2 1 - The Grey Matters

Gue berterima kasih kepada Tuhan karena gue dilahirkan dari keluarga yang berkecukupan. Dan gue juga berterima kasih karena di berikan kedua orang tua yang begitu sayang dan perhatian kepada anak-anaknya. Meskipun cara mendidik mereka tak selembut seperti orang tua pada umumnya.

Sejak kecil kami bertiga di didik untuk berusaha keras bila menginginkan sesuatu, dan selalu melihat orang-orang di sekeliling. Didikan tersebut membuat kami menjadi anak-anak yang mandiri, kuat dan pemberani.

Ya, gue tiga bersaudara dan gue anak tengah. Satu-satunya anak perempuan di keluarga. Adik gue Cakra, dan kalian sudah melihatnya tanpa perlu gue perkenalkan lagi kepada kalian. Lalu kakak gue Abi, jarak usia kami 10 tahun. Tak seperti Cakra, menurut gue Mas Abi paling bisa diandalkan dalam segala hal terutama rahasia gue. Profesinya sebagai dokter militer membuat ia sibuk dan hampir jarang berada di rumah.

Sesampainya di panti gue segera menaruh kantung besar itu di atas sofa sesuai perintah si ibu. Oh ya, gue akan menjelaskan singkat suasana di panti ini.

Tak seperti panti yang ada di drama televisi kalian tonton setiap malam, panti ini terbilang cukup kecil. Mungkin bisa gue bilang ini adalah rumah sederhana yang di huni oleh banyak anak. Ibu bilang panti ini di huni kurang lebih ada 15 anak, 2 diantaranya ada yang sudah kuliah sambil bekerja, lalu 3 anak ada yang bersekolah di jenjang SMA, kemudian 5 anak bersekolah di tingkat SMP, 3 anak bersekolah di tingkat SD dan 2 anak masih balita.

Ibu juga cerita kalau dia punya 2 anak kandung yang juga tinggal disini. Anak pertamanya sedang kuliah sambil bekerja, dan anak bungsunya masih bersekolah di tingkat SMA yang katanya seumuran gue. Kebetulan anak bungsu si Ibu mendapatkan beasiswa penuh sehingga ia bisa bersekolah di sekolah ternama seperti sekolah gue. Selain sebagai buruh cuci, Ibu juga menjual berbagai macam kue kering dan itu pun kalau ada pesanan.

Oh iya gue lupa, namanya Ibu Indy di jalan tadi kami berkenalan sekaligus mengobrol sedikit tentang panti yang ia tinggali saat ini. Panti ini berdiri sudah hampir 30 tahun, dan panti ini adalah peninggalan mendiang suami Ibu Indy. Almarhum berpesan untuk tetap menjaga panti ini sampai anak-anak yang mendiami panti ini memiliki keluarga masing-masing. Tak ada satu pun donatur yang turun untuk membiayai panti ini. Ibu Indy berusaha keras bekerja sebagai buruh cuci sekaligus pembuat kue kering yang nantinya akan di jual kepada para pembeli yang memesan kue kering buatan Ibu Indy. Tapi tentunya Ibu Indy tidak sendirian, masih ada bantuan dana dari anak sulungnya yang bekerja sembari berkuliah itu.

"Sebentar lagi jam makan siang, bagaimana kalau nak Riri ikut makan siang bareng kami?" Bu Indy menawarkan.

"Tidak usah Bu, terima kasih, takut merepotkan. Lagi pula saya ada janji sama Kakak saya mau makan siang bareng." Gue menolak cukup halus.

"Oh begitu, yasudah kalau begitu."

"Saya pamit dulu ya, Bu. Assalamualaikum!" gue pun bergegas pergi dari panti itu.

Sebelum gue melenggang pergi, entah kenapa ada sesuatu yang mengharuskan gue untuk kembali ke panti ini.

Gue menyetop taksi yang lewat lalu bergegas pergi ke rumah sakit. Tenang, gue ke rumah sakit bukan untuk kontrol rutin ataupun menjenguk orang yang lagi sakit, tapi mengobati luka gue yang tergores pisau sama pencopet tadi. Kalau dilihat dari lukanya sih hanya sayatan kecil.

Sesampainya di rumah sakit gue mendaftar seperti pasien umum lalu menunggu di atas tempat tidur ruang IGD. Setelah di periksa tekanan darah dan dokumentasi foto luka oleh perawat, dokter jaga pun datang menemui.

"Berantem sama siapa lagi?"

Gue menoleh ke sumber suara, melihat ekspresi dokter yang sepertinya malas menanggapi pasien seperti gue. Melihat ekspresinya itu gue cuma menyengir kuda.

