1 PILOT

"Batari Srikandi!"

.....

"Batari?"

.....

"BA-TA-RI!"

Brak!!!

Spontan gue membuka mata dan mengangkat kepala. Rupanya Pak Amir, pelaku penggebrak meja yang telah mengganggu tidur gue tadi.

"Semalam kamu tidur jam berapa, hah?!" Pak Amir bertanya dengan nada tinggi seolah sedang membentak gue.

"Jam sebelas," jawab gue dengan santai.

"Ngapain saja kamu baru tidur jam segitu? Seharusnya pelajar seperti kamu jam sembilan malam sudah tidur!"

"Tugas banyak Pak, makanya saya baru bisa tidur jam segitu."

"Tugas apa? Saya ingin tahu."

"Tugas harian kenaikan level," gue menjawab dengan hati-hati karena gue tahu pasti Pak Amir akan—

"Batari!!! Bapak sudah sering menasihati kamu untuk tidak bermain gim sampai larut malam! Kamu pelajar, Bapak tidak melarang kamu untuk bermain gim tapi kamu harus tahu apa tugas dan kewajiban kamu sebagai seorang pelajar! Bapak tahu nilai-nilai kamu memang bagus di semua mata pelajaran, tapi kalau sikap kamu seperti ini terus, saya khawatir kamu akan di remehkan oleh orang lain."

Panjang kali lebar kali tinggi seperti sebuah rumus volume kubus, pasti Pak Amir akan berkhotbah. Itulah resiko masuk sekolah unggulan yang terkenal akan kedisiplinan yang ketat.

Nama gue Tari, lengkapnya kalian sudah mendengar sendirikan Pak Amir menyebutkan nama gue pas gue tidur tadi?

Nama yang unik, pasti itu komentar kalian ketika mendengar nama gue. Entahlah, gue juga bingung kenapa orang tua gue menamakan gue dengan nama seunik itu. Namun setelah gue pikir, untuk apa malu memiliki nama unik? Toh orang tua memberikan nama itu juga tidak asal. Nama adalah doa, jadi dibalik nama unik terselip sebuah doa untuk kehidupan kita. Bukan begitu?

Dan gue pernah membaca sebuah buku tentang kisah Pewayangan Jawa, terdapat nama Dewi Srikandi disana. Dikisahkan bahwa Srikandi lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna. Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Lalu ia menjadi suri teladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan Kesatrian Madukaea dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayudha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati Agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, putri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang dendam kepada Bisma. Namun dalam akhir riwayat Dewi Srikandi tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke kerato Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayudha.

Cukup panjang kan dongeng-nya?

Akibatnya gue pun di keluarkan dari kelas.

Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Toh kalau sudah di keluarkan dari kelas mau pergi kemana lagi? Lebih baik membolos sekalian daripada menunggu sampai jam istirahat makan siang tiba.

Gue bergegas lari menuju gedung belakang sekolah. Gak mungkin kan bolos sekolah tapi keluarnya lewat gerbang? Itu sih namanya bukan bolos, tapi pulang sekolah.

Kebetulan di gedung belakang terdapat tumpukan kursi dan meja yang tak terpakai, jadi bisa dengan mudah untuk gue melewati dinding pembatas yang tingginya segede alaihim.

"Jangan bilang lo mau bolos lagi?"

Gue menoleh ke sumber suara, rupanya dia, bocah ingusan dan tukang ngadu.

"Kenapa? Lo mau ngaduin ke bokap kalo gue bolos?" tanya gue dengan nada sedikit menantang.

"Kak, lo udah kelas tiga. Memangnya lo mau gak lulus cuma gara-gara sering bolos? Seharusnya di kelas tiga ini lo fokus belajar buat ujian kelulusan lo."

"Yaelah masih tahun depan ini ujiannya. Gak usah cerewet deh kayak bokap!"

Gue dengar ia menghela nafas.

"Dasar pemberontak!"

"Dasar penurut!"

Dia pun bungkam. Gue lihat bibirnya mengerucut dan tangannya mengepal. Kesal? Ini masih belum seberapa.

"Gak usah berisik lo! Mau gue bolos kek, mau gue berantem kek, bukan urusan lo! Anak kecil, jangan suka ikut campur urusan orang lain, okay?"

Gue berbalik badan kemudian segera memanjati tumpukan kursi dan meja lalu melewati dinding sekolah. Sebelum gue turun, gue masih bisa melihat Cakra, adik semata wayang gue, berdiri dibawah sana sembari menatap gue. Gue pun melompat turun lalu bergegas pergi.

