webnovel

1. Liburan Musim Panas

Liburan musim panas memang menjadi salah satu momen paling dinantikan bagi setiap orang. Setelah menerima pembagian hasil belajar selama satu semester seperti anak-anak lainnya, Sho beserta Yoshi memutuskan untuk berlibur sejenak ke Istana Tenju-An.

Perjalanan itu memakan waktu selama dua jam, meskipun mobil pribadi mereka melaju dengan cepat. Akaito membawa kendaraan mereka dengan cukup santai, karena dia ingin menikmati waktu bersama dengan kedua anaK dan istrinya.

"Jadi," Mafuyu yang duduk di samping Sho menoleh, "Apakah kalian menikmati perjalanan ini?"

"Tentu!" Jawab Sho dan Yoshi nyaris berbarengan.

Selama perjalanan jauh yang berlangsung, Sho dan Yoshi beberapa kali melakukan permainan kecil ataupun sekedar bercerita. Akaito dan Mafuyu yang duduk di kursi depan hanya mendengarkan dengan tenang, ataupun memberikan tanggapan atas antusiasme mereka saat mengatakan sesuatu.

Hingga pada saat mereka memasuki kawasan perhutanan, Yoshi menanyakan sesuatu yang mengundang kekehan Sho.

"Ibu," gadis itu menatap ibunya melalui kaca spion tengah. "Apakah di istana nanti ada kolam ikannya?"

"Humn? Setau ibu ...ada," Mafuyu pun menoleh ke belakang, "Ada apa, Sayang?"

"Bolehkah aku memancing di sana?" ujar Yoshi asal.

Pertanyaan yang polos dari adiknya jelas mengundang gelak tawa Sho. Akaito sendiri berusaha mati-matian menahan tawa selagi menyetir, sementara Mafuyu hanya terkekeh saat melihat wajah kebingungan Yoshi.

"Sebaiknya jangan, Yoshi." Sho yang sudah berhenti tertawa segera menjawab rasa ingin tahu adiknya. "Tempat itu adalah kuil para dewa sekaligus istana bersejarah, jadi bisa dipastikan ikan-ikan di sana pun dijaga oleh pihak pengelola."

"Apa yang dikatakan oleh kakakmu itu benar, Sayang." Akaito menanggapi.

Selagi kakinya menginjak pedal gas sedikit lebih keras untuk menyalip mobil di depan mereka, mata birunya melirik Yoshi yang nampak masih belum mengerti penjelasan kakaknya.

"Begini," Akaito mengetuk kemudinya selagi mencari cara memberikan penjelasan yang mudah dipahami, "Kalau Sho mengambil es krim milikmu ...apa kau akan marah, Yoshi?"

"Tentu saja aku marah!" sahutnya berapi-api.

Mendengar jawaban tersebut, Akaito tersenyum tipis dibalik setir kemudinya.

"Jadi, kalau aku menangkap ikan di sana ...aku kena marah?"

"Bingo!"

Selagi Yoshi mengangguk-angguk mengerti, Mafuyu hanya bisa tersenyum kecil melihat interaksi anak dan suaminya yang begitu hangat. Mereka sangat jarang berkumpul seperti ini, mengingat Akaito dan Mafuyu harus berada di luar kota sepanjang musim. Sebab itulah Mafuyu segera merencanakan liburan ini begitu anak-anaknya sudah menerima hasil pembelajaran selama satu semester.

Selain alasan tersebut, Mafuyu ingin Sho dan Yoshi jauh lebih dekat dengan orang tuanya. Sejak beberapa tahun belakangan, mereka berdua tinggal bersama dengan kakeknya di Prefektur Nara. Kesempatan untuk bertemu dengan anak-anak pun hanya sebatas hari libur, selebihnya Akaito dan Mafuyu akan berada di Hokkaido.

Setelah percakapan itu berakhir, mereka terhanyut oleh pemandangan di luar jendela mobil. Karena keheningan itulah Yoshi tanpa sadar sudah tertidur di pangkuan Sho.

"Sho, apakah Yoshi mulai bertindak aneh belakangan ini?"

Akaito memastikan terlebih dahulu bahwa putrinya sudah terlelap sebelum bertanya. Dia tidak bisa dan tidak ingin Yoshi mendengar percakapan mereka, karena Akaito berpendapat ini belum waktunya.

