7 Rest'-'

Setelah selesai menbawa Kahime ke rumah sakit dan melakukan tranfusi darah padanya agar Kahime terselamatkan dari luka yang dia dapat. Ketika mau pulang ke rumah, Saki sempat menolak karena ingin menemani Kahime. Orang tuanya, terutama ayahnya yang seorang dokter dan pemilik rumah sakit itu, beliau tersenyum gemas karena tingkah putranya.

"Saki, untuk malam ini kamu harus pulang dan istirahat di rumah. Kami masih harus melakukan pemeriksaan. Mengerti?" ujar ayahnya sambil tersenyum kecil.

"Baik, kami pulang dulu. Sampai jumpa." Balasnya menganguk kecil.

Dengan begitu, Saki, Sasha,dan ibunya pulang.

Beberapa hari kemudian pemeriksaan pada Kahime sudah selesai, setelah mendengar kabar kalau mereka mulai bisa merawatnya.

"Ibu. Aku dan Sasha akan bergiliran merawatnya sampai sembuh. Tidak apa 'kan?" pinta Saki sambil memijat bahu ibunya.

"Tidak apa kok, selama kamu bertanggung jawab dan teguh. Karena kamu yang membawanya ke rumah sakit kita. Dan juga..." ibunya sengaja berhenti bicara dan memutar kedua tangan Saki ke belakang.

"Adaw! Awawaw! I-ibu, sakit." Rintih Saki merengek.

".... jangan berbuat macam-macam saat kamu hanya berdua dengannya, karena kamu satu-satunya anak laki-lakiku." Sambung ibunya menatap tajam dingin, matanya berkilat-kilat, dan tak lupa dengan seringai yang lebar.

"Eit, aduh! I-iya, aku paham kok. Mana mungkin aku berani macam-macam sama cewek galak, bisa-bisa kalau dia sadar aku bakal dihajar habis-habisan olehnya." Sahutnya agak gugup karena disiksa kecil ibunya.

Ibunya melepas tangannya dan penasaran kenapa putranya sampai bilang 'bakal dihajar habis-habisan.'

"Apa dia pernah memukulmu?" tanya ibunya heran.

"Tentu saja, dia pernah memukulku. Yang pertama, ketika aku pulang terlambat tengah malam. Yang kedua, ketika isirahat makan siang. Aku iseng tidak mau melepas tanganku darinya." Jawab Saki sehingga membentuk awan imajinasi di atas kepalanya.

"Jadi, sudah berapa kali dipukul?" tanya ibunya menatap tidak percaya pada putranya.

"Dua kali. Yah, dia itu bukan tipe cewek yang biasanya langsung baper kalau digoda." Cetusnya malas.

"Lalu?"

"Kalau digoda dia marah, jika dia mau bisa langsung pukul."

"Ibu, mengerti sekarang. Kamu sengaja menggoda dia, siapa tahu bisa berteman. Iya 'kan?" tanya ibunya menatap menggoda putranya.

"...Ummm, i-iya. Ibu 'kan tahu kalau kita berada di tempat baru harus bisa beradaptasi dan setidaknya punta teman walaupun satu atau dua orang." Jawab Saki gugup agak merona dan tiba-tiba terpikirkan kalau dia hampir terlambat untuk sekolah. Karena jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.35. "Bu, aku harus berangkat sekarang. Ini hampir kesiangan."

"Yah, baiklah. Hati-hati di jalan. Kalau sudah sampai disana, jangan lupa berikan makan siang ayah." Tutur ibunya memberinya dua kotak bekal makan siang.

"Terima kasih, bu. Aku berangkat dulu." Pamit Ssaki kepada ibunya, segera berlari keluar rumah menuju halte bus.

Setelah berlari sampai ke halte bus, dia menghela napas lega karena masih ada orang lain yang menunggu bus disitu.

"Saki. Selamat pagi." Sapa seorang gadis di sebelahnya.

"Selamat pagi." Balas Saki menoleh padanya.

"Bagaimana keadaanmu selama beberapa hari? Apa kau baik-baik saja?" tanya gadis itu lirih.

"Lumayan. Dan yang membuatku sebal adalah anak-anak penggosip. Mereka mengatakan hal aneh tentang Kahime, seolah-olah mereka kalau dia itu bohong." Jawabnya malas.

"Ternyata, kamu menyadarinya." Ucapnya tersenyum kecut.

"Memangnya kenapa? Apa Kahime dibenci sampai seperti itu?" tanyanya heran.