Setidaknya setiap hari gue membawa jaket ke sekolah, supaya sewaktu-waktu gue bolos, gue bisa menutupi seragam gue dengan jaket ini. Gue berjalan menelusuri bahu jalan yang mengarah ke lampu merah perempatan kafe tempat biasa gue membolos. Namun sebelum sampai di perempatan lampu merah, gue melihat dua orang laki-laki yang berpakaian seperti preman dengan tato di kedua lengan mereka. Gue perhatikan dari belakang mereka sepertinya gerak-gerik mereka mencurigakan. Dan benar saja, di depan mereka seorang ibu paruh baya sedang membawakan sebuah kantong belanjaan besar dan di tangannya juga secara gamblang ia menenteng dompetnya. Karena gue gak boleh berprasangka buruk terhadap orang lain, jadi gue cuma bisa memperhatikan dan membuntuti mereka dari belakang.

Dugaan gue benar ketika gue lihat mereka berlari dan merebut dompet dari tangan ibu paruh baya itu. Si ibu berteriak "copet" namun sepertinya tak ada yang gubris. Tanpa basa-basi gue pun mengejar dua pencopet tersebut entah kemana mereka berlari.

Sampai di sebuah gang buntu, mereka berdua pun berhenti dan terkejutnya mereka ketika ingin melarikan diri namun berhasil gue hadang.

"Percuma badan gede tapi otaknya dangkal!" Umpat gue kepada mereka.

"Heh bocah! Apa maksud lo ngomong begitu?" tanya salah seorang pencopet.

"Percuma gue jelasin, kalian juga gak bakal ngerti gue ngomong apa." jelas gue, "Balikin barang yang bukan milik kalian!" pinta gue.

"Oh, lo mau jadi pahlawan ceritanya?" gue lihat ia tersenyum remeh, "Eh bocah, mending lo balik ke sekolah terus belajar yang bener! Gak usah lo ikut campur urusan orang dewasa kayak kita!" perintahnya.

"Gak ada yang bisa merintah gue kecuali nyokap." jawab gue.

"Yaudah kalo gitu lo telepon emak lo sekarang, biar gue yang bilang kalo lo bolos sekolah."

Gue pun tertawa menyeringai mendengar ucapannya.

"Nyokap gue udah meninggal. Kalian mau nyusul?"

"Brengsek nih anak kecil!" dia berancang-ancang untuk menghajar gue namun di cegah oleh teman satunya.

"Sebentar bos, masalahnya dia masih pakai seragam sekolah, cewek pula." temannya berbisik namun masih bisa terdengar di telinga gue.

"Emangnya kenapa kalau gue cewek? Kalian takut?" nada gue pun terdengar menantang.

"Heh bocah, lo denger ye! Seumur hidup gue gak takut sama siapa-siapa disini. Bocah piyik kayak lo, gue sentil juga nangis kabur lo! Untungnya gue masih punya perasaan, jadi lo pegi deh sebelum gue berubah pikiran."

Terdengar begitu meremehkan gue.

"Eh preman bego! Lo pikir gue takut sama lo?" gue pun mengambil ancang-ancang bersiap untuk melawan. "Lo jual gue beli!" sahut gue dengan nada semakin menantang.

For your information, dari kecil gue dibekali ilmu bela diri sama bokap. Sampai sekarang gue masih menekuni ilmu bela diri tersebut. Dan semenjak itu, gue menjadi lebih berani dan gak takut sama siapapun terutama orang-orang yang berbuat salah seperti dua preman tadi.

Gue berhasil mengalahkan mereka dengan ilmu bela diri yang gue punya. Meskipun ada sedikit lecet di lengan kiri gue, setidaknya gue berhasil mengembalikan dompet kepada ibu paruh baya tadi. Dan mereka berdua sudah diamankan oleh pihak berwajib karena kebetulan ada warga lewat dan menolong gue untuk mengamankan dua pencopet tadi.

"Makasih banyak yah nak, ibu gak tau harus bagaimana berterima kasih sama kamu karena kamu sudah mengembalikan dompet ibu. Kalau dompetnya beneran hilang, malam ini terpaksa anak-anak tidak makan!" jelas si Ibu.

Anak-anak?

"Anak-anak ibu?" tanya gue.

"Bukan, tapi anak-anak panti." jawabnya.

Eh Astagfirullah! Alhamdulillah gue bisa menolong ibu ini dari pencopet tadi kalau tidak— gak tau deh gimana nasib mereka anak-anak panti.

"Maaf Bu kalau boleh saya tahu, apakah ibu pengurus pantinya?" tanya gue.

"Iya nak."

"Terus, yang ibu bawa ini—"

"Oh, ini pakaian orang yang mau saya cuci. Ini mata pencaharian saya sekaligus untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di panti."

Gue manggut-manggut mendengar jawaban dari si ibu.

"Boleh saya bantu bawa?" tanya gue menawarkan diri.

"Terima kasih nak, tapi bukannya seharusnya kamu pergi sekolah? Ini kan masih waktu jam belajar?"

"Tiba-tiba ada rapat guru di sekolah saya, makanya bisa pulang jam segini."

Duh, terpaksa bohong deh gue. Ya Allah, maafkan hamba untuk satu kali ini saja.

"Oh begitu, ya sudah. Mari ikut ibu nak!"

avataravatar
Next chapter