"Tidak ada, Ayah." sahut Sho.

"Begitukah?" Akaito mengetuk-ngetuk setir mobilnya perlahan selagi menunggu lampu lalu lintas berganti warna. "Sho, menurutmu kapan dia akan menyadarinya?"

Sho melihat wajah Yoshi di pangkuannya, kemudian balik menatap ayahnya dari spion tengah.

"Entahlah," keraguan terdengar dari suara Sho, "Yoshi adalah anak yang cepat tanggap ...dia pasti akan menyadarinya dalam waktu dekat."

Akaito kembali menginjak pegas. "Begitukah? Baiklah, sampai saat itu tiba tolong jaga adikmu, Sho."

•••

Mafuyu melempar koper berisi pakaian kepada Akaito saat melihat kedua anaknya berlari menjauh. Tanpa perasaan wanita itu membiarkan wajah sang suami terkena lemparan, hingga membuatnya terhuyung ke belakang. Di saat bersamaan, Mafuyu meneriakkan nama mereka berdua.

"Shouichi! Yoshi! Jangan terlalu jauh!"

"Baik, Bu!" jawab mereka serempak sebelum berlari menjauh.

Mafuyu hanya terdiam menatap kedua anaknya pergi menjauh, lupa kalau Akaito membutuhkan bantuannya untuk mengeluarkan barang-barang. Menyadari istrinya melamun selama beberapa waktu, Akaito menyentuh pundaknya sehabis menurunkan koper terakhir.

"Ada apa, Mafuyu?"

Wanita itu berbalik dan menatap mata Akaito dalam-dalam, jelas sekali dia gelisah karena sesuatu. Melihat respon itu membuat pria tersebut mengecup kening Mafuyu, kemudian memeluknya dengan erat.

"Aku membenci ini, Akaito-kun," tutur Mafuyu lemah, "Firasatku sebagai 'Dai'on' tidak pernah salah, dan kini ...firasatku sangatlah buruk.

Akaito terdiam sejenak. "Berdoa saja tidak ada hal buruk yang akan terjadi, Mafuyu."

Mafuyu mengangguk dan mengikuti saran Akaito, sebelum menoleh untuk melihat punggung kedua anaknya yang mulai berlarian menjauh.

                                              •••

Hembusan angin musim panas membuat udara di sekitar terasa begitu sejuk. Bayangan pohon rimbun yang bergerak terkesan menyeramkan, namun juga memberikan mereka perlindungan dari teriknya mentari. Bahkan Sho sampai tertidur di bawah pohon, hingga tidak sadar kalau Yoshi sudah berjalan-jalan seorang diri.

Di luar dari pengawasan sang kakak, Yoshi berjalan seorang diri menyusuri semak mulberry liar. Langkahnya yang mulus tiba-tiba harus terantuk oleh gundukan daun di tanah, membuatnya jatuh terjerembab.

"Aduh ...." keluh Yoshi sambil memeriksa kakinya.

Saat dia mengeluh karena kaki yang terluka, semak-semak di depannya bergerak dengan cepat. Yoshi terdiam dengan perasaan takut dan wajah tegang, namun berubah menjadi senyuman begitu seekor rubah kecil keluar dari sana.

"Kakak! Kak Sho!" Yoshi menjerit memanggil nama kakaknya.

Meski sudah berteriak sekuat tenaga, Sho tidak kunjung menghampiri Yoshi. Gadis itu memutuskan untuk membawa kembali serigala tersebut seorang diri meski kakinya terluka.

Begitu dia hampir keluar dari daerah yang rapat akan pepohonan, Sho sudah berlari mendekat dengan wajah cemas. Napasnya memburu dengan keringat jelas menghiasi pelipisnya.

"Kau darimana saja?! Apa kau terluka? Astaga ...kau ini!" Sho terdiam sejenak melihat kondisi adiknya yang mengernyit--menahan sakit--dengan seekor serigala kecil di tangannya.

Niat memarahinya pun segera memudar. Tanpa berbasa-basi lagi, dia berjongkok di depan Yoshi.

"Kita kembali saja ke penginapan, sekarang ...naiklah," Sho menoleh ke arah Yoshi, "Lukamu harus disembuhkan terlebih dulu."

