11 Manipulator

Begitu hidangan penutup dihidangkan, Mike sudah mulai tidak nyaman duduk di kursinya. Efek kecanduan main game online sudah mulai tampak di gerak geriknya. Seolah-olah dia sudah ada janji bertemu dengan seseorang yang sangat penting saat ini, sehingga ingin buru-buru menyudahi acara malam ini.

Dia menyendok sedikit pudding mousse coklatnya, lalu bangkit dari kursinya, "aku… ehmm… aku sudah kenyang."

"Mike selesaikan makananmu dulu. Itu toh hanya sepiring kecil pudding mousse."

"Aku sudah kenyang." Lalu dalam hitungan detik dia melesat ke arah kamarnya dan masuk ke dalam kamar.

Untuk seorang remaja delapan belas tahun, makannya benar-benar minim. Saat aku seusianya mungkin aku makan dua kalinya. Ibunya pun hingga hari ini masih menunjukkan nafsu makan yang cukup besar, hingga tidak peduli anaknya telah meninggalkan meja makan.

"Tidakkah kamu merasa perlu mengajaknya berbicara?" Aku mulai jenuh dengan perilaku Lucy. Awalnya aku berpikir Lucy memanjakan Mike sehingga membiarkan Mike mendapatkan apapun yang dimaui. Ternyata lambat laun aku menyadari Lucy tidak benar-benar peduli.

"Kenapa?" Lanjutnya tenang sambil menaruh sendoknya dan mengangkat gelas anggur dengan gemulai.

"Lucy, dia sudah berumur delapan belas tahun. Tidakkah menurutmu dia sudah harus tahu harus melanjutkan kemana."

"Aku tidak keberatan Mike memilih apapun, tapi dia harus melakukan sesuatu selain bermain game online."

"James, dengan uang warisan dari perusahaanmu, Mike bisa hidup berkecukupan sampai tiga generasi walaupun ada inflasi abnormal. Kenapa kamu harus memaksanya. Mike juga bisa menyewa kantor manajemen kalau dia sudah besar nanti."

"Well… yah itu benar Lucy. Tapi aku ingin dia hidup seperti layaknya manusia. Bagaimana bisa dia berkenalan, menikah dan berelasi dengan orang lain kalau dia tidak pernah keluar dari kamar brengseknya!" Aku tidak tahan lagi.

Lucy hanya tersenyum sinis lalu segera berdiri setelah mengelap mulutnya sekilas, "Terlalu idealis hanya akan melukaimu James."

Terlalu idealis? Aku? Aku yang telah menerima perselingkuhannya dengan lapang dada. Aku yang menuruti semua kehendak ayahku. Aku yang telah menahan diri selama ini. Idealis? Bagian mana dari hidupku yang ideal saat ini? Aku tidak terima akan kata-katanya.

Lucy telah sampai di depan kamar utama di lantai dua. Aku menaiki dua anak tangga sekaligus untuk menyusulnya. Aku tidak ingin terus begini. Aku harus berjuang untuk hidup yang lebih normal.

Sebelum Lucy sempat menutup pintu kamarnya, aku buru-buru ikut masuk.

"Kita belum selesai bicara."

"Tapi aku sudah selesai James. Tidak ada lagi hal yang perlu dibicarakan." Dia duduk di meja rias antiknya di dekat pintu sambil perlahan melepas anting-antingnya dan menggantinya dengan yang berbentuk lingkaran besar berwarna kuning emas. Lalu perlahan menyisir rambutnya yang masih sempurna.

"Lucy… kalau kita terus begini. Mike akan menjadi korban. Tidakkah kita harus melakukan sesuatu demi dia?" Aku duduk di bagian kaki tempat tidur berbentuk sofa kecil yang dulu merupakan tempat tidurku juga.

Lucy menatapku tajam, "James, hubunganku denganmu sudah selesai bertahun-tahun yang lalu. Dan Mike adalah urusanmu. Itu adalah kesepakatan kita. Kenapa sekarang aku mendadak harus ikut repot?"

"Lucy, Mike adalah anakmu juga." Jawabku lemas.

"Tidak James, Mike adalah milikmu. Aku punya hidupku sendiri." Lucy lalu berdiri dan pelan-pelan menarik resleting gaun kemben putihnya yang ada di samping. Dia menariknya ke bawah dan gaun itu pun lepas ke lantai.

Lucy berdiri hanya mengenakan sepotong bra penutup yang kecil sehingga dadanya yang bulat menyeruak dan penutup yang amat kecil di bagian intimnya tidak bisa dikatakan sebagai penutup karena sangat minim. Lalu dia melenggang santai ke arah walk in closet dan pelan-pelan memilih gaun untuk dipakainya.

"Kulihat kamu sama sekali tidak tertarik dengan urusan darah dagingmu sendiri. Apakah kamu ada kegiatan "senam" malam ini?"

"Satu jam lagi aku akan berangkat James. Apa masih ada lagi yang perlu dibahas?"

Dia mengambil salah satu gaun berwarna krem yang sangat tipis. Gaunnya pendek selutut sangat ketat di bagian pinggang namun mengembang di bagian roknya. Bagian bahunya ada tali emas seperti kepangan rambut dengan lipatan-lipatan seperti gaun dewi yunani. Bagian dadanya terbuka lebar dan terlihat mengundang. Lalu dia mengenakan stoking sambil kembali duduk di meja riasnya.

