2 Nila?

Hari ini Audy dan Andini tengah duduk bersama di salah satu bangku kantin yang dekat dari fakultas mereka. Setelah mengucapkan do'a sebelum makan, mereka pun makan dengan lahap.

Disela-sela makan, Andini memulai percakapan.

"Udy, homine yang satu mana? Kok dia gak muncul, sih?" tanya Andini setelah menyendokkan kuah bakso kedalam mulutnya.

Audy menggeleng pertanda tak tahu keberadaan sosok yang dimaksud Andini. "Gak tau, positive thinking aja, mungkin dia lagi sibuk dengan materi fakultasnya. Waktu kita jadi maba juga kek gitu, kok," ujarnya setelah mengunyah dan menelan makanan dalam mulutnya.

Andini mengangguk setuju. Menjadi maba memang tidak menyenangkan, terlebih lagi maba di fakultas kedokteran, pikirnya. Ia lalu menyeruput jus jeruk miliknya.

"Kemarin kita sudah menyelesaikan pembahasan tentang covid 19, kira-kira nanti kita mau bahas apa?" tanya Andini lalu melahap baksonya, ia menunggu jawaban keluar dari mulut Audy sembari mengunyah makanannya.

Perempuan berbalut jilbab cokelat tua itu, tersenyum misterius sembari berkata, " no spoiler." Usai mengatakan hal itu, Andini berdecak kecal. Selalu saja seperti itu, Audy selalu penuh hal-hal misterius di dalam kepalanya.

"Ngeselin seperti biasa," celetuk Andini dengan wajah yang ditekuk. Audy justru menikmati jus alpukat miliknya sembari menatap lawan bicaranya.

"Aigoo, yeodongsaeng jangan ngambek dong," bujuk Audy memasang puppy eyes-nya.

"So laut," tukas Andini dengan bahasa Jerman.

Audy seketika diam menuruti ucapan Andini, ia lalu kembali menyantap makanannya yang belum habis. Andini pun melakukan hal yang sama. Kini mereka berdua fokus dengan makanannya masing-masing.

"Aku minta maaf untuk yang tadi. Kamu ngeselin sih," sahut Andini setelah ia selesai melahap habis makanannya. Ia menatap Audy menunggu jawabannya.

"Nee," balas Audy singkat, ia kembali menyantap makanannya yang belum habis.

"Canggung deh, Udy, kok suasananya jadi canggung gini," pungkas Andini, ia menggeser mangkok bakso dihadapannya, lalu meletakkan kedua tangannya diatas meja.

"Gak tau," balas Audy polos, tanpa menatap lawan bicaranya. Ia memilih sibuk menyelesaikan makanannya.

"Iyain deh kembarannya dewi Hestia," canda Andini memasang wajah jenakanya. Ia mencoba mencairkan suasana dengan guyonannya.

"Stop sama-samain aku dengan tokoh-tokoh mitologi Yunani kuno, bikin kesal aja," tukas Audy mengerucutkan bibirnya pertanda kesal.

"Summimaseng, Audy-chan." Andini meminta maaf dengan tulus, Audy mengangguk pelan.

"But, masa kamu gak tertarik dengan mitologi Yunani kuno? Seru tau, berasa baca novel highclass," ujar Andini membuka pembahasan baru, lalu terkekeh pelan.

"Nggak deh, aku mending menekuni dunia astrologi daripada Yunani-yunani kuno-mu itu," elak Audy, ia menggeser mangkok baksonya juga, seperti yang dilakukan Andini beberapa menit yang lalu.

Kemudian, gadis itu meletakkan tas selempangnya di atas meja, lalu mengeluarkan sebuah buku yang cukup tebal. Andini berdecak kagum melihat buku milik Audy. Sebuah buku yang membahas tentang astrologi.

"Woah, kamu beli buku baru lagi?" tanya Andini tak percaya.

"Yup, koleksi terbaru, lagi." Audy melemparkan senyum sumringahnya. Gadis itu termasuk bibliophile dan abibliophobia dalam satu waktu.

Meskipun Andini juga termasuk dalam kategori manusia bibliophile dan abibliophobia seperti Audy, tapi ia tak seakut sahabatnya itu.

Dari arah lain Andini samar mendengar cibiran kurang asupan sopan santun dari mahasiswi lainnya. Meja mereka berseberangan jadi memungkinkan bagi Andini dan Audy mendengarkan mereka, yang notabenenya juga berisik.

Audy dapat melihat raut muka Andini yang kini tertekuk. Diantara mereka, Andini-lah yang paling emosional dan sensitif.

"Pstt, kita jangan dekat-dekat dengan mereka. Nanti ketularan gila," bisik seorang perempuan tak berhijab. Ia cekikikan saat lawan bicaranya merespon positif ucapannya.

"Hustt nanti mereka dengar," sahut gadis yang lain, Ariel, Audy mengenalnya mereka kebetulan satu komunitas.

Telinga Andini sudah mendidih hingga 200 derajat celcius, ia muak mendengar ocehan tak jelas hingga tudingan tanpa bukti dari mahasiswi tukang gibah.

"Mulut aku gatal banget pengen ngehujat para medusa itu," geram Andini geregetan, suaranya agak redam sehingga teman-teman Ariel tak mendengar dengan jelas ucapannya.

Audy tertawa pelan, sesekali membuka lembaran demi lembaran buku yang baru kemarin ia beli. "Udah gak usah diladenin, nanti diem sendiri, kok. Lagian gak ada gunanya ladenin homo sapiens titisan Gaia," celetuknya tanpa sadar.

"Ck. Katanya gak suka belajar mitologi Yunani, tapi situ tahu juga," cibir Andini mempoutkan bibirnya.