"Karena dia adalah anak guru di sekolah kita, mereka enggan berteman dengannya karena menyukai anime dan Jepang. Mereka bilang dia tidak pantas menjadi anak guru, jika perilakunya seperti anak-anak. Begitu juga dengan orang tuanya. Ups!" celatuknya panjang lebar sampai kaget sendiri. Saki tercengang dan ingin mendengar penjelasan dari gadis itu.

"Orang tuanya? Tunggu dulu, jadi dia masih punya keluarga?" tanyanya agak gugup ingin tahu lebih dalam tentang Kahime.

"Aku tidak akan menjawab. Ini di luar pembicaraan, maaf." Jawab Yuri mengabaikan pertanyaannya.

"Kenapa?" tanyanya gelisah.

"Karena kau tidak ada kaitannya dengan ini." Balasnya dingin. "Busnya sudah datang, ayo cepat naik." Sambung Yuri agak kasar menarik dasinya secara paksa

"Y-ya, tapi jangan gini... ukhh.. ga bica napazz."

********

"Bagaimana?" tanya pemuda berambut hitam berkacamata pada seseorang di telponnya.

"Apa maksudmu?" tanya balik orang di telponnya.

"Huh, ternyata kau sama sekali tidak menyadarinya, Tuan muda Sensuke." Jawabnya mendecak.

"Gadis itu, aku sudah tahu. Kenapa kau memilihnya?" tanya Sensuke dingin.

"Kenapa ya~? Apakah itu penting untukmu?.... dia itu luar biasa." Jawab pemuda itu dengan nada mengejek dan sangat menyebalkan.

"Katakan padaku, kenapa kau memilihnya?" tanya Sensuke kesal.

"Ah, baiklah~. Akan kukatakan padamu yang sebenarnya. Diselimuti kegelapan, tapi ingin tinggal di dalam cahaya." Jawabnya dengan tersenyum sinis dibalik bayangan korden jendela.

"Apa maksudnya? Apa artinya?!" tanya Sensuke semakin kesal menahan emosi.

"Khukhukhu..... cewekmu sudah lama mati dan cewek itu orang lain yang sangat mirip dengannya." Jawabnya enteng.

"Omae wa....darimana kau tahu?! Jika kau tidak bohong, beritahu aku namanya. Kalau namanya sama aku akan membunuhmu." Sahut Sensuke hampir marah mengancamnya.

"Kahime...." jawabannya terpotong.

"Ada apa? Kenapa kau berhenti?! Cepat lanjutkan!! Aku ingin tahu namanya sebelum bertemu dengan cewek yang sama dengannya!!" Sensuke sangat marah dan membentaknya dari telpon.

".... bersabarlah, aku lanjutkan. Namanya adalah Kahime Shitou." Sambungnya menyeringai puas membuat Sensuke marah dan terkejut. Sensuke tertegun, dia tidak percaya dengan jawaban orang itu.

"Kahime... Shitou?" tanya Sensuke gugup.

"Ah, sou desu ne. Aku sama sekali tidak bohong." Jawab pemuda itu berusaha meyakinkannya.

"Aku percaya padamu sekarang, jadi-....." ucapannya terpotong.

"Ya?"

"Darimana kau tahu kalau cewek itu sudah mati?" tanya Sensuke datar.

"Berita empat tahun yang lalu. Insiden kebakaran di komplek Puden 6, tanggal 7 Agustus 2012 pukul 08: 25. Kau juga tahu itu 'kan?" jelasnya mengambil sebuah figura yang terdapat dua buah foto.

"Waktu itu...." perkataannya terpotong.

"Kau harus merelakannya, dia pasti sudah hidup bahagia." Tutur pemuda itu menenangkannya. "Aku tutup telponnya, dah." Sambungnya sembari mengakhiri pangilannya dengan Sensuke.

Sensuke syok, dia masih tidak percaya dengan apa yang sudah dia dengar.

"Shitou-san, naze? KISAMA~~~~!!!!!! Ore ga ima no nani surunda?" tanya Sensuke bertanya pada dirinya sendiri dengan sangat kesal, setelah mendengar apa yang ingin dia dengar. Bukannya bisa membuatnya bahagia justru itu melukai dirinya.

********

Sesampainya di sekolah sama sekali tidak ada perbincangan diantara keduanya. Saki ingin tahu tentang Kahime dan keluarganya, sedangkan Yuri dia sama sekali tidak mau bicara tentang itu.