                                      

Pada awalnya Yoshi ragu untuk naik ke gendongan kakaknya, namun begitu dia sudah menempel pada punggung Sho, pemuda itu segera berdiri dan berjalan.

"Apakah luka itu terasa sakit?" Sho memecahkan keheningan di antara mereka berdua.

"Tidak," jawab Yoshi, "Hanya saja terasa perih."

Sho mempercepat langkahnya begitu mendengar jawaban adiknya, dia harus segera membersihkan luka tersebut atau akan terjadi infeksi akibat kuman. Sayangnya perjalanan itu tidak semudah kelihatan di dalam film.

Sho nyaris kehilangan napasnya begitu mereka mendekati bangunan penginapan. Perjalanan dari hutan sudah menguras tenaganya, ditambah harus menggendong Yoshi di punggung. Beruntung saja ayah mereka tengah berada tak jauh dari sana untuk merokok, jadi Sho bisa bernapas lega.

"Astaga! Apa yang terjadi?!" Akaito mematikan rokok tersebut ke dalam tempat sampah sebelum menghampiri mereka berdua.

Sho menjelaskan bahwa Yoshi terjatuh saat bermain dan terluka, menyingkirkan fakta bahwa dia lalai mengawasi adiknya dengan tertidur di bawah pohon. Akaito menggelengkan kepala tidak menyangka kedua anaknya bisa ceroboh, sebelum mengangkat mereka berdua bersamaan dan kembali ke kamar.

Di dalam ruangan yang cukup luas tersebut, Akaito menurunkan keduanya di dekat pintu masuk. Mafuyu yang baru saja keluar dari kamar mandi segera berlari mendekat, untuk memastikan apa yang terjadi kepada putri kecilnya.

"Yoshi, apa yang terjadi!? Kenapa ...kenapa kakimu bisa terluka? Sho! Apa kamu tidak mengawasi adikmu? Lalu ...hewan apa yang kamu bawa ini, Nak?" serang Mafuyu dengan beragam pertanyaan.

Akaito menghela napas begitu melihat tingkah istrinya. Sho bahkan dibuat bungkam karena tatapan Mafuyu yang mempertanyakan tanggung jawabnya, sementara Yoshi berusaha membuat ibunya kembali tenang.

"Ibu," dengan takut Yoshi mulai menjelaskan, "Ini bukan salah Kak Sho. Aku bermain terlalu jauh dan terjatuh, sehingga kakiku luka. Saat itulah aku bertemu dengan serigala kecil ini, dan membawanya kembali kemari."

Mendengar jawaban dari putrinya, Mafuyu menarik napas dalam-dalam sebelum memeluknya erat. Dia berulang kali meminta maaf karena sudah berlebihan dalam bereaksi, namun juga beberapa kali merasa kesal karena Sho lengah dalam mengawasi Yoshi.

"Kalau begitu kalian mandi dan bersiaplah," Mafuyu menatap Yoshi dan Sho bergantian, "Kita makan malam di luar saja."

Yoshi hanya mengangguk, namun dia terdiam sejenak sebelum memberanikan diri menyampaikan sesuatu.

"Ibu ...apakah aku boleh ...um," Yoshi melihat ke arah rubah kecil yang digendongnya, "Memeliharanya?"

Mafuyu menoleh ke arah Akaito yang mengangguk dengan cepat. "Baiklah," Mafuyu tersenyum, "Kau boleh memeliharanya. Jadi, sekarang mandilah dan ibu akan mengobati lukamu setelah ini."

Keduanya segera masuk ke dalam kamar mandi berbeda selepas Yoshi menyerahkan serigala tersebut kepada Mafuyu. Melihat mereka yang sudah tidak dapat mendengar percakapan di antara dia dan sang suami, Mafuyu segera menghadap Akaito sembari menggendong makhluk kecil berbulu tersebut.

"Akaito-kun, apa kau yakin ini keputusan yang baik?" tanya Mafuyu berhati-hati.

Akaito menatap mata istrinya, kemudian beralih memperhatikan serigala kecil yang tengah tertidur itu.

"Tidak apa, Mafuyu." jawab Akaito meyakinkan istrinya. "Serigala ini ...dia akan melindungi Yoshi. Percayalah padaku."