1 Virus (?)

Makassar, 22 Maret 2022.

"Guys, sini merapat dulu deh, aku punya pertanyaan." Audy menatap kedua temannya dengan raut muka serius.

Andini dan Fadhil memasang posisi siap mendengarkan. Tampaknya Audy akan mengajukan pertanyaan yang anti mainstream seperti biasanya dan tentu saja akan mereka tanggapi dengan berbagai pendapat yang berbeda. Andini dengan sisi teority-nya, sedangkan Fadhil dengan sisi theis-nya.

Mereka bertiga saat ini berada di perpustakaan - perpustakaan milik universitas mereka. Tempat duduk ketiganya berada di dekat jendela, memudahkan mereka untuk tetap konsentrasi dalam menyerap ilmu.

"Oke, seperti biasa, sebelum aku memulai pertanyaan, mari kita sama-sama mengucap basmalah dulu. Biar gak kerasukan setan dan sesi tukar pikiran ini berjalan dengan lancar," ucap Audy yang langsung mendapat anggukan dari kedua temannya. Suasana disekitar mereka pun menjadi sunyi dan senyap.

Protokol yang sama dan tak akan berubah dari sosok Audy, ia akan mengajak sahabatnya mengucap basmalah sebelum mereka menjalankan kewajiban - bertukar pikiran hingga berdebat - yang telah mereka sepakati bersama.

Faktanya, mengucapkan basmalah hukumnya jaiz (boleh) ketika hendak memulai suatu kegiatan atau aktivitas. Mengucap basmalah sangat bermanfaat jika hendak memulai sesuatu. Selain itu, dapat menjadi ibadah tauhid.

"Pertanyaan aku kali ini mengenai ... teori konspirasi kasus covid 19, yang mana kejadiannya terjadi dua tahun yang lalu. Dari sekian banyaknya teori, menurut kalian, teori mana yang paling tepat?" tanya Audy dengan kritis. Ia melirik Andini dan Fadhil secara bergantian.

Fadhil mengerutkan keningnya, mencoba mengingat-ingat beberapa teori yang sempat dibacanya dalam sebuah artikel.

"Menurut aku, dari sekian banyaknya teori yang beredar waktu dua tahun lalu, gak ada yang paling tepat." Andini menyampaikan pendapatnya lebih dahulu.

"Aku juga sepemikiran dengan Dini. Tapi aku punya alasan lain. Kalian tahu, aku tetap dalam pandangan theisme yang kuanut," ujar Fadhil lalu tersenyum tipis. Andini berdecak usai mendengar ucapan Fadhil.

"Iya-iya, homo sapiens penganut theisme paling akut," timpal Andini dengan wajah datarnya. Fadhil hanya tersenyum menanggapi ucapan Andini. Ia sudah terbiasa mendengar sindiran menyebalkan dari kakak seniornya itu.

"Hustt, aku gak suruh kalian saling mengejek. Tujuan utama kita adalah saling bertukar informasi dan pendapat." Audy menengahi. Ia paham betul dengan kelakuan sahabatnya itu - Andini - menyebalkan seperti biasanya.

"Oke, fine. I'll try be queit," sahut Andini, ia memperbaiki posisi duduknya - mencari posisi paling nyaman.

"Untuk Dini, jelaskan kenapa kamu malah berpendapat bahwa tak ada satupun teori yang paling tepat, dari banyaknya teori yang beredar. Terutama teori bahwa virus covid 19 merupakan buatan Amerika, bukankah itu paling masuk akal?" Audy memberi Andini kesempatan untuk mengemukakan alasannya.

"Oke, baik. Dari banyaknya teori yang aku baca, kenapa gak ada yang tepat? Terutama tentang covid 19 adalah buatan Amerika. Aku positive thinking dulu, mungkin kalian belum membaca artikel tentang temuan Intelijen Amerika Serikat atau Intelligence Community di singkat IC. Dalam artikel itu IC menguak fakta bahwa virus covid 19 bukanlah buatan manusia ataupun hasil modifikasi secara genetik." Andini menyudahi ucapannya.

"Gak ada kejelasan tentang hasil penelitian IC. Aku sempat cari beberapa hari yang lalu. Amerika dan China itu sama-sama gak transparan dengan dunia. Lucu, mereka saling teriak soal itu," ujar Audy menanggapi argumen Andini.

Andini menggaruk belakang kepalanya yang tertutupi hijab berwana biru nafy-nya. "Ekmm, aku sebenarnya belum melakukan riset untuk teori itu, tapi pendapat mereka bisa masuk logika. Virus covid 19 itu, bukan hasil rekayasa, itu merupakan bagian dari virus SARS dan MERS," balasnya.