"Oi, Yuri. Tumben kok sendirian, dimana Si Muram?" tanya seorang anak cowok sekelasnya.

"Kahime, dia sedang tidak enak badan. Kemarin penyakitnya kambuh, jadi aku-..." belum selesai Yuri bicara, anak itu menyela.

"Oh, gitu toh. Baguslah kalau dia gak berangkat, lagipula aku cuman tanya kenapa dia gak masuk. Jadi, gak perlu jelasin lagi tentang dia dan penyakitnya yang gak jelas." Balas anak itu dingin seperti mengintimidasi.

"B-baiklah." Sahutnya tersenyum masam.

Yuri, apa dia tahu dengan apa yang sudah terjadi pada Kahime kemarin? Tapi, apakah dia mau menceritakannya padaku? Dia bilang aku tidak ada kaitannya. Hm?------ pikir Saki agak bimbang dalam lamunannya.

"Saki, ada apa?" tanya Yuri mengejutkannya. Ia gugup dan takut.

"Tidak, tidak ada apa-apa. Hanya terpikirkan sesuatu." Jawabnya gugup sambil mengagaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Apa yang sedang kau pikirkan? Kahime?" goda Yuri membuatnya kaget dan secara bersamaan wajahnya memerah. "Hei~... hei~, kenapa wajahmu semerah tomat?.... Oh~, jangan-jangan kamu suka dia." Sambungnya menyeringai dengan kedua tangan menopang kepala.

"Ha?! Ti-tidak.... aku..... sama sekali....." sahutnya gelapan dan memalingkan wajahnya dari Yuri.

Wajahku memerah? Padahal aku sama Kahime hanya teman. Mana mungkin aku suka padanya.

********

Pukul 15:15

Sedangkan Sasha dan ibunya, mereka berdua menemani Kahime di ruangannya. Sasha bermain boneka dan ibunya menonton TV.

{...telah terjadi perseteruan yang menghebohkan kota Jenan. Sepasang anak remaja laki-laki ini, merekam suatu kejadian lima hari yang lalu. Berikut adalah videonya.

"Cepat rekam ini, lihat semuanya. Ada seorang cewek mau melawan 20 cowok dari kelompok gangster." Ucap anak laki-laki membujuk temannya.

"Hei, bocah. Kamu mau melawan kami?"

"Cewek itu diam saja, apa dia akan melakukan serangan dadakan? Sepertinya dia akan bicara, dengarkan ini."

"Gimana ya? Sebenarnya aku sudah capek karena pekerjaan ini. Tapi, mau gimana lagi kalian musuhnya bosku dan mau membocorkan rahasianya."

"Tch! Serius nantang kami, gimana kalau satu lawan satu dulu? Cepat hajar dia."

"Baik."

"Aku terima, tapi kalian jangan marah kalau dia kalah."

"Hei, ngapain kalian disini? Anak kecil dilarang ikut campur urusan orang dewasa. Apa yang sedang kalian lakukan? Berikan kamera kalian."

"KYAAAAA~~."

Dan setelah dari itu, masih belum diketahui. Siapakah gadis yang bekerja sebagai petarung gangster ini? Lalu, dimanakah dia berada? Hal ini masih dipertanyakan oleh warga kota Jenan dan sekitarnya.}

"He~h? Ada-ada saja, orang-orang sekarang. Tapi, hal ini memang berlebihan. Mana mungkin ada yang bisa bertahan dari pekerjaan seperti itu." cetus ibunya mengomentari berita tersebut.

"Ibu, dimana coklatku?" tanya Sasha menarik-narik bajunya.

"Ah, maaf ibu lupa. Coklatnya ada di atas meja laci dekat jendela." Jawab ibunya gugup.

Kemudian Sasha beranjak dari tempatnya, memutari ranjang tidur pasien tempat Kahime terbaring. Saat dia hendak mengambil coklatnya, tiba-tiba pandangannya dialihkan oleh korden yang mengembul ditiup angin masuk ke dalam ruangan itu.

"Wah~." Ucapnya terperangah melihat Kahime. Jari tangan kirinya berkedut, mata lentiknya membuka perlahan sehingga mata lavender itu mulai tampak.

"Yu...ri...uh?" katanya mengigau. Dia tertegun, penglihatannya agak kabur dan secara perlahan semakin jelas. Matanya melirik ke kiri, itu membuat Sasha terkejut.

"Ibu." Panggil Sasha menutupi sebagian wajahnya saat Kahime terus menatapnya.

