12 Kebenaran

Pagi ini aku mengosongkan semua jadwalku dengan telepon singkat kepada sekertarisku. Beruntung memang tidak ada hal yang mendesak hari ini. Jadi aku bisa menjadwalkan kunjungan ke rumah ayah pagi ini.

Aku mampir ke bakery kesukaan ibu dulu dan menuju ke rumah ayah.

Cuaca hari ini cerah dan terang seperti biasanya. Pohon-pohon rindang dengan ukuran amat besar berbaris rapi di sepanjang masuk ke dalam kompleks tempat ayah tinggal.

Rumah ayah berada di kompleks elit lama yang terdiri dari ratusan rumah dengan potongan kavling yang amat besar seperti villa tersendiri. Setiap rumah memiliki kebun lebar di depannya dan bangunannya juga kuno.

Aku seringkali mengajak ayah untuk pindah ke rumah atau apartemen yang berukuran lebih kecil supaya ayah juga tidak terus teringat-ingat tentang ibu. Tapi ayah selalu menolak. Dia berkata rumah itu adalah rumah yang dibelinya di awal kesuksesan karena kerja kerasnya, dan dia ingin tinggal di situ hingga hari terakhirnya.

Rumah tempatku tumbuh besar masih tampak sama hingga hari ini. Halamannya luas tapi terawat. Ada beberapa tanaman yang dipilih ibuku di kebun kami. Pintu masuk ke dalam rumah utamanya yang besar terlihat amat berat. Perabotannya didominasi oleh kayu jati yang amat berat. Ada beberapa foto tergantung di dindingnya dan ditaruh di beberapa pigura kecil di atas meja kecil di samping televisi.

Aku masuk ke tengah ruangan keluarga. Pelayan utama rumah itu seorang laki-laki yang sudah mengenalku sejak berada di dalam kandungan dan usianya kini mungkin sudah mendekati kepala tujuh segera mempersilahkan aku masuk ke dalam ruang kerja ayah.

"Halo Sean."

"Pak James." Sahutnya kalem.

Aku mengetuk pintunya yang tebal dan berat. Sekilas tercium bau segar pinus.

Ayah mempersilahkan aku masuk. Dia sedang asyik membaca buku, kacamata bacanya melorot hampir separuh hidungnya. Ayah suka sekali membaca dari sejak aku mengenalnya. Dia menghabiskan banyak waktu untuk membaca dibandingkan melihat televisi. Kegemarannya itu ternyata menurun. Aku juga jarang menyalakan televisi di rumah. Namun kami berdua memiliki rak buku super besar di dalam kamar kerja kami.

"James, hari ini kau cuti kah?" Katanya pelan. Ayah kini telah banyak berubah sejak ibu tiada. Ayah lebih kalem dan mungkin usia juga yang telah mengubahnya.

Dia berdiri dari kursi kerjanya dan duduk di sofa di depan meja kerjanya. Kulihat gerak geriknya juga sudah tidak terlalu lincah. Punggungnya mulai terlihat berat sehingga agak membungkuk saat berjalan. Dan aku pun mengikutinya duduk di sofa.

"Tidak ayah, aku hanya sebentar mampir sebelum ke kantor. Tadi aku mampir ke bakery dan membelikan croissant kesukaan ayah." Kataku sambil menaruh sekotak croissant di meja di depan kami.

"Ah tidak perlu repot James… kalau ayah sedang ingin makan itu, kan ayah bisa menyuruh Freddy keluar kesana."

"Tidak apa-apa tadi kan sekalian lewat juga."

Aku mulai bingung harus memulai darimana. Aku dan ayah memang tidak terlalu dekat dari dulu walaupun aku anak satu-satunya. Aku jarang menentang pilihan-pilihannya. Dan sepanjang ingatanku, hubungan kami sangat kaku walaupun kami jarang bertengkar. Ayah memang sangat keras padaku. Tapi aku bisa menerimanya dengan baik.

Dan saat aku telah dewasa, aku memahami dengan baik alasan ayah mendidikku dengan amat keras. Namun tetap saja hubungan kami tidak lantas berubah menjadi sangat akrab. Hubungan kami masih tetap sama seperti dulu.

"Ayah, aku ingin bertanya mengenai satu hal."

"Bukan karena aku ingin membuat masalah, namun aku ingin ayah mengatakan yang sebenarnya." Begitu kataku cepat. Aku memutuskan untuk tidak lagi berbasa-basi.

"Yah tanya saja James. Kalau memang hanya ayah yang bisa menjawab nya.

"Ayah, ini mengenai Lucy."

Ayah mulai mengernyitkan dahinya dan berdehem keras, aku tahu pertanyaan ini tiak akan disukainya, "kenapa dengan Lucy?"

"Beberapa tahun yang lalu Lucy pernah mengatakan padaku kalau ayahnya dan ayah telah sepakat untuk menikahkan kita."

"Lalu?" Sergahnya cepat.

"Aku merasa ada yang aneh dari Lucy, ayah. Bagaimana ya menjelaskannya… Ehm… " kata-kata yang telah kususun tadi pagi mulai berantakan di kepalaku.

Ayah menarik nafas dan mengeluarkannya pelan-pelan seakan itu adalah udara yang amat sangat berharga.