"Logikanya, jika covid 19 ternyata merupakan bagian dari virus SARS dan MERS, bukankah itu sudah terang-terangan adalah hasil modifikasi? Ini masuk akal jika mereka bilang covid 19 adalah peranakan dari MERS dan SARS. Mereka membuka kedok sendiri, gak mungkin muncul virus baru tanpa aksi." Audy menyangkal pendapat Andini dengan kritis.

Fadhil seperti biasa, ia asik menyimak adu tukar gagasan yang terjadi dihadapannya. Slot-nya belum tiba, jadi ia akan menyimak saja. Tak ada gunanya juga menimpali pendapat kedua orang itu, pikirnya.

"Yeah, kali ini aku kalah, karena gak cukup kuat mengumpulkan hasil riset. Pertanyaan kamu juga gak terterka. Kita dengar bagian Fadhil dong," ujar Andini, ia melirik Fadhil sesaat lalu kembali menatap Audy yang duduk dihadapannya.

"Oke, sekarang giliran Fadhil. Kamu juga gak setuju tentang teori-teori konspirasi mengenai virus ini. Kenapa? Paparkan dari segi pandangan kamu," tutur Audy.

"Dari sudut pandang aku pribadi, gak ada teori apapun yang dapat dibenarkan. Sebab, covid 19 adalah salah satu dari banyaknya ujian atau cobaan yang Allah swt., turunkan untuk menyadarkan hamba-hamba-Nya yang telah lalai dari perintah-Nya." Fadhil menyampaikan pendapatnya dengan singkat. Dengan wajah datar andalannya, ia menatap Audy seolah meminta tanggapannya.

"Setelah mendengar dari sudut pandang kamu, aku sempat berpikir ... bukankah Allah swt., bisa saja mengirim cobaan ini melalui perantara adanya wabah ini? Maksudku, Amerika bisa saja menjadi perantara Allah swt., dalam memberikan cobaan atau ujian dalam wujud wabah virus itu," ujar Audy sempat kesulitan mengutarakan maksud dari ucapannya.

Mereka bertiga seketika disibukkan dengan pemikirannya masing-masing. Audy dengan kemampuan cocokologi-nya. Andini dengan berbagai teorinya dan Fadhil dengan theisme yang dianutnya.

Di tengah keterdiaman mereka, seseorang membuyarkan pemikiran mereka.

"Kalian ini, perpustakaan akan segera di tutup, proses pembelajaran masing-masing fakultas akan segera dimulai. Pergilah," usir staff perpustakaan - Merry, namanya.

"Eh ahjumma, kita baru aja mau pergi, kita pamit yah," ujar Andini lalu menarik pergelangan tangan Audy. Ia juga sempat memberi kode mata pada Fadhil agar beranjak dari tempat duduknya.

Ketiga manusia berbeda sudut pandang itupun melangkah keluar dari perpustakaan. Sesi tukar pikiran mereka mendadak tertunda dulu.

"Kita lanjutin besok," sahut Audy antusias. Ia berjalan sejajar dengan Andini dan Fadhil dibelakang mereka bak bodyguard.

"Aku akan mengumpulkan riset lebih banyak," ujar Andini berapi-api.

"Aku akan berdoa, kalian diberi pencerahan," timpal Fadhil, ia mempercepat langkahnya mendahului Andini dan Audy. Lalu melambaikan tangannya tanpa berbalik. "Aku duluan, assalamu'alaikum," ujarnya lalu berbelok menuju fakultasnya.

"Waalaikum'salam" balas Andini dan Audy serempak.

Mereka berdua pun berjalan terus hingga menemukan fakultasnya, fakultas kedokteran.

"Aku pengen bolos aja deh," ujar Andini setengah bercanda.

"Ck, anak ini. Untuk apa kecerdasanmu itu, jika hanya akan bolos," sela Audy, menceramahi Andini yang doyan sekali bertingkah.

"Oh, c'mon. Aku benci fakultas ini. Tapi kedua orangtua memaksaku untuk masuk." Andini tersenyum masam usai berbicara.

"Kenapa kau tak membujuk mereka, Dini. Bukankah kau ahlinya, hem?" timpal Audy. Ia lalu melipat kedua tangannya diatas dada.

Andini memutar bola matanya malas, Audy bertanya seakan-akan belum tahu bagaimana kedua orangtuanya.

"Menurut kamu, kenapa?" tanya Andini dengan nada malas.

Audy memilih mengedikkan bahunya, enggan menjawab. Gadis dengan balutan jilbab navy mendadak badmood, Andini ingin sekali mengirim Audy ke Pluto. Eh, tidak. Pluto bukan tempat yang cocok, sebab dirinya akan kesana jika sukses membuat pesawat luar angkasa. Ia akan mengirim Audy ke Mars saja. Siapa tahu Audy akan mendapat pencerahan karena Mars itu cerah, pikir Andini tersenyum jahil.

Tbc.

avataravatar
Next chapter