"Luka yang kemarin masih belum sembuh, sekarang malah nambah luka baru." katanya terdengar sabar.

"Setidaknya aku menyelamatkan anak-anak panti dari kelaparan malam ini."

"Maksud kamu?"

"Tadi tuh dompetnya ibu panti di copet sama preman gak jelas di jalan, yaudah deh aku tolongin."

"Terus kamu di apain sama preman itu?"

"Gak di apa-apain."

Gue dengar dia menghela nafas mendengar cerita gue yang ini. Sembari ia memakai sarung tangan, ia pun melakukan observasi terhadap luka gue terlebih dahulu, kemudian secara keseluruhan ia memeriksa tubuh gue mulai dari konjungtiva mata, lubang hidung, sampai meraba area tubuh yang di curigai terdapat luka pukul atau semacamnya.

"Kalau gak di apa-apain kenapa lengan ada luka sayatan begitu?"

Gue menahan rintih karena dia dengan sengaja menekan luka gue.

"Bisa gak pelan sedikit bersihinnya?" gue memprotes sembari menahan kesal dan sakit.

"Kan udah sering, kenapa masih kesakitan?"

Meskipun dia dapat diandalkan dalam urusan menjaga rahasia, ketahuilah, dia tidak selembut dan seasik yang kalian kira sebagai seorang kakak.

"Mas," panggil gue, tak ada gubrisan darinya. "Mas Abi!" panggil gue kali ini nada bicara gue sedikit tinggi.

"Apa sih?" tanya dia terdengar sedikit risih, mungkin karena nada bicara gue.

"Tentang kejadian hari ini— jangan kasih tau ke Ayah, ya! Please!" jawab gue, memohon.

Lagi-lagi Mas Abi tak menggubris ucapan gue.

"Mas," lagi, gue memanggil dia namun dia masih tetap tak menggubris, "Mas Abi denger gak sih?" tanya gue kesal, kali ini nada bicara gue kembali meninggi dan terdengar ketus.

"Mas gak bisa janji kalau yang satu ini," jawabnya.

Kening gue mengernyit, "Maksudnya?" tanya gue bingung.

Mas Abi berhenti dari aktivitasnya, ia pun menatap mata gue dengan lekat.

"Berurusan dengan orang jahat seperti mereka, apalagi mereka yang selalu berurusan dengan pihak berwajib. Orang seperti mereka pasti akan menaruh rasa dendam yang amat besar sama orang yang menjebloskan mereka itu. Kamu tahu apa konsekuensinya?"

Kepala gue menggeleng pelan.

"Dia akan mencari kamu untuk balas dendam jika kelak mereka bebas."

Seketika gue tertegun mendengarnya. Dengan kata lain gue adalah buronan mereka? Tapi apa motif mereka balas dendam sama gue? Bukankah kalau mereka sudah berurusan dengan pihak berwajib mereka jera?

"Bukannya kalau sudah berurusan dengan pihak berwajib, mereka akan jera dengan perbuatan mereka kemarin?" tanya gue.

"Orang seperti mereka tidak akan pernah jera sampai mereka puas dengan tujuan mereka." jawab Mas Abi.

Amsyong deh gue!

Tiba-tiba alarm di jam tangan gue berbunyi, menunjukkan bahwa sekarang adalah pukul 12.00, waktunya untuk makan siang.

"Luka kamu sudah kakak balut, kalau di rumah kamu tiba-tiba merasa demam atau sakit, di kamar kakak ada kotak obat, cari obat paracetamol, kamu minum tiga kali sehari sesudah makan. Tapi biasanya kalau luka kecil tidak sampai menimbulkan efek seperti itu." Jelas Mas Abi lalu ia membuka satu tirai kemudian pergi ke tempat asalnya.

Mas Abi berjalan sembari melepaskan sarung tangannya. Tepat di konter perawat gue menangkap satu sosok yang tak asing. Mengenakan pakaian dinas harian TNI Angkatan Darat, berikut aksesoris beserta sepatu formil yang ia kenakan. Ia berdiri di depan konter sembari membaca Medical Record pasien. Dari tempat gue saat ini, gue menyaksikan Mas Abi yang menghampirinya kemudian mereka terlihat sedikit berbincang dan— teng!!! Mereka menoleh ke arah gue secara bersamaan.

Habislah riwayat gue!