"James, ayah tahu kurang lebih ke arah mana pertanyaanmu. Kenapa Lucy? Kenapa dengan ayah Lucy? Dan semuanya tentang perempuan itu kan?"

"Benar Ayah. Aku hingga hari ini masih belum bisa memahami apa yang diinginkan Lucy. Ayah tahu sendiri bagaimana hubunganku dengannya. Kami jarang bersama. Dan semuanya terasa begitu canggung."

"James, ayah Lucy dan ayah sudah lama berteman."

"Semua ini berawal dari saat ayah Lucy meminjam uang dari ayah untuk memulai usahanya. Kita dulu pernah sama-sama bekerja pada tuan tanah yang kaya. Tapi ayah Lucy menghabiskan semua gajinya untuk bersenang-senang."

"Saat ayahnya hendak memulai bisnis baru, ayah membantunya. Ayah tidak pernah berpikir bahwa ayahnya akan mengembalikan pada ayah. Ayah sudah merelakan uang itu. Namun bisnisnya pasang surut tanpa henti dan tidak ada tanda-tanda keberhasilan setelah sekian lama. Lalu ayah lama tidak berhubungan dengannya, sejak ayah meninggalkan kota kelahiran kami. "

"Lalu suatu hari kami bertemu lagi di acara reuni perusahaan tuan tanah tempat kami bekerja dulu. Ayah Lucy telah sukses dan dia terus menerus menyebutkan akan membayar kembali hutang budinya kepada ayah."

"Sepulang dari Bali…" ayah seperti kehabisan nafas. "Ibumu berkata kalau kamu telah menaruh hati pada seorang perempuan saat kita berlibur kesana."

"Dan sebenarnya kami tidak keberatan James kalau kamu berkenalan dengan perempuan yang kau temui di Bali. Lalu Rey menunjukkan tayangan berita di televisi tentang perempuan yang kamu sukai itu."

"Ayah dan ibu merasa cemas kalau kamu akan melakukan kesalahan konyol. Dan kami akhirnya mendorongmu untuk berkenalan dengan beberapa anak kenalan kami, termasuk Lucy. Dan ternyata kecemasan kami tidak berdasar. Ternyata kamu telah lama melupakan perempuan itu."

Ayah terdiam beberapa saat, seperti sedang berpikir. Aku mulai mengerti sekarang.

"Saat ibumu sedang sakit dan ayah berada dirumah untuk menjaganya. Ibumu berkata kepada ayah kalau Lucy ternyata memiliki kelainan anti sosial atau orang sering menyebutnya Sociopath."

"Ayah dan ibu benar-benar tidak tahu akan hal itu saat mengenalkan kalian. Hanya saja kami berharap suatu saat kalian akan bisa mengatasinya." Ayah melepas kacamatanya lalu memijat pelan ujung dahinya.

"Tapi kedatanganmu hari ini cukup jelas James. Dari pertanyaanmu tadi, ayah bisa menebak hubungan kalian kurang baik saat ini."

Aku tersenyum kecut, "Ayah, kenapa ayah dan ibu tidak memberitahuku tentang hal ini saat kalian mengetahuinya?"

"Ayah terlalu sibuk dengan kondisi ibumu saat itu James. Dan kemudian saat ibumu tiada…" ayah berhenti sejenak lalu berkata, "ayah berfikir kalau membesarkan anak seorang diri akan terlalu berat untukmu jadi ayah memutuskan untuk membiarkan kalian mengatasinya berdua demi Mike."

"Tapi akhir-akhir ini Lucy sudah sangat keterlaluan," sahutku. "Aku tidak lagi punya kesabaran untuk menghadapinya, Ayah. Dan Mike juga membutuhkan keluarga yang normal. Lucy bukanlah ibu yang baik."

"Yaah… ayah sudah banyak mendengar tentang istrimu James." Dari kata-katanya sepertinya ayah mengetahui perselingkuhan Lucy.

"Satu hal James. Ayah tidak akan menghentikan kamu apabila ingin berpisah dari Lucy. Tapi jangan pernah menikah lagi. Di dalam keluarga kita tidak pernah ada istri kedua ketiga dan seterusnya."

"Ingat baik-baik hal ini." Kata ayah tegas.

Jujur aku tidak berpikir akan menikah lagi. Dan aku hanya berpikir untuk secepatnya berpisah dengan Lucy demi kewarasan batinku dan Mike. Aku mengingat kejadian semalam dan tekadku semakin bulat saja.

Sudah cukup dalam luka yang ditimbulkan Lucy kepada Mike. Aku ingin lebih fokus ke Mike dan menyingkirkan Lucy adalah salah satu rencanaku untuk Mike. Setelah itu aku akan lebih mendekati Mike dan mengarahkannya ke jalan yang tepat.

Tentu saja semua memerlukan waktu dan usaha. Aku tidak memungkiri bahwa aku juga sering mengabaikan Mike karena tidak tahan berada di rumah. Namun hal itu akan segera berakhir.

Kemudian aku dan ayah membahas beberapa hal tentang kantor. Ayah sudah tidak lagi ikut mengambil keputusan di kantor tapi insting dan nasihatnya tetap berharga. Dan saat aku membutuhkan saran, ayah adalah orang yang tepat karena pemikirannya yang tenang dan rasional.

Kemudian tak lama pun aku undur diri.

avataravatar
Next chapter