"Yah gimana nih, gak sengaja kebaca. Kamu kan tahu aku suka sejarah," ujar Audy tanpa rasa bersalah, ia tak menatap lawan bicaranya sama sekali. Buku dihadapannya lebih menarik daripada wajah Andini.

"Dalam buku psikologi yang aku baca, seseorang yang tidak menatap lawan bicaranya saat berbicara, berarti sedang menyembunyikan sesuatu," sahut Andini menatap Audy tanpa berkedip.

Audy menghentikan aktivitas membacanya. Ia melirik Andini yang juga menatapnya dengan wajah penuh kekesalan.

"Bukannya tadi mulut kamu gatal mau hujat para medusa yang tadi? Tuh masih ada waktu sebelum mereka pergi," sahut Audy dengan tampang polosnya membuat Andini makin kesal saja. Audy lebih ahli membuatnya kesal dibandingkan para penulis Wattpad yang menghapus sebagian bab pada ceritanya karena alasan akan diterbitkan.

Andini membiarkan matanya terpejam beberapa detik, mencerna ucapan Audy. Ia tak bodoh, gadis sebayanya itu sangat pintar dalam mengalihkan pembicaraan ataupun menghindari sindirannya. "Ngeselin deh, tadi nyuruh aku gak usah ladenin mereka. Kenapa sekarang malah dukung?"

Audy hanya menggedikkan kedua bahunya. Tak butuh waktu semenit, Andini benar-benar menghampiri para medusa yang tadi menggosipi mereka. Audy terkekeh kecil saat menyadari Andini benar-benar merealisasikan ucapannya yang tak benar-benar serius.

"Dasar gadis itu," gumam Audy terkikik geli. Lalu setelahnya, ia kembali menyantap buku tebal dihadapannya.

Di tempat lain, Fadhil sedang disibukkan dengan tugas salah satu mata kuliahnya. Pak Mahmud - dosen mata kuliah Matematika - memberinya tugas yang harus diselesaikan sebelum jam satu siang. Sekarang jam sepuluh pagi, masih tersisa tiga jam bagi Fadhil untuk menyelesaikan tugasnya.

Sesekali ia menguap pertanda sudah bosan mengerjakan soal yang tak ada pemecahannya.

"Ck. Aku bukan benci pelajaran matematika, tapi matematika bukan hal yang menyenangkan," gumam Fadhil bermonolog. Ia berdecak kesal saat tak menemukan penyelesaian dari tugasnya.

Tak jarang lelaki itu mengetuk-ketuk meja dengan alat tulisnya. Ruang kelasnya sepi, hanya dirinya yang mengerjakan tugas di dalam kelas. Temannya yang lain? Hilang entah kemana. Fadhil tak memperhatikannya, ia memilih fokus pada tugas dari Pak Mahmud.

Dari arah luar, seorang gadis berhijab merah maroon melintas. Gadis itu sempat berjalan terus lalu kemudian berjalan mundur, memastikan apa yang dilihatnya tak salah lagi. Seharian ini gadis itu nyaris lima kali salah dalam mengenali seseorang. Ia mengintip dari balik pintu, menajamkan penglihatannya dari balik kacamata.

Senyum lebar terpatri di wajahnya. "Akhirnya, ketemu juga!" serunya kegirangan. Ia pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas untuk menghampiri sosok yang sudah beberapa hari ini ia cari.

"Fadhil, kamu rupanya disini, aku tuh capek banget keliling universitas hanya untuk cari kamu," cerocos gadis setahun lebih muda darinya, alih-alih member salam, Fadhil justru dihadiahi dengan ucapan tak berfaedahnya..

"Astagfirullah, waalaiku'salam," sindirnya menatap tajam gadis yang telah duduk cantik dihadapannya. Perempuan itu hanya memasang wajah polos tanpa dosanya.

"Kamu siapa? Saya gak kenal," ujar Fadhil dengan nada ketusnya. Gadis itu tersenyum masam mendengar ucapan Fadhil. Lalu sesaat kemudian ia kembali tersenyum cerah, seolah ucapan tajam yang tadi Fadhil lontarkan tak ada efeknya.

"Yaudah kenalan, aku Salwa Nadhilah, panggil Nila bukan warna nila ataupun ikan Nila," ujar Nila menyodorkan tangannya.

'bedanya apa? Nila, warna Nila dan ikan Nila. Sama-sama disebut Nila juga.' batin Fadhil dalam hati, menertawakan kekonyolan Nila.

Fadhil mengabaikan Nila, membuat gadis itu tersenyum kecut. Lalu Nila menarik kembali tangannya yang menggantung di udara.

"Dingin banget yah? Kayak es krim," ujar Nila sengaja menyindir Fadhil. Ia memperbaiki letak kacamatanya, lalu fokus memperhatikan Fadhil yang tengah sibuk berkutat dengan soal matematika.

"Kamu belum dapat penyelesaian dari soal matematika itu? Padahal tinggal mengakarkan jumlah dari seluruh nilai x, pasti dapat tuh," timpal Nila begitu melihat sekilas model soalnya.

Deg.

Fadhil mengikuti instruksi dari Nila. Benar saja, ia menemukan hasilnya semudah ini? Padahal sudah hampir setengah jam dirinya mencari pemecahan dari soal itu. Ia melirik Nila sekilas, lalu kembali fokus ke soal selanjutnya.

Tak lama kemudian, berkat bantuan Nila, gadis aneh yang entah dari mana asalnya ... ia berhasil menyelesaikan soalnya sebelum jam 12 siang. Karenanya, ia punya banyak waktu untuk berkumpul dengan kedua sahabatnya - Audy dan Andini.

...

Tbc.

avataravatar