghadap ke arahnya.

"Kangen ya kamu sama saya? Sampe video call segala?"

Ini mungkin yang namanya memutar balikan fakta, siapa yang mengancam mengalihkan insentif? SIAPA?

Di depan Gean ada pancake dengan secangkir kopi hitam, Gean sudah memakai kemeja coklat dan dasi yang sudah Tria sarankan.

"Yang minta ditemenin sarapan siapa?" tanya Tria, ia merapikan rambutnya dengan menyisir menggunakan jari. Menyimpan ponselnya di depan laci.

"Saya nggak maksa, buktinya kamu yang video call saya kan?" ekspresi Gean dengan senyum yang menyungging membuat Tria mengedutkan alisnya.

Nggak maksa. Tapi insentif gue jadi taruhannya.

"Jangan banyak-banyak makan pancakenya, nanti kekenyangan terus mual-mual lagi." kalau mau bahas siapa yang kangen siapa bisa berabad-abad sampe pluto masuk jajaran planet lagipun nggak akan kelar-kelar.

"Kamu tau banget saya."

"Yeah... " Tria mengalihkan pandangannya, sebenarnya hampir memutarkan bola matanya. "But, you never know me."

Gean tersenyum, mengunyah potongan pancake yang masuk ke dalam mulutnya.

"Oh ya? Saya tau kamu, kamu suka warna orange dan..." Gean berpikir keras mengingat apa saja yang ia ketahui soal Tria.

"Udah kan itu aja," timpal Tria pasrah. Gean memang tidak bisa diharapkan, mana tahu dia soal Tria. Lagi pula Tria salah jika berharap kalau Gean akan sedikit mengenal Tria lebih jauh, posisi Tria hanya pekerja. Tidak lebih.

"Kamu suka tidur pakai daster, kayak sekarang." Gean tertawa, namun tak bersuara hampir mirip senyum bahagia yang sering Tria lihat jika pria itu berhasil mengejek atau membuat Tria kesal.

"Udah selesai?" percuma punya wajah tampan kalau dia jodoh orang, kayak senyum Gean yang udah kayak obat terlarang yang bisa bikin candu. Bahaya kalau keterusan.

"Kamu kayaknya seneng banget jauh dari saya?" Gean menyelesaikan potongan pancake terakhirnya, kemudian menyesap kopinya perlahan.

Bahagia? Sudah pasti.

"Hm."

"Kamu males ngomong sama saya?"

"Iya, saya kesini mau liburan bukan malah video call sama Pak Gean."

"Coba putar kamera ponsel kamu dong, kayaknya hotel tempat kamu menginap bagus tuh." pengalihan yang sempurna.

"Saya di Sumba," jawab Tria to the point. Tria tahu Gean memang penasaran tentang destinasi liburannya. Karena dari itu kemarin Tria memberitahu Gean jika dirinya pergi berlibur ke Nusa Tenggara tapi tak ia sebutkan tepatnya dimana, "Liburan tanpa Pak Gean ternyata membuat saya sadar kalau saya sudah terlalu lama fokus dengan satu titik."

Tria lupa jika dirinya butuh perhatian. Bahkan dirinya baru sadar dengan perkataan Mila. Jika Tria tak pernah memikirkan tentang dirinya sendiri, terlalu fokus dengan pekerjaan sampai lupa jika ia harus mencari pendamping hidup.

Karena mencari pendamping hidup bukan hal yang mudah, terlebih untuk wanita yang sudah melewati seperempat abad hidup di dunia. Tampan bukan lagi ukuran, atau baik saja tak cukup untuk menggiring ke pelaminan.

"Pak Gean benar, saya harus mulai cari pacar. Atau mungkin pendamping hidup," kata Tria. Meski Gean hanya diam tak menanggapi Tria terus mengeluarkan kata. "Saya sudah cukup tua untuk pacaran yang berujung putus."

"Kan nggak etis, kalau pacaran sama saya. Nikahnya sama orang lain," kekhawatiran Tria soal pendamping hidup semakin menjadi mengingat populasi perempuan di dunia lebih banyak dibanding pria.

"Bagus deh, biar kamu juga nggak usah sibuk ngurusin saya."

"Asha gimana?" sebenarnya Tria tak cukup setuju jika Gean harus berpacaran dengan Asha, karena ternyata Asha tak cukup baik seperti apa yang terlihat.

"Tuhkan, barusan aja dibilang. Kamu udah bahas Asha."

"Saya kan cuma tanya, untuk sekedar info juga sama fansnya Pak Gean nanti. Kalau ternyata Pak Gean udah nggak available, alias sudah terikat dengan perempuan lain." karena yang menanyakan status Gean itu cukup banyak, bukan hanya Sherly atau Riana.

"Udahan ya?" ini Gean minta izin atau gimana sih?

"Apanya?"

"Video callnya," jawab Gean. Ternyata sudah lima belas menit lebih mereka melakukan panggilan video. "Nikmatin liburan kamu. I wish you always smile." ucapan Gean kali ini terdengar lebih tulus.

Tria tersenyum, "Like this?"

"Yeah, jangan lupa pulang ya!"

Hening yang menjurus ke canggung memang sangat tak nyaman rasanya.

"Nggak ada kamu disini, saya jadi merasakan kembali apa yang namanya kangen."

Genderang di jantung Tria terdengar semakin kencang. Wajahnya bersemu merah seperti bunga sakura, sampai sulit berkata-kata.

"Kangen bisa marahin kamu maksudnya."

Doorrr...

Pecah sudah genderangnya. "Bodo amat deh Pak, sebahagia Pak Gean aja. Mau kangen, rindu atau sayang sama saya juga masa bodoh saya nggak peduli."

Lagi-lagi Gean tertawa senang, matanya menyipit karena tawa yang terpingkal-pingkal. Menertawakan Tria yang merajuk.

"Tadi saya sempat kangen, sebelum akhirnya kita video call. Saya jadi tahu, kalau merindukan seseorang ternyata bisa sebahagia ini."

Percaya nggak ya?

TBC

avataravatar
Next chapter