"Ada apa?.. Ha-ah, dia sudah sadar. Syukurlah." Balas ibunya menghampiri Kahime dan putrinya, kemudian duduk di kursi.

Dia beralih menatap wanita itu dengan lemas. Bibirnya bergetar ingin bicara, tapi tak bisa mengeluarkan suara karena tak ada tenaga.

"Apa kamu butuh sesuatu? Bagaimana perasaanmu?" tanya wanita itu lembut.

Kahime hanya diam melihat sekelilingnya.

"Kamu tidak usah khawatir, kamu berada di rumah sakit kami." Tuturnya lembut mengelus kepala Kahime dengan lembut pula.

Ha? Sudah berapa lama aku tidak merasakan belaian lembut dan kehangatan seperti ini? Syukurlah, aku masih diberi kesempatan untuk hidup.---- batin Kahime senang dengan tersenyum ,sampai-sampai air matanya tak bisa terbendung dan mengalir.

"He?! Ada apa?! Apa ada yang salah?" tanya wanita itu gugup dan gelisah.

Sedangkan Sasha diam-diam memandang Kahime dibalik boneka teddy bear kesayangannya.

"Teri....ma....ka....sih..." jawab Kahime terjeda karena pernapasannya yang belum stabil.

"Oh." Sahut mereka berdua ketika Kahime mulai bicara meskipun terjeda.

"Sama-sama." Balas wanita itu tersenyum.

"Mbak, jangan khawatir aku dan kakak akan merawatmu." Tuturnya gugup. Kahime hanya menganggukkan kepala tanda setuju.

Gadis kecil yang imut.--- pikir Kahime terkekeh kecil.

"Sasha, mengejutkan sekali. Baru kali ini kamu bicara seperti ini. Sangat langka kejadian seperti ini." kata ibunya terkagum-kagum pada putrinya. Wajahnya merona mendengar pujian tersebut.

Kemudian Kahime mnggerakkan tubuhnya untuk bangun, dibantu oleh wanita tersebut.

"Jangan terlalu banyak bergerak, lukamu belum pulih total. Kami pikir kamu tidak akan sadar setelah tenggelam dengan luka yang membuatmu kehilangan banyak darah." Ujarnya cemas menarik pelan putrinya, Sasha.

"Ibu, kenapa kakak belum datang juga?" tanya Sasha memandang ibunya.

"Iya ya, biasanya dia kalau terlambat kesini akan berlari sampai ngos-ngosan dan teledor sampai menabrak pintu." Celatuk ibunya meletakkan jari telunjuknya di dagu.

"Kakak yang terlalu berlebihan." Sahutnya sebal.

********

"Wah~!!! Aku terlambat~~!! Sasha pasti tidak mau bicara padaku kalau aku telat.....haha... tapi, aku sudah dapat penangkalnya." Ucap Saki berlari sekuat tenaga dengan penuh kekhawatiran di tengah perjalanan menuju rumah sakit sambil cengengesan melihat bungkus plastik yang menggembung.

Lima menit kemudian.....

GEDEBUM!! BRUK!

"Waduh! Aku lupa kalau ada pintunya." Rintihnya sampai terjatuh ke belakang.

Lalu dia segera bangun dan membuka pintu.

"Aku pulang~." Ucapnya sambil tersenyum. "Eh?" dia termangu membeku di tempatnya. Membuat mereka bertiga kaget dan salah satunya Kahime. Wajahnya memerah ,saat Saki memandangnya yang sedang dibersihkan oleh ibunya. Bagaimana tidak?! Kahime dalam keadaan setengah telanjang dengan punggung putihnya yang mulus dan Saki tidak berkutik.

Saki? Ngapain dia disini?! Apa-apaan pandangannya itu?! Jangan-jangan...dasar!--- pikir Kahime sebal

"Bodoh!! Apa yang kau lihat?! Keluar dari sini!!" bentaknya kesal. Saki terkejut ketika dibentak, ia mengerjipkan matanya beberapa kali dan wajahnya memerah sampai mimisan. Kesempatan yang diimpikan oleh para kaum adam dan sangat langka. Tanpa sengaja melihat cewek yang setengah telanjang di depan mereka͢ pikiran mesum para cowok. (Eits, ini bukan ecchi! Hanya kiasan.)

"Kakak bodoh. Lupa mengetuk pintu sebelum masuk ruangan." Cetus Sasha memukul kepala kakaknya dari belakang-Saki, menggunakan gagang sapu sampai pingsan ditambah benjol.