Sosok pria yang kalian lihat tadi adalah bokap gue, Jenderal TNI Dr. dr. Andreas Prakasa, Sp.BS (K) FACS, FAAEM. Beliau adalah dokter konsultan spesialis bedah saraf berpangkat Jenderal. Hampir satu negara mengenal siapa beliau, namun beliau tak pernah mempublikasikan kehidupan pribadinya kepada publik termasuk memperkenalkan anak-anaknya. Sama hal nya dengan gue yang merahasiakan indentitas diri gue kepada semua orang termasuk temen-temen gue di sekolah. Gue tidak bangga ketika orang memandang gue karena status bokap, gue hanya ingin orang mengenal gue karena kepribadian gue dan usaha gue sendiri. Maka dari itu di sekolah gue menganggap Cakra seperti orang asing karena setiap hari ia selalu diantar jemput oleh ajudan yang di utus oleh Ayah.

Salah gue pergi ke rumah sakit hari ini.

Malam harinya di ruang makan, kami sekeluarga menyantap hidangan makan malam bersama. Kenapa gue merasa tegang dan gak berani melihat wajah Ayah? Padahal, dia pun juga bersikap bisa. Tapi, apa dia marah dengan kejadian hari ini? Kalau si anak ingusan itu ngadu ke Ayah, detik ini juga gue udah habis di ceramahin sama beliau. Apa Cakra belum bilang apa-apa ke Ayah soal gue bolos sekolah hari ini?

"Riri, selesai makan kamu ke ruangan Ayah."

Kalimat yang menguat jantung gue langsung berdegup kencang. Mampus! Pasti dia mau ceramahin gue face to face deh.

Gue menoleh ke arah Cakra dengan tatapan sinis, namun ia menatap gue balik dengan dahi mengernyit, lalu ia menggelengkan kepalanya.

Gak mungkin, pasti dia udah ngadu ke Ayah duluan soal gue bolos sekolah. Kedua jari gue pun mengarah ke matanya lalu ke mata gue, maksud untuk mengancam adik bungsu tukang ngadu satu ini.

Selesai makan, seperti yang di perintahkan Ayah gue bergegas pergi ke ruang kerjanya. Sembari berjalan dengan kepala menunduk gue menghampiri meja kerja Ayah dimana beliau sudah berada disana, duduk sembari menanti kedatangan gue.

Tiba-tiba Ayah mengeluarkan sesuatu yang ia letakkan di atas meja kerjanya. Sebuah buku rekam medis bertuliskan nama pemilik buku tersebut, "Nn. Batari Dewi Srikandi Prakasa" That's me! Kok biasa di Ayah? Bukan kah seharusnya buku itu ada di rumah sakit?

"Ini baru bukti pertama yang Ayah dapat selama kamu berada di luar pengawasan Ayah." katanya.

Mendengar Ayah bicara seperti itu membuat otot di seluruh tubuh gue terasa menegang. Gue lihat Ayah kembali mengeluarkan sesuatu yang kali ini adalah sebuah amplop dengan kop surat dari sekolah gue. Mampus! Kayaknya itu surat peringatan deh.

"Ini laporan hasil belajar kamu selama sebulan. Ayah sengaja meminta tolong kepada wali kelas kamu untuk melaporkan hasil belajar kamu sebulan sekali." Jelas Ayah lagi yang membuat gue menelan ludah.

"Semua nilai kamu tidak ada yang bermasalah. Yang bermasalah adalah kehadiran dan sikap kamu di sekolah." Tambahnya.

"Wali kelas kamu bilang, kamu sering membolos sekolah. Bahkan di sekolah kamu sering sekali bertengkar dengan teman sekolah kamu. Dan hari ini Ayah mendapatkan laporan kalau kamu tertidur di kelas dan membolos sekolah."

Tuh kan bener, pasti si anak ingusan itu udah ngadu sama Ayah. Eh tapi, Ayah kan seharian ini berada di rumah sakit, tapi kenapa Ayah bilang kalau dia minta tolong sama wali kelas gue untuk melaporkan hasil belajar gue selama sebulan sama beliau? Apa Ayah ke sekolah buat nemuin Pak Amir?

"Ayah ke sekolah Riri?" tanya gue.

"Jadwal Ayah di rumah sakit sudah padat, untuk apa Ayah ke sekolah sebulan sekali?"

Kalau bukan Ayah, berarti Ayah mengutus seseorang untuk meminta laporan tersebut. Tapi siapa? Atau jangan-jangan!

"Mulai besok pagi akan ada ajudan yang menemani kamu selama berada di luar rumah."

What?! Ajudan?!

"A, ayah gak bisa begitu dong!" gue memprotes. "Seharusnya Ayah meminta persetujuan Riri untuk mengutus ajudan Ayah buat jagain Riri!"

Ayah diam, hanya menatap gue.

"Pokoknya Riri gak mau punya ajudan!"

Matilah gue, kalau itu terjadi bisa ke bongkar semua identitas gue di sekolah. Yang mereka tau tentang gue kan cuma si anak sel abu-abu. Gawat!

avataravatar