2 Penyesalan

Terdengar pintu dibuka, otomatis aku melihat ke arah suara tersebut. Muncullah sosok yang telah mendampingiku sembilan belas tahun ini. Seorang wanita berumur di akhir tiga puluhan yang tinggi semampai dan anggun. Rambut pendek hitamnya digulung dan kaos putih oversize nya yang terlihat penuh keringat, sehingga hampir-hampir transparan. Aku bisa melihat dengan jelas dalaman yang dikenakannya berwarna ungu tua. Dadanya penuh tapi tidak berlebihan. Cukup untuk mempertegas lekuk pinggangnya yang ramping. Hampir mustahil kaos tersebut menyembunyikan lekuk tubuhnya yang luar biasa. Semua bagian terlihat kencang terutama perut, lengan dan betisnya. Mukanya polos tanpa make up tapi terlihat muda dan segar dengan pipi kemerahan.

Ada sedikit rasa curiga menyelimutiku. Bagaimana mungkin seseorang bisa begitu bahagia hanya dengan kelas yoga. Apalagi dari apa yang kulihat, pelatih yoganya semakin hari semakin muda saja.

Langkahnya gemulai dan percaya diri. Dengan tinggi hampir seratus tujuh puluh dan berat badan lima puluh empat kilogram, istriku, Lucy, terlihat langsing. Aku sering mendengar temanku atau istri temanku seringkali berkomentar betapa beruntung aku mempunyai istri yang cantik dan rupawan. Tidak pernah malas mengurus badan supaya tetap terlihat menarik. Kebanyakan dari teman-teman seumuranku memang tidak terlalu perhatian dengan penampilan mereka, karena kesibukan atau hal-hal lain. Tapi istriku, dengan berbagai kesibukannya, masih tetap rajin mengurus badannya. Sempurna. Itulah kata mereka. Dan itulah yang ingin ditampilkan Lucy. Dia sempurna.

"Aku kira kau sudah berangkat, James" katanya sambil lalu.

"Yah kupikir aku akan berangkat sedikit siang hari ini, karena nanti malam aku ada janji dengan klien," terbesit sedikit rasa senang karena tidak harus bertemu dengan keluargaku malam ini. Namun aku buru-buru menghalau pikiran tersebut. Aku telah berjanji pada diriku sendiri akan menjalani kehidupanku dengan lapang dada.

"Ooh… okay… kalau gitu sampai nanti malam ya" lalu istriku melenggang ke arah kamar kami. Aku terpana dibuatnya. Kemana gairah yang ada di awal pernikahan kami. Aku merasa seperti hidup dengan orang asing. Istriku bahkan tidak bertanya jam berapakah kira-kira meeting ku akan berakhir. Tidak ada ciuman atau sentuhan hangat. Hanya pertanyaan lugas dan seperti basa-basi yang biasa kau ucapkan saat bertemu orang asing di jalan. Sepertinya para pelatih yoga itu mendapat salam yang lebih hangat dari istriku. Aku tersenyum tipis.

Aku menggelengkan kepalaku pelan dan mengambil tas kerja lalu menuju ke arah tempat sopirku menyiapkan mobil untuk mengantarkanku ke kantor. Dari jauh aku melihat sopirku sudah siap. Dan mobil sedan hitam yang akan mengantarkanku terlihat mengkilap dan terawat.

Dari bayangan yang tampak di kaca mobil, terlihat seorang pria berambut coklat dan bermata biru di awal umur empat puluhan yang masih tegap dengan kulit kecoklatan dan garis rahang kuat. Dengan tinggi seratus delapan puluh lebih, memang penampilanku tidak mencolok. Ada sebuah lesung pipi yang muncul saat aku tersenyum, tapi hal itu sudah lama sekali terlihat. Yang ada sekarang hanya bekas kerutan dahi yang bercerita lebih banyak tentang yang kurasakan.

Sopirku membukakan pintu untukku, menungguku masuk dan perlahan menutup pintu. Saat aku melihat ke arah luar, terlihat kebun yang rapi terawat dan beberapa staf rumah kami yang sedang mengerjakan tugasnya seperti tukang kebun, satpam dan petugas kolam. Tidak ada yang salah, begitu pikirku. Namun pelan-pelan pikiranku berjalan mundur ke peristiwa dua puluh tahun yang lalu.

Hari itu… langit sangat mendung. Matahari pun seakan enggan menampakkan secercah sinarnya. Beberapa kali aku mendengar suara angin menderu-deru berlomba dengan suara ombak. Ibuku sudah mengingatkanku untuk membawa beberapa pakaian ekstra untuk liburan keluarga kali ini. Kami akan berlibur di resort eksotis di Bali yang terdiri dari cottage-cottage tersendiri yang terletak di pesisir pantai. Kami berangkat dengan beberapa keluarga dari pihak ibuku. Dan semua sangat bersemangat dengan liburan kali ini. Beberapa sepupuku bahkan mengajak teman-temannya untuk ikut berlibur bersama kami.