"Ma-maaf." Gumamnya dalam pingsan.

Ibunya menghela napas pendek ketika putranya melakukan hal yang sembrono.

"Itulah akibatnya mengintip anak gadis sedang membersihkan diri." Kata wanita tersebut geram.

Tak lama kemudian, setelah selesai membersihkan diri dan memakai kembali bajunya. Keadaan jadi hening, Kahime diselimuti hawa dingin suram, Saki berkeringat dingin dan gemetar ketakutan di kursi sofa, sedangkan ibunya dan sasha hanya memandang cemas karena keadaan yang yang sangat suram tersebut.

"Ma-maafkan ... a-aku. A-aku..ti-ti-tidak akan ... m-mengulanginya lagi." Ucapnya gelapan berusaha mencairkan suasana yang dingin.

"Kalau begitu ibu akan memberitahu ayah kalau temanmu sudah sadar." Kata ibunya guup segera beranjak dari tempat meninggalkan mereka bertiga.

"Aku akan disini mengawasi." Balas Sasha agak ragu.

"Ba-baiklah, ibu pergi dulu ya. Sasha, tolong jaga ruangan." Tutur ibunya gugup.

"Oke." Balasnya mengacungkan jempol kiri dengan kedua mata berkilat.

Berjuanglah.—ucap wanita tersebut dalam hati melempar senyum kecut.

Meskipun begitu, keadaan di ruangan kembali suram. Kemudian Kahime menghela napas panjang dan menatapnya tajam dengan tatapan membunuh. Saki merinding ketakutan seolah merasakan tatapannya secara tidak langsung.

"Ada apa? Bilang saja dan... bisakah berhenti menatapku seperti itu? Itu membuatku tidak nyaman." Cetusnya memberanikan dirinya membalas tatapan Kahime. Ia terkejut dengan mata berbinar-binar. Kahime tersenyum padanya. "Heh?"

"Terima kasih sudah menolongku, Saki." Katanya melempar senyum pada Saki.

Deg Deg Deg Deg

"Heh? ... ummm, sama-sama." Balasnya gugup dengan wajah agak merona.

"Saki." Panggilnya menatap lekat wajahnya.

"Ah, iya. A-ada apa?" tanya Saki gugup.

"Kamu nggak apa-apa 'kan?" tanya baliknya cemas.

"Ha?.. A-aku... aku baik-baik saja, kok. Tidak perlu mengkhawatirkanku." Celatuknya gelapan sampai wajahnya makin merah.

"Tapi, wajahmu memerah. Dek Sasha, bawa dia kesini." Pintanya menepuk-nepuk kursi di sebelahnya.

"Okay. Ayo, kak." Ucap Sasha semangat langsung menggeret kakaknya, lalu mendudukkannya di kursi sebelah Kahime.

"Eh?.. tu-tunggu dulu. Apa yang kau lakukan?!" tanya Saki ketakutan. "Hmm." Ia sama sekali tak bisa berkutik melawan dan pasrah pada nasib. Lalu Kahime menempelkan tangan kirinya pada dahi Saki dan tangan kanan menyentuh dahinya sendiri.

"Nggak demam, tapi wajahmu merah banget sekarang." cetusnya heran. Ia memalingkan pandangan matanya dari Kahime.

Itu karena kamu tahu. Aku sendiri nggak tahu, harus ngapain?--- desahnya kesal dalam hati.

Clek!

Suara pintu terbuka mengejutkan mereka bertiga, Saki melepas sentuhan tangan Kahime dari dahinya, dan langsung meninggalkan ruangan tersebut.

"Mau kemana?" tanya pria berkacamata berjas putih, dan berkalungkan stetoskop di lehernya pada Saki.

"Keluar sebentar nyari angin." Jawabnya singkat datar dan pergi.

Hanya sebentar, hanya sebentar. Aku akan mancari tahu, sebenarnya apa yang sudah terjadi padaku? Aku hanyalah seorang anak pindahan baru di Sakura Hana. Aku hanyalah orang baru yang iseng padanya. Aku hanyalah orang asing di kehidupannya. Mana mungkin dia bakalan suka padaku?---- pikirnya sambil berjalan dan berhenti di taman kecil.

"Apa yang aku harapkan? Ini tidak mungkin. Mana mungkin aku ada-.... hah?" gerutunya terkejut sendiri ketika tangannya menyentuh dahinya, merasakan bekas sentuhan tangan Kahime tadi.

Aku jatuh cinta padanya?

avataravatar
Next chapter