Lucy membuka tutup sebuah wadah dan mengoleskan isinya ke belahan dadanya dan bagian atas pahanya. Sekilas terlihat seolah-olah Lucy badannya bercahaya dan berminyak karena krim tersebut. Lalu Lucy menambahkan riasan yang lebih tebal lagi untuk acara lanjutannya.

"Lucy... " aku tidak bisa menyelesaikan kata-kataku. Bagaimana cara membuatnya mengerti. Dia begitu egois dan tidak peduli. Hanya ada satu jalan dalam benakku yang mana akan melukai Mike juga pada akhirnya.

Lucy bangkit dan berjalan ke arahku dengan suara hak sepatu stilettonya yang amat runcing. Aku heran bagaimana dia bisa berjalan normal tanpa was-was dengan hak sepatu setinggi itu.

Lucy tiba-tiba memegang dadaku. Lalu turun ke bawah mengelus perutku dan terus ke bawah, "James, asalkan kamu tidak terlalu ribut, kamu tahu kan kalau aku bisa memberimu waktu juga."

Lucy duduk perlahan di pangkuanku lalu mendorong dadanya ke arah wajahku. Aku mulai terhipnotis. Secara penampilan Lucy adalah salah satu yang sangat memikat. Jauh dibandingkan wanita pendamping di club malam yang biasanya ada untuk memuaskan rasa lapar.

Gerakannya pasti dan sensual dan dia menyentuh bagian yang tepat. Aku mengerang. Aku menangkap tangannya untuk menghentikannya. Tiba-tiba dia tertawa mendesah, "James, ternyata kamu juga suka main kasar ya."

Lucy menurunkan tali penahan gaunnya dan menarik rambutku dan mengarah kepalaku ke arah buah dadanya. Aku mulai terhipnotis dengan kulit halus yang ada di depanku.

Tiba-tiba bayangan wajah Anne berkelebat dan aku seperti tersengat listrik. Aku langsung berdiri. Aku mengatur nafas yang terengah-engah.

Lucy tersenyum licik, "nanti kita bisa lanjut lagi. Sekarang aku ada janji James." Lalu ia membenahi letak gaunnya dan mengambil tas kecilnya yang ada di meja rias. Lalu ia melenggang keluar dari kamar sambil mengelus dadaku sekilas.

Aku merasa sangat terhina. Betapa rendah diriku. Hampir tidak ada bedanya dengan laki-laki bayaran Lucy.

Lucy seringkali mempermainkanku karena tahu kebutuhanku sebagai laki-laki. Saat Lucy memerlukan sesuatu, dia akan melakukan apapun untuk mendapatkannya dengan cara apapun. Dan aku seringkali jatuh dalam kesalahan yang sama.

Suatu kali saat dia ingin aku membelikan sebuah gudang tambahan untuk menyimpan produksi pabriknya. Dia akan merayuku tanpa ampun dan aku seperti keledai dungu menurutinya. Berharap kali ini istriku telah berubah.

Kemudian setelah mendapatkan yang dia mau, Lucy akan kembali menjadi dingin dan menghindariku lagi.

Kali ini aku bisa menghentikannya sebelum terjadi. Dan aku harus bisa mengendalikan diriku supaya tidak jatuh pada kesalahan yang sama setiap kali.

Aku keluar dari kamar utama dan berjalan menuju kamar kerja sekaligus kamar tidurku. Di sana aku membaca beberapa dokumen yang dikirimkan melalui email. Aku menghabiskan waktu mempelajarinya hingga waktu menunjukkan pukul sebelas.

Aku merenggangkan kedua lenganku dan melihat foto keluargaku dengan ayah dan ibuku sewaktu ibuku masih hidup. Di situ seorang pemuda berdiri di belakang sofa besar dan mengenakan baju wisudawan. Sedangkan ayah dan ibu duduk di sofa terlihat bahagia dan bangga. Pemuda yang ada di foto adalah diriku dua puluh tahun lalu saat kelulusanku dari universitas.

Pemuda tersebut terlihat sangat tampan, penuh optimisme dan penuh percaya diri. Senyumnya lebar sekaligus polos. Sedangkan diriku sekarang begitu berlawanan.

Kemana perginya rasa optimisme dan kepercayaan diri itu? Aku bahkan tidak punya kemampuan mengatur hidupku sendiri.

Ayah.

Benakku mulai bertanya-tanya, apa yang diinginkan ayah dari pernikahanku dengan Lucy. Ayah bukan orang yang bertindak tanpa sebab. Ayah selalu mempertimbangkan berbagai hal sebelum mengambil keputusan. Hal itu mungkin karena telah berada di posisi pimpinan perusahaan selama puluhan tahun.

Semua keputusannya didasarkan pada pertimbangan matang yang tidak melibatkan terlalu banyak perasaan. Beliau selalu mengatakan kepadaku untuk selalu bisa memisahkan antara pekerjaan dan perasaan.

Aku memutuskan untuk mengunjungi ayah keesokan harinya. Aku harus mencari tahu apa yang diketahui ayah selama ini.

avataravatar
Next chapter