Bagiku yang baru saja lulus dari kuliah tahun lalu. Liburan ini sangat kubutuhkan. Dengan jadwal kuliah yang fleksibel, ayah mengharuskanku untuk bekerja magang di kantornya mulai awal aku masuk kuliah. Walaupun aku anak satu-satunya, kata manja tidak masuk dalam kamus ayahku. Dengan kuliah dan kerja magang, maka tiada waktu tersisa untuk bersantai. Lupakanlah pesta-pesta liar bersama teman-teman, atau sekedar nongkrong di kafe sambil bincang-bincang, karena tidak akan ada waktu untuk itu.

Aku menatap pemandangan yang terbentang di sekitarku dengan penuh kekaguman. Aku tumbuh di kota besar dimana bangunan tinggi dan mall adalah pemandangan pada umumnya ada. Namun keindahan alam bukanlah karakteristik utama di kota-kota besar tempatku berasal. Tidak ada cukup tempat bagi alam natural seperti di tempat ini. Aku menghirup dalam-dalam udara segar yang samar-samar ada bau garamnya. Dalam waktu singkat, rasa penat dan pegal akibat waktu penerbangan yang cukup lama mulai terkikis karena rasa lega berada di sini.

Ayah dan ibuku sedang berbicara dengan manajer hotel. Aku memutuskan untuk menurunkan tas-tas dari mobil yang membawa kami supaya kami bisa cepat-cepat menuju fasilitas yang disediakan. Tidak ada yang lebih menarik dibandingkan liburan akhir tahun.

Di bagian samping luar terlihat beberapa buggy car berjajar rapi. Buggy car yang kulihat saat berlibur ke luar negeri biasanya lebih besar dan bagian belakangnya agak tertutup. Sedangkan buggy car di resort ini terlihat mungil dan cocok untuk jarak pendek. Para staf hotel dengan sigap langsung merampas tas-tas yang aku turunkan dengan cekatan dan menyarankan aku untuk bersantai. Mereka memasukkan tas-tas kami ke bagian belakang kereta buggy yang terbuka lalu menunggu kami siap untuk diantarkan ke kamar.

Aku melihat ayah ibuku masih belum selesai berbicara dengan manajer hotel, sehingga aku mengambil kameraku dan berjalan pelan sambil mengagumi keindahan langit saat itu. Cakrawala berwarna gradasi oranye kemerahan. Namun di sekitarnya ada bungkusan kantong-kantong awan gelap hitam yang menambahkan deskripsi indah di dalam kepalaku. Aku mulai mengambil beberapa gambar.

Saat itulah aku melihat sosok Anne, yang namanya baru aku ketahui beberapa hari setelahnya. Aku melihat gadis itu berdiri diam, di sampingnya ada tiga anak kecil yang sedang ribut berlari dan bermain. Dia berdiri diam memandang cakrawala dengan gaun setali kuning selutut dan sandal jepit tipis. Rambutnya yang hitam, tebal dan panjang ditutupi sebuah topi berwarna putih dengan pinggiran lebar. Gaunnya tidak berlebihan tapi cukup untuk menonjolkan posturnya yang ramping. Aku melihat sepasang bola mata coklat besar yang sendu dengan sepasang bibir yang dipoles lipstik merah. Anehnya aku tidak pernah menyukai lipstik merah pada para gadis yang kutemui. Menurutku warna merah sangat norak dan murahan. Tapi anehnya, saat gadis ini menggunakan warna merah darah, sama sekali tidak terlihat aneh. Bahkan warna merah itu mempertegas warna kulitnya yang pucat. Dia tidak menggunakan perhiasan berlebihan. Hanya membawa tas kecil diselempangkan di bahunya yang kurus.

Tiba-tiba dia menoleh ke kiri dan mata kami beradu. Aku merasa seperti tertangkap basah. Dan aku merasa dia tahu kalau aku mengawasinya selama beberapa waktu. Saat matanya melihat langsung ke arahku, aku berpikir betapa menariknya mata itu. Penuh kehangatan dan ada garis tertawa yang dalam di pipinya.

Aku buru-buru naik ke arah buggy car, lalu memanggil ayah dan ibuku. Lalu kami pun diantarkan ke cottage kami.

Malu. Di umurku yang sudah 24 tahun ini, aku masih jarang sekali menaruh perhatian pada lawan jenis. Bukan karena aku tidak tertarik, namun lebih karena aku belum menemukan seseorang yang bisa "click" saat berkomunikasi. Saat aku tertarik pada seorang gadis dan ada masa-masa pendekatan yang seringkali pada akhirnya tidak berlanjut kemana-mana. Karena pada akhirnya kami akan kehabisan bahan untuk dibicarakan atau kami tidak mempunyai ketertarikan pada bidang yang sama. Hal inilah yang kemudian mendorong ibuku untuk terus menjodohkanku. Insting utama seorang orang tua. Tidak bisa membiarkan anaknya merasa sendirian.

Namun ketertarikan ini terasa berbeda. Aku memutuskan untuk mencari tahu apakah gadis itu menginap di resort yang sama. Aku mulai merasa bersemangat. Liburan telah dimulai.

avataravatar